Part 13 - Something About Scandal
Gambar di instagram tadi. Entah kenapa gambar ini sangat cocok menggambarkan Lisette dan Kaytlin di masa kecil.
〰️〰️〰️〰️〰️〰️〰️〰️〰️
Jangan lupa vote
Jangan lupa komen
Jangan lupa follow akun penulis : Matchamallow
〰️〰️〰️〰️〰️〰️〰️〰️〰️〰️
Aku pengennya narget vote tapi belum berani 😂 pokoknya usahakan vote sesukarela kalian ya. Aku akan berusaha update secepatnya.
➿➿➿➿➿➿➿➿
PART 13 | SOMETHING ABOUT SCANDAL
➿➿➿
Tumpukan surat di nampan yang diberikan kepala pelayan siang itu lebih banyak dibandingkan biasanya. Raphael mengeceknya satu-persatu mulai dari tumpukan paling atas.
"Undangan pesta," ujarnya, lalu mengambil beberapa surat lagi. "Dan undangan pesta yang lain."
"Itu suatu hal yang lumrah setelah Miss Lisette diperkenalkan."
"Tapi mereka menulis namaku di undangan ini." Raphael mengernyit.
"Sudah kubilang, mereka mengharapkanmu datang."
"Mereka terlalu ingin tahu."
"Benar sekali. Akhir-akhir ini London kekurangan gosip. Tidak ada skandal yang terjadi beberapa bulan terakhir dan para ton mulai bosan," timpal George sambil menarik napas menatap pemandangan ke luar jendela. Ia juga tampak bosan.
"Apa mereka tidak memiliki pekerjaan lain?"
"Tentu saja tidak. Hanya kau bangsawan aneh yang memiliki pekerjaan," jawab Derek santai. "Omong-omong kami sangat terkesan dengan kepedulianmu terhadap Miss Kaytlin. Ternyata kau sangat perhatian padanya hingga membuatkannya daftar peraturan. Itu sangat manis."
"Apakah itu sarkasme karena aku merusak satu kesenangan kalian?"
"Aku serius memujimu," dengus Derek. "Mungkin kau juga perlu sekalian ikut ke London nanti untuk memastikan ia tidak mengacaukan dunia seperti ketakutanmu."
"Yang benar saja."
"Berita itu akan sangat menggemparkan. Marquess of Blackmere menginjakkan kakinya lagi di London," komentar George dengan gerakan tangan dramatis.
"Asal kau tahu, aku cukup sering menginjakkan kakiku di London."
George memutar bola mata. "Ya, ya. Untuk keperluan bisnis dan bertemu pengacaramu. Maksud kami di season."
"Beberapa hari lalu kami hadir di pesta Earl of Brambury dan melihat kedua Miss de Vere meskipun mereka tidak melihat kami."
"Apa ada insiden yang mengkhawatirkan?"
"Tidak. Dengan kecantikan dan juga mas kawin sebesar sepuluh ribu pound Miss Lisette de Vere tentu saja cepat populer. Ia berdansa beberapa kali dengan para pemburu harta dan juga pria baik-baik."
"Itu berita bagus," komentar Raphael singkat.
"Miss Kaytlin memilih menonton. Cowper dan Whitmore menghampirinya untuk bercakap-cakap sebentar. Sepertinya ia tidak memakai kartu dansa sehingga mereka meninggalkannya. Lalu dengan cepat mereka menyebarkan berita bahwa Kaytlin de Vere masih lajang tapi bukan debutante."
"Lalu?"
"Kau tahu apa artinya itu, bukan? Sekarang Kaytlin de Vere sudah menjadi incaran nomer satu para pria hidung belang yang mencari wanita simpanan. Terimakasih untukmu yang sudah membantu meresmikannya."
"Seandainya itu benar, bukan aku yang membuatnya seperti itu."
"Secara tidak langsung," Derek mengangkat bahu. "Semua kondisi sangat mendukung Kaytlin de Vere menjadi kandidat wanita simpanan. Kau sudah tahu Miss Kaytlin tidak memiliki pemikiran negatif sedikitpun terhadap orang lain sehingga ia mudah didekati. Ia tidak memiliki keluarga, tidak memiliki maskawin, tapi ia masih muda dan cukup menarik."
"Dan tidak ada seorang pun yang tahu ia anak perwalianmu. Kalau mereka tahu itu mungkin mereka akan lebih hormat jika mendekatinya," dukung George.
"Hanya saja hal itu akan menjadi skandal, karena kau masih lajang, Blackmere. Aku mengerti mengapa Dowager Marchioness memperkenalkan mereka sebagai kerabat jauh kalian," lanjut Derek. "Makanya, aku mengatakan segala kondisi ini sangat tidak menguntungkan Miss Kaytlin."
"Benar, kecuali jika kau memastikan banyak orang tahu bahwa ia benar-benar ada di bawah perlindunganmu."
"Sudah ada nenekku," tanggap Raphael tenang, tak ingin terpengaruh hasutan sesat kedua temannya.
Derek berdecak. "Kaupikir Dowager Marchioness bisa menjaga dua anak gadis sekaligus? Yang jelas perhatiannya pasti berat sebelah kepada Miss Lisette. Sebagai seorang pria dengan reputasi tercela, aku pasti tidak akan segan-segan mendekati wanita seperti Miss Kaytlin, menjebaknya ke sudut ruangan yang gelap, dan tidak akan ada yang tahu."
"Lalu mengapa sampai detik ini kau tidak melakukannya?"
"Memangnya kau tahu aku sudah melakukannya atau tidak?"
"Jadi kau melakukannya atau tidak?" gerutu Raphael tak sabar.
"Tentu saja aku tidak segila itu. Tapi orang lain belum tentu. Apakah aku sudah berhasil membuatmu berubah pikiran untuk ikut ke London?"
"Tidak."
"Atau kau berubah pikiran mensponsori Miss Kaytlin?"
"Tidak juga."
"Well, aku akan memikirkan cara lain untuk membuatmu berubah pikiran. Nanti."
"Aku sudah cukup merasakan kekacauan dalam hidupku akhir-akhir ini. Bisakah kau tidak menambahkannya?"
"Kekacauan?" tanya George.
"Tamu-tamu Miss Kaytlin de Vere," sela Derek menjawab pertanyaan George. "Yang datang beramai-ramai kemarin dan berpiknik di taman estat ini. Mereka mengatakan berasal dari Perkumpulan Lanjut Usia Lincah dan Produktif. Untung saja Blackmere seorang tuan rumah yang baik hati memperbolehkan mereka melakukannya."
"Aku tidak mungkin mengusir orang-orang lanjut usia yang melakukan perjalanan empat jam dari London untuk memberikan kue," gerutu Raphael. "Meski aku ingin."
"Para orangtua dan veteran itu?" George tertawa terbahak-bahak. "Ayolah, Rafe. Mereka hanya orang-orang tua yang sudah pikun dan rabun."
Justru karena kepikunan dan kerabunan itulah mereka semua menyusahkan. Raphael sudah berusaha tidak mempedulikan mereka. Tiba-tiba salah satu lady tua bungkuk entah siapa memasuki ruang kerjanya dengan kebingungan dan menanyakan di mana letak toilet. Ya, ia menanyakan di mana letak toilet pada Marquess of Blackmere IV. Raphael masih bisa tenang dan memanggil kepala pelayan untuk menuntun lady itu. Tapi sungguh ia dongkol dengan keadaan ini. Ketenangan hidupnya selama bertahun-tahun di estat runtuh dalam sekejap.
"Omong-omong apa kegiatan orang-orang tua itu di Perkumpulan Lanjut Usia Lincah dan Produktif? Aku bahkan tidak bisa membayangkan mereka melakukan hal-hal lincah seperti berkuda atau bermain kasti."
"Apa kau berminat bergabung untuk mengetahuinya, George?"
Sementara George sibuk berceloteh dengan Derek, Raphael mendapati sebuah surat dengan kertas yang berkualitas dan berhiaskan perada emas di pinggirannya. Hanya ada inisial S.L di sana. Raphael tahu siapa yang pengirimnya dan membuka surat itu dengan tenang agar tidak menarik perhatian Derek dan George. Lalu ia membaca isinya dengan cepat.
Bertepatan dengan itu, kepala pelayan datang melaporkan bahwa Viscountess Mary Lanstone bertamu bersama putrinya.
"Suruh mereka pergi," sahut Raphael yang membuat Derek dan George hampir tersedak dengan ketidaksopanan itu.
"Maaf, my lord. Tapi mereka sudah ada di ruang tamu bersama her ladyship," terang kepala pelayan.
Perlu tekad kuat bagi Raphael agar tidak membentur-benturkan kepalanya di meja. "Kalau begitu siapkan kudaku, aku yang akan pergi."
➰➰➰
"Apa yang sedang kautulis?" tanya Kaytlin sambil mengunyah kue kering.
"Daftar nama pria yang mendekatiku." Lisette menjawab sambil tetap memusatkan perhatian pada apa yang ia tulis di meja.
Kaytlin langsung mendekatkan tubuh dengan antusias. "Apakah ada yang menarik perhatianmu?"
"Aku baru saja mengenal mereka sehingga aku tidak tahu pria mana saja yang masuk kriteria."
"Jadi apa kriteriamu?"
Lisette melotot pada Kaytlin. "Kau lupa, Kay?! Kita akan mencari pria yang kaya. Dan kalau bisa bergelar duke."
Kaytlin tersedak kuenya. "Sebaiknya kaupikirkan kembali, Lis. Kemarin aku melihat beberapa duke, dan mereka semua sudah melewati usia lima puluh tahun. Kata Sir Walcott sangat jarang ada duke yang berusia di bawah itu."
"Kalau memang duke tua itu memenuhi kriteria mengapa tidak?"
Alis Kaytlin mengerut. Dengan segera ia menaruh sisa kuenya di piring dan duduk di sebelah Lisette, menyimak daftarnya dengan serius. "Kau baru menghadiri pesta dansa sekali. Kita tidak boleh seputus asa itu."
"Putus asa? Aku tidak putus asa, Kay! Ingat ini rencana A kita!" debat Lisette.
"Rencana A kita adalah mencarikan suami yang akan membuatmu bahagia. Tidak penting ia seorang duke atau tidak. Dan jangan memikirkanku."
"Jika kita bisa mendapatkan kriteria yang sempurna, seorang duke muda, tampan, kaya raya, mencintaiku dan bersedia mensponsorimu, mengapa tidak?"
Kaytlin berhenti membaca daftar itu dan menatap Lisette. "Pendeta Adolphus akan mengkhotbahimu tentang keserakahan duniawi jika mendengar ucapanmu tadi," namun secepat kilat ia mengangkat bahu dan tersenyum. "Tapi jika kemungkinan itu ada, kita harus berusaha!"
Lisette terkikik. "Sekarang aku percaya kita bersaudara."
"Tapi tetap saja kebahagiaanmu adalah prioritas utama." Kaytlin menutup perdebatan lalu kembali pada daftar itu. "Apakah menurutmu sopan jika kita bertanya tentang pria-pria ini kepada Sir Walcott?"
"Entahlah. Aku juga sama tidak tahunya seperti dirimu tentang aturan para bangsawan."
"Hmmmph. Aku akan melakukannya. Aku sudah biasa bertanya," cetus Kay bangga.
"Maksudmu kau sudah terbiasa mempermalukan dirimu," keluh Lisette.
"Yah, semacam itu. Tapi aku merasa biasa saja," Kaytlin tersenyum lebar. "Serahkan semua padaku."
"Maaf aku menyela kalian, Miss," potong Gretchen yang sejak tadi mondar mandir memasukkan gaun ke lemari. Ternyata ia menyimak. "Menurutku, kalian tidak hanya harus melihat asal usul mereka. Tapi kalian juga harus melihat seberapa bajingan pria itu."
"Bajingan?" Kaytlin dan Lisette terpana bersamaan. Mereka baru mengenal istilah itu.
"Benar," Gretchen mengangguk serius. "Cukup banyak bajingan yang merayu gadis-gadis debutante. Mereka pintar berkata-kata manis. Lalu setelah mereka berhasil mendapatkan apa yang diinginkan, mereka tidak mau bertanggung jawab."
"Bertanggung jawab?"
"Menikah."
"Kupikir mereka menjunjung tinggi tatakrama seperti yang diajarkan," ujar Lisette sambil berpikir-pikir.
"Anda hanya tidak tahu saja. Sebagian besar kalangan atas London hidup dengan bergosip. Tanpa gosip semua tidak akan mena..." Tiba-tiba Gretchen tersadar dan menutup mulutnya panik. "Maafkan aku Miss. Bukan maksudku ingin banyak bicara. Aku tidak akan membicarakannya la..."
"Tidak!!" Kay dan Lisette berteriak berbarengan.
Gretchen mengernyit kebingungan. Kay dan Lisette menghampirinya lalu mencengkeram kedua tangan Gretchen.
"Jangan berhenti membicarakannya. Kami menyukai gosip." Lisette mengangguk-angguk.
"Kami tidak memiliki gambaran sama sekali tentang kehidupan masyarakat perkotaan. Kami memerlukan bantuanmu," ungkap Kay.
"Benar." Lisette mengangguk-angguk lagi.
"Begitukah? Sejujurnya Miss, mereka di London tidak sesuci peraturan yang ada."
"Aku penasaran jika mendengar ceritamu." Lisette tergelak.
"Kau akan terkejut, Miss. Kupastikan itu. Apalagi jika Anda mengetahui skandal-skandal yang terjadi."
"Skandal?" Kaytlin dan Lisette kembali terpana.
"Yah, antara Lord ini dan Lady itu, antara countess ini dan duke itu," Gretchen memutar bola mata. "Hidup beberapa lama di London cukup membuatku tahu sisi gelap kehidupan para bangsawan."
"Tunggu, maksudmu, ini terjadi antara seseorang yang sudah menikah?" tanya Kaytlin.
"Mereka melakukan perselingkuhan?!" Lisette ikut bertanya. Mereka bagaikan anak kecil yang penuh rasa ingin tahu.
"Benar, Miss. Hampir semua kalangan atas London melakukannya. Tapi para pelayan yang tahu dituntut untuk menutup mulut rapat-rapat."
"Jadi untuk apa mereka menikah, jika pada akhirnya melakukan perselingkuhan?"
"Mereka menikah bukan berdasarkan cinta, tapi kepentingan. Gelar dan kekuasaan sangat penting di tanah ini."
"Aku tidak tahu akan semengerikan itu. Baru saja kami berdiskusi tentang kemungkinanku menikah untuk kepentingan." Lisette melirik Kaytlin.
"Aku sulit untuk percaya," tanggap Kaytlin lesu.
"Memang sulit untuk dipercaya, Miss. Tapi itulah kenyataan." Gretchen menampakkan wajah yang semakin serius.
➰➰➰
Setelah setengah jam perjalanan akhirnya Raphael sampai di depan sebuah pondok kecil. Ia menambatkan kudanya di istal yang terletak tak jauh dari sana dan mengetuk pintu. Sebentuk wajah yang lembut dengan rambut pirang keemasan dan mata biru membukakan pintu. Batu berlian berkilau di jari manisnya. Itu adalah cincin kawinnya dengan Duke of Schomberg dan sudah lima tahun Sophie Lyndon menyandang gelar Duchess of Schomberg.
"Raphael, kupikir kau tidak menerima suratku. Masuklah."
Tanpa berbasa-basi, Raphael mengikuti.
"His Grace sedang pergi ke Bath untuk melakukan pengobatan. Ia baru akan kembali tiga hari lagi," jelas Sophie.
Raphael tidak menanggapi. Ia pernah marah kepada Sophie saat wanita itu menerima paksaan keluarganya untuk menikah dengan Duke of Schomberg. Lambat laun ia sadar, keadaanlah yang menyebabkan hal itu. Jika Sophie setuju untuk kawin lari dengannya maka keadaan belum tentu menjadi lebih baik. Tiga bulan setelah pernikahan, Sophie mengirim surat padanya. Sophie tidak bisa menghadapi kepahitan hidupnya seorang diri. Ia memerlukan Raphael sebagai sandaran. Dan Raphael juga sadar bahwa ia tidak bisa melepaskan diri dari Sophie.
"Kau menyebut ingin membicarakan suatu masalah dalam suratmu." Raphael melepas jas berkudanya dan duduk di sofa.
Sophie berbalik sambil membawa minuman di kedua tangannya. "Kudengar kau menampung seorang debutante."
"Oh, Miss Lisette de Vere," sahut Raphael. Berarti Sophie hanya mendengar tentang Lisette yang ia sponsori. Entah kenapa hal itu membuatnya lega.
"Aku terlalu mengenalmu sehingga aku tahu ia bukan kerabatmu. Ia anak dari Josephine, cinta pertamamu itu, bukan?"
"Jangan katakan ini masalah yang ingin kauceritakan."
Sophie mendesah lelah dan duduk dengan anggun di samping Raphael. Nada suaranya penuh kekhawatiran. "Rebecca mengatakan ia sangat mirip dengan Josephine."
"Aku bukan orang yang mudah tertarik hanya karena kesamaan fisik dengan wanita yang pernah kusuka."
"Kalau tidak keberatan aku ingin bertanya mengapa kau dulu bisa menyukai Josephine Forthingdale."
Raphael sebenarnya enggan bercerita, tapi wajah gelisah Sophie membuatnya tidak tenang. "Josephine...memiliki semangat yang aku juga tidak terlalu mengerti."
"Semangat?" Sophie menatap dengan sorot penasaran.
Raphael mengingat bagaimana awal mula ia bertemu Josephine. Josephine mengatakan ia baru saja tinggal di sana bersama bibinya dan ingin berteman dengan Raphael. Saat itu anak lelaki bangsawan lumrah memakai gaun dan Josephine menyangka Raphael adalah perempuan. Raphael sebenarnya malu dengan itu dan ia selalu menghindari Josephine, tapi wanita itu pantang menyerah dan mengikutinya kemanapun. Josephine memaksa Raphael ikut memancing dengannya di sungai, memanjat pohon, dan memakan beri beracun sehingga mereka terkapar selama tiga hari.
"Lupakan saja. Lady Josephine sudah tiada. Makanya ia menitipkan anaknya padaku."
Sophie terkesiap. "Maafkan aku," suaranya terdengar penuh sesal. "Aku hanya merasakan kecemburuan yang tak beralasan."
"Tidak apa." Raphael mencondongkan tubuh ke arah Sophie dan mencium wanita itu. Sophie membalas ciumannya dengan gairah yang sama. Wanita itu bukan tipe wanita penggoda. Ia wanita yang tenang, anggun, penurut, dan rapuh. Tipe yang sangat diidamkan untuk menjadi istri setiap bangsawan sekaligus memunculkan insting Raphael untuk selalu melindunginya.
Kedua tangan Sophie mendorong bahunya, memutus keintiman mereka. "Tapi dapatkah kau bersumpah padaku bahwa kau tidak tertarik pada anak Josephine? Hanya untuk membuatku merasa tenang."
Sophie menatap penuh harap. Kerutan gelisah belum hilang diantara keningnya. Bersumpah tentang itu? Tentu saja Raphael bisa. Itu sangat mudah dilakukan.
"Aku bersumpah aku tidak tertarik pada Lisette de Vere."
🔘🔘🔘
Terimakasih sudah vote dan komen.
Hei, meski Lisette dan Sophie mirip tapi visual mereka berbeda ya. Ini Lisette. Dan karena ia mirip ibunya maka Josephine jg 11 12 dengan ini.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top