Part 11 - Something About Rules for Lady

Derek Vaughan mengelus leher satu-satunya kuda Thoroughbred yang ada di kandang kuda Blackmere Park diantara beberapa kuda Shire yang khusus digunakan untuk menarik kereta. Kuda Thoroughbred adalah salah satu kuda ras hasil persilangan kuda Inggris dan Arab yang biasa digunakan untuk pacuan kuda.

"Kau tahu Rafe, meski koleksi kudamu tidak menarik, aku betah berada di sini."

Ada kelegaan tersendiri yang Raphael rasakan saat Derek kembali memanggilnya dengan nama panggilan itu setelah beberapa lama terpaksa membiasakan diri dengan saling memanggil gelar karena ada tamu di estatnya.

"Kau bisa mengikutsertakannya di Ascott Juni mendatang."

"Tidak, ia tidak akan mengikuti balapan." Tangan Raphael turun ikut menyusuri leher kuda lalu menepuk-nepuknya. Ia memberikan wortel dan si kuda menyambutnya dengan cepat.

"Kau memanjakannya."

"Memangnya kaupikir orang-orang di Ascott itu tidak memanjakan kudanya?"

"Mereka memperlakukan dan merawat kudanya seperti seekor kuda balap, sedangkan kau memperlakukan kudamu seperti bayi."

"Tommy tidak bisa mengikuti balapan."

"Jadi ia bernama Tommy. Itu sangat manis." Derek mengangguk-angguk.

"Tommy memang Thoroughbred, tapi kakinya pernah patah karena kecelakaan."

"Lalu kenapa kau merawatnya? Kau pernah dengar ungkapan kuda dengan kaki patah itu tidak berguna?"

"Ayah mendapatkan kuda ini dari perjudian, lalu ia mendorongnya terlalu keras melompati rintangan hingga terjatuh. Jokinya tidak apa-apa, tapi Tommy patah tulang. Lalu ayah bangkrut, dan hanya kuda ini yang tidak laku terjual karena cacat."

"Dan kau menyukainya karena ia senasib denganmu yang tidak dipedulikan sang almarhum marquess."

"Entahlah, mungkin karena tidak ada kuda yang tersisa, aku terbiasa melihatnya. Lagipula aku tidak terlalu berambisi untuk Ascott."

"Aku cukup berambisi mengingat hadiahnya. Sayangnya aku tidak memiliki kuda balap," kilah Derek.

Ayah Derek telah menjual semua properti yang bisa dijual termasuk kuda-kuda terbaik di istalnya. Senasib dengan Derek, Ayah Raphael, Marquess sebelumnya telah menjual semua kuda-kuda di istal Blackmere akibat utang-utangnya dan hanya menyisakan dua kuda penarik kereta. Itupun juga mungkin akan habis dijual jika saja ayahnya itu tidak meninggal lebih dulu. Diantara mereka bertiga hanya keluarga George yang baik-baik saja dan stabil.

"Mungkin tahun depan kita bisa mencobanya. Aku perlu seorang pengurus kuda lebih dulu," gumam Raphael.

"Kupikir kau tidak akan melirik kesenangan lain selain bisnis bersama Maximillian," Derek terkekeh.

"Kau belum bertemu Maximillian dan kupikir kau bisa saja menyukainya. Ia mirip denganmu. Pintar, berinsting tajam. Terutama dia akan mengembangkan bisnis yang menurutku sangat mendukung perkembangan Ingg..."

"Mulai lagi," Derek melirik George yang sejak tadi duduk dengan malas, tidak tertarik dengan kuda. "Pemujaan yang terlalu berlebihan pada Mr. Maximillian."

"Aku mengutarakan fakta, bukan pemujaan."

George menegakkan tubuh. "Memangnya Mr. Maximillian tidak memiliki sedikit saja keburukan? Biasanya seorang kapitalis sepertinya akan sangat egois demi mendapatkan keuntungan."

"Tentu saja. Ia manusia dan pastinya memiliki kekurangan. Tapi aku tidak begitu tertarik mengetahuinya."

"Well, aku juga tidak tertarik pada pembicaraan bisnis. Ayo kita bicarakan hal lain yang lebih berkesan," cetus Derek dengan seringai nakal.

Raphael mengernyit, "Berkesan?"

"Misalnya bagaimana George berhasil membuat Miss de Vere basah kemarin." Derek tertawa. George ikut tertawa.

Menggertakkan gigi menahan kekesalan, Raphael pikir mereka tidak akan membahasnya, karena sejak kemarin mereka memang tidak membahasnya.

"Aku menarik kembali ucapanku, Rafe," lanjut Derek tanpa berhenti tertawa. "Kau tidak perlu mengajarkan tatakrama pada Miss Kaytlin karena itu sama saja artinya kau menghilangkan tontonan baru kami."

"Ya, Tuhan! Ya, ya, ya. Aku sangat setuju dengan Derek," timpal George. "Sudah lama sekali tidak ada hal yang menarik."

"Tenang saja. Raphael sudah mengatakan tidak akan mengurusi Miss Kaytlin. Baginya, Miss Kaytlin sudah cukup sopan, menurut standar Raphael sendiri tentunya. Tidak ada yang dikhawatirkan," jelas Derek mengutip ucapan Raphael beberapa waktu lalu. "Lagipula Raphael tidak peduli anggapan masyarakat London. Sudah sejak dulu ia seperti itu. Jadi Miss Kaytlin dengan senang hati akan menghibur kita di season ini tanpa hambatan."

Derek dan George tertawa lagi semakin keras.

🍀🍀🍀

Suasana di dalam Blackmere Park selalu sepi dan tenang seperti biasa. Raphael berjalan di sepanjang koridor dan ruang depan. Hanya ada beberapa pelayan yang bekerja dengan suara minim dan semakin tekun bekerja saat melihatnya lewat.

Lalu Raphael berjalan-jalan di taman, melihat sekeliling, dan kembali lagi ke dalam.

Bukannya ia berharap akan berpapasan dengan Kaytlin de Vere tapi alangkah baiknya jika memang mereka berpapasan sehingga Raphael tidak perlu memanggil wanita itu dengan sengaja.

Dengan agak kesal ia menuju ruang keluarga. Di sana memang tidak sesepi ruangan lain karena sayup-sayup terdengar suara neneknya yang sepertinya sedang mengajarkan peraturan tentang mengatur tempat duduk dalam jamuan makan malam.

Raphael masuk melalui pintu yang memang dibiarkan terbuka. Dowager Marchioness menghentikan ceramahnya dan melihat Raphael penuh tanda tanya. Lisette de Vere ikut menoleh dan menganggukkan kepala. Hanya ada dua orang di sana.

Raphael balas menganggukkan kepalanya dan berbalik ke luar.

"Raphael, ada yang bisa kubantu?" tegur Dowager Marchioness sehingga Raphael menghentikan langkah dan berbalik badan.

"Tidak ada, My Lady," jawab Raphael singkat.

"Baiklah."

Raphael kembali berbalik menuju ke ruangan kerjanya seperti tujuan semula. Ia memanggil kepala pelayan dan menyuruh memanggil Kaytlin de Vere ke ruangannya.

Setelah penantian yang begitu lama hingga Raphael berhasil menyelesaikan pengecekan laporan keuangannya selama setengah buku, kepala pelayan itu kembali dan mengatakan tidak menemukan Kaytlin de Vere di manapun.

🍀🍀🍀

"Seharusnya kau mengatakannya saja sejak tadi bahwa kau mencari Kaytlin," ucap Dowager Marchioness setengah mengeluh saat memasuki ruang kerjanya. Raphael terkejut tapi ia berusaha menutupinya dengan ketenangan. Pasti kepala pelayan bertanya pada neneknya, dan karena alasan itulah juga neneknya ada di sini. Sebenarnya Raphael memang hanya perlu bertanya kepada neneknya tapi entah sesedapat mungkin ia tidak ingin neneknya tahu bahwa ia sedang mencari Kaytlin de Vere.

"Jadi ke mana dia?" tanya Raphael.

"Dia minta izin padaku tadi pagi untuk pergi ke rumah kenalannya yang kebetulan membawakan barangnya yang tertinggal dari desa."

"Dan Nenek mengizinkannya?"

"Tentu saja."

"Bukankah seharusnya ia mengikuti pelajaran tatakrama darimu?"

"Kaytlin mengerti tatakrama dasar dan kurasa itu sudah cukup, mengingat ia tidak akan menjadi debutan seperti Lisette. Ia tidak perlu menghafal Debrett's ataupun belajar mengatur urutan tempat duduk tamu."

"Itu tidak cukup."

"Bagaimana kau tahu itu tidak cukup?"

"Nenek tidak melihat apa yang ia lakukan."

"Apa ada hal yang terjadi yang tidak kuketahui?"

"Dia hanya melakukan hal-hal yang agak memalukan. Aku tidak tahu bagaimana harus menjelaskan bahwa..." Raphael terdiam.

"Menjelaskan...apa?" Dowager Marchioness menunggu.

Menjelaskan bagaimana Miss de Vere mengatakan bahwa wanita itu menyukainya. Dan juga mengatakan George telah membuatnya basah. Pikiran Raphael berusaha menyusun kata-kata untuk menjelaskan sesuatu dengan lebih beradab.

"Dia mengejar-ngejarku, dan juga Derek, serta George."

Dowager Marchioness tampak syok. "Dia merayu kalian?!"

Raphael menggeleng. "Bukan, mengejar dalam arti yang sebenarnya. Ia berlari-lari di tengah hutan menyapa kami dan bertanya dengan santai tanpa peduli bahwa ia sendirian dan ia seorang wanita."

"Kupikir ia merayu kalian seperti seorang wanita nakal," Dowager Marchioness mengelus dadanya lega. "Mungkin kita harus memakluminya karena ia tidak dibesarkan seperti seorang bangsawan. Tapi aku yakin ia hanya mencoba beramah tamah."

"Sikap itu tidak akan menguntungkannya."

"Yah, itu tidak baik untuknya saat ia berada di London nanti. Penilaian para ton terlalu kejam untuk sebuah kesalahan kecil sekalipun. Aku akan berbicara padanya."

"Kali ini aku yang akan berbicara padanya."

Dowager Marchioness mengerutkan kening. "Kau yakin kau yang ingin berbicara dengannya? Kupikir kau tak pernah tertarik pada urusan sepele semacam ini. Bukankah kau tidak pernah peduli pada tatakrama para bangsawan, bahkan kau menjauhi pergaulan ton."

Raphael memang tidak peduli pada tatakrama dan aturan konyol mereka, tapi ia tidak bisa menghapus bayangan horor Kaytlin de Vere saat berada di London nanti meski ia sudah berusaha. Bahkan dalam pikirannya sekarang ia sudah bisa berimajinasi : di pesta, Kaytlin de Vere bertemu seorang tentara berpangkat kolonel, lalu mereka berbincang hal-hal patriotik. Kaytlin yang selalu antusias mengatakan bahwa ia tidak sabar ingin melihat pedang sang kolonel, atau mungkin saat itu si kolonel sudah membawa pedangnya dan Kaytlin de Vere mengomentari dengan lantang betapa panjang pedang sang kolonel.

Sebenarnya Raphael juga tidak tahu mengapa harus membayangkannya sedetail itu. Rasanya begitu konyol. Dan yang lebih konyol lagi adalah mengapa ia harus peduli.

"Aku hanya berpikir bahwa jika ia melakukan sebuah kontroversi, otomatis diriku yang ditunjuk sebagai wali akan menjadi sorotan," jelas Raphael. "Aku tidak suka menjadi pusat perhatian."

"Baiklah, silakan berbicara padanya tapi pilihlah kata-kata yang...agak beradab."

"Agak beradab?" Raphael menoleh heran.

"Kau seringkali terlalu vulgar dan blak-blakan dalam mengungkapkan ketidaksetujuanmu. Ia anak yang baik." Dowager Marchioness mendengus.

"Anak baik yang sedikit bodoh."

"Bodoh adalah kata yang tidak pantas. Ia hanya tidak mengerti."

"Baiklah, anak baik yang tidak mengerti."

🍀🍀🍀

Awalnya Kaytlin merasa resah saat Madame Genevieve memeriksa hasil jahitannya. Tapi Madame Genevieve mengatakan jahitannya diterima hingga Kaytlin pun sangat senang, lebih menyerupai bahagia malah. Ia kini pulang dengan sedikit uang hasil pekerjaannya dan sebundel jahitan baru.

Memang pergi ke Bond Street dengan cara berbohong semacam ini tidak baik. Tapi Kaytlin tidak tahu apakah Dowager Marchioness akan mengizinkannya bekerja jika sang lady tahu. Rencana masa depan Kaytlin bisa terancam. Yang lebih buruk lagi adalah Dowager Marchioness juga yang bersikeras menyuruh Kaytlin memakai kereta kuda di sana saat ia mengatakan akan menyewa saja di luar. Bila Dowager Marchioness bertanya pada kusir kereta kemana saja destinasi mereka, tidak dapat diragukan lagi ia akan mencurigai Kaytlin.

Dengan langkah seringan mungkin agar tidak ada yang mendengar, Kaytlin menaiki tangga menuju kamarnya. Tapi yang tidak ia sangka adalah Lisette menyambutnya dengan panik.

"Kay!! Kenapa kau datang begitu sore?!"

"Madame mengajakku makan siang dan kami bercakap-cakap tentang fashion. Aku mendapat uang hari ini! Ia juga membelikanku fish and chips. Kau juga dibelikan olehnya, tapi kata Madame mungkin rasanya agak kurang enak dibanding saat masih panas. Kapan-kapan kita akan membelinya lagi saat ke Bond Street berdua." Kay menyodorkan kantong uang dan bungkusan berisi makanan yang sedang populer saat itu.

"Kenapa kau begitu mempercayai wanita itu? Kadang aku takut dengan orang asing," keluh Lisette.

Kay kebingungan lalu ketika hendak membuka mulut untuk menjawab, Lisette sudah menyela lagi, "Baiklah, lupakan itu. Kau tahu? Iblis itu mencarimu."

"Iblis?"

"Wali kita."

"Lord Blackmere mencariku?" Kaytlin mengernyit.

"Wajahnya terlihat kesal...meski wajahnya memang selalu terlihat kesal. Tapi sungguh__ia terlihat kesal." Wajah Lisette terlihat sangat serius.

"Baiklah, ia terlihat kesal. Aku akan menemuinya." Kaytlin memberikan uang serta fish and chips pada Lisette lalu menaruh jahitannya di dalam lemari.

"Kau akan menemuinya?!" Lisette terperanjat. "Oh, Kay! Kenapa kau bisa hidup dengan pemikiran yang begitu santai?! Apa kau tidak takut?"

Kaytlin mengedikkan bahu. "Apapun itu kurasa ia tidak akan sampai membunuhku."

"Jangan bergurau! Aku mencemaskanmu!" Lisette memeluknya. Reaksi Lisette sungguh berlebihan.

"Jangan khawatir. Ia mungkin hanya ingin menyatakan keberatannya karena aku memakai kereta kudanya seharian. Hanya itu."

Lisette terdiam sejenak lalu akhirnya menahan Kaytlin sejauh rentangan tangan untuk menatapnya lekat-lekat. "Mengingat sifatnya yang agak pelit__ya, mungkin kau benar."

🍀🍀🍀

Derek baru saja selesai menceritakan insiden yang membuatnya putus dari seorang countess bersuami dan akan berlanjut kepada berita tentang undang-undang baru yang disusun House of Lords ketika kepala pelayan masuk ke ruangan menginterupsi mereka. Hal ini membuat Raphael agak jengkel karena pembicaraan itu harus terjeda di saat Derek baru akan mengemukakan informasi yang berfaedah dibanding petualangan cabulnya.

"My Lord, Miss de Vere."

Mata Derek dan George membulat menatap Raphael penuh antusiasme berlebihan, berharap mendapatkan kejadian menarik. Berbeda dengan Raphael yang berubah kaku.

"Katakan padanya untuk..." Baru saja Raphael akan mengusir. Tapi terlambat karena Kaytlin ternyata sudah muncul begitu namanya disebut kepala pelayan.

"Selamat sore, My Lord. Aku..."

"Memangnya siapa yang menyuruhmu kemari, Miss de Vere?" tanya Raphael saat kepala pelayan keluar.

Kaytlin menatap ragu. "Bukankah Anda mencariku tadi siang?"

Terdengar suara tarikan napas Derek dan George dari belakang Raphael. Ia sengaja mencari Kaytlin tanpa sepengetahuan dua temannya itu dan sekarang wanita bodoh itu malah muncul di saat yang tidak tepat. Derek dan George tidak akan menyia-nyiakan ini sebagai bahan untuk mengejeknya setidaknya seminggu ke depan.

"Tapi itu bukan berarti kau bebas kemari. Aku mencarimu tadi siang, bukan sekarang. Kau hanya boleh menemuiku jika aku memang memanggilmu lagi. Lagipula seharusnya kau menunggu di luar dan hanya boleh masuk jika aku mengizinkan."

"Maaf, aku tidak tahu mengenai aturan itu. Mungkin ini kebiasaan burukku karena setiap kali aku ingin menemui siapapun di desa aku hanya menemuinya saja sesuka hati. Aku lupa kalau sekarang aku berada dalam lingkungan yang berbeda," jelas Kaytlin panjang lebar. "Kalau begitu aku akan kembali..."

"Kau sudah terlanjur kemari. Sekalian saja aku memberitahukannya padamu," gerutu Raphael yang membuat Kaytlin urung berbalik.

"Ba...baiklah." Kaytlin berdiri dengan tegak di tempatnya semula.

"Mengapa kau berdiri di sana? Mendekatlah kemari dan duduk di bangku sialan di depanku ini!" geram Raphael kesal.

"Ya, ampun, My Lord, kau sangat kasar menakut-nakuti wanita seperti itu," bisik George.

Raphael berusaha tidak menggubrisnya agar tidak menarik perhatian Kaytlin de Vere yang kini duduk di hadapannya. Berbeda dengan prediksi George tentang ketakutan wanita, Kaytlin tidak terlihat takut, malah ia terlihat antusias. Mungkin peribahasa orang bodoh tidak mengenal takut itu sedikit tidak ada benarnya. Entah apa yang dipikirkan wanita itu sehingga selalu optimis padanya padahal Raphael merasa tidak pernah berusaha terlihat seperti gentleman yang baik dan sopan.

Tapi ini pertama kali juga ia terpaksa memerhatikan Kaytlin de Vere dengan begitu detail setelah tidak mengenakan pakaian berkabung hitamnya yang mengerikan. Rambut pendeknya yang gelap sudah mulai tumbuh, tapi masih terlampau pendek untuk diikat sehingga rambut itu terurai dengan bebas di atas bahu Kaytlin. Raphael jarang melihat wanita berpenampilan seperti itu. Semua wanita Inggris memiliki rambut panjang yang digelung rapi. 

"Aku pikir Anda tidak memperbolehkanku mendekat, jadi selama ini aku selalu berusaha menjaga jarak dengan tepat," oceh Kaytlin riang. "Jadi tidak apa-apa jika aku mendekat?"

Raphael hampir tercengang. Jadi itu yang menjadi alasan Kaytlin selalu kabur jika melihatnya? "Berlakulah sewajarnya, Miss de Vere."

"Apa itu berarti boleh?"

"Tentu saja tidak! Tetaplah menjaga jarak denganku," gerutu Raphael.

Kaytlin mengernyit. "Baiklah, aku sangat mengerti jika Anda mungkin merasa agak sedikit marah karena kelancanganku memakai kereta kuda Anda sepanjang hari__"

"Memangnya siapa yang ingin berbicara tentang kereta kuda?"

"Jadi bukan karena itu?" Mata biru itu kini membulat menatap Raphael dengan lekat-lekat.

"Aku tidak mungkin repot-repot memanggilmu karena urusan sepele semacam itu. Sedapat mungkin aku malah tidak ingin mencampuri segala hal yang berhubungan dengan kalian dan perdebutan ini, tetapi menurut pengamatanku, yang tentunya tidak kusengaja, kau agak sedikit...mengkhawatirkan untuk mendampingi adikmu nanti. Bukannya aku peduli tentang itu, tapi tentu saja aku tidak ingin kau menjadi penghalang bagi suksesnya debut adikmu dan membuatku lebih lama harus menampung kalian di sini."

Kaytlin memikirkan informasi itu untuk sesaat. "Aku...mengkhawatirkan?"

"Ya."

"Apakah aku melakukan kesalahan?"

"Sudah kuduga kau pasti tidak menyadarinya semenjak kau muncul di pintu masuk ruanganku ini," Raphael mengambil secarik kertas dari laci mejanya dan menyodorkan pada Kaytlin. "Kau bisa membaca bukan?" tanya Raphael mengingat wanita selain bangsawan yang bisa membaca di masa itu sangat langka.

Kaytlin membuka kertas itu dan bergumam, "Tata cara bersikap sebagai seorang lady..."

"Sial!" terdengar umpatan kecewa Derek yang segera menghempaskan tubuhnya di sofa samping bersama George. "Blackmere memang perusak kesenangan."

"Jangan pedulikan mereka dan lanjutkan saja, Miss de Vere," sergah Raphael memahami raut wajah Kaytlin yang kebingungan pada reaksi Derek dan George.

"Jika ingin memanggil seorang bangsawan yang disebutkan adalah gelarnya, bukan nama depannya." Kaytlin membaca satu-persatu sesuai urutan.

"Seorang lady harus berjalan dengan anggun dan tenang. Dilarang berlari-lari."

"Seorang lady tidak boleh menyentuhkan punggungnya ke kursi saat duduk."

"Seorang lady tidak boleh memperlihatkan kaki, tidak boleh tersenyum lebar, bersendawa, bersin, tertawa keras-keras, dan melakukan tindakan berlebihan lainnya."

"..."

Semakin ke bawah, deretan peraturan itu semakin membuat kening Kaytlin mengernyit. Dan ia tidak tahan lagi untuk berkomentar saat mencapai aturan kedua puluh.

"Seorang lady tidak boleh mengemukakan isi pikirannya. Ia hanya boleh mengikuti dan menyetujui pendapat pria yang ia ajak berdiskusi. Meski tidak berkenan sekalipun seorang wanita tidak boleh menyanggahnya..." Kaytlin mengangkat wajah dari kertasnya. "Ini sangat...tidak adil..."

"Begitulah aturan masyarakat London entah kau suka atau tidak."

"Tapi peraturan-peraturan ini sulit untuk dipercaya. Ini bukan karangan Anda, bukan?" Kaytlin mengucapkannya dengan santai seakan tak sadar bahwa ia baru saja menuduh Raphael.

"Maaf," Kaytlin tersadar. "Maksudku...kupikir Anda hanya menambahkan sebuah peraturan tidak baku untuk sedikit bergurau."

"Apakah selama ini aku terlihat suka bergurau?"

"Tidak. Tapi seharusnya setiap orang tidak perlu terlalu...seserius daftar yang Anda buat."

"Yang menyusun daftar itu adalah Dowager Marchioness," jelas Raphael. "Atas permintaanku. Karena aku sendiri tidak hapal dengan semua peraturan itu."

"Oh, begitukah," Kaytlin tercenung. "Sangat disayangkan sekali ada peraturan semacam itu. Semua orang pasti tidak bahagia. Aku dibesarkan dalam keluarga yang tidak pernah memikirkan apakah wanita harus menjadi penurut ataukah seberapa pentingnya sebuah dominasi pria. Bahkan Papa selalu menyetujui apapun yang Mama inginkan. Ia selalu bertanya pada Mama sebelum memutuskan sesuatu. Bukan berarti Papa adalah orang yang lemah, ia terlalu mencintai Mama sehingga ia juga menghormatinya. Kadang Papa memasak untuk kami semua jika Mama sedang lelah. Masakannya sangat enak, terutama jika ia membuat hotpot, rahasianya adalah pemasakan yang lama dan api kecil__"

"Cukup," sela Raphael, sebelum pembicaraan telanjur berubah menjadi proses pembuatan hotpot. "Percuma saja kau menceritakan tentang kehidupan keluargamu yang bahagia padaku, Miss de Vere. Apapun yang kaukatakan sekarang tidak akan merubah tatanan mayoritas dalam masyarakat. Tetap saja sebagian besar pria lebih menyukai wanita yang penurut karena tidak merepotkan. Mereka jarang memilih  wanita yang suka menyanggah ataupun terlalu ingin tahu."

Kaytlin terdiam sejenak, terlihat sedikit kecewa.

"Semua pria Inggris seperti itu?" Tanggapnya.

"Aku mengatakan sebagian besar. Bukan semua."

"Apakah Anda juga?"

"Maaf?"

"Apakah Anda..." Ucapan Kaytlin terusik oleh Derek dan George yang sepertinya tersedak brendi berbarengan di sofa mereka. Dan Raphael bukannya ingin Kaytlin mengulang pertanyaannya. Please.

"Menyukai wanita penurut seperti yang Anda jelaskan tadi?" lanjut Kaytlin.

"Untuk apa kau ingin mengetahuinya?" tanya Raphael dengan kekesalan yang tidak berusaha ia tutupi.

"Aku hanya..." Kaytlin gelisah kebingungan. "Ingin bertanya saja."

Raphael tahu Derek dan George menahan tawa. Sungguh mereka berdua adalah teman laknat yang tidak mengenal situasi. Tapi reaksi Derek dan George cukup membuat rona kemerahan di wajah Kaytlin. Syukur-syukur kalau wanita bodoh itu sadar akan tindakan-tindakan memalukan yang sering ia lakukan dengan Raphael sebagai objeknya.

"Aku tidak berkewajiban menjawabnya," cetus Raphael.

"Maaf, aku hanya lepas kendali tadi. Maksudku bertanya semacam itu bukan karena aku ingin tahu tipe wanita seperti apa yang Anda sukai untuk tujuan kepentingan pribadi karena...yang jelas bukan itu yang ingin kutanyakan...meski aku menanyakannya. Aku hanya ingin melihat jawaban Anda sebagai perbandingan dan salah satu contoh nyata dari benar atau tidaknya sebuah pandangan masyarakat yang tidak pernah kusangka...baiklah, lupakan," Kaytlin de Vere menarik napas setelah penjelasannya yang begitu panjang dan tidak berguna karena Raphael tidak mengerti sedikitpun. "Kalau begitu, hampir semua pria di Inggris Raya menyukai wanita penurut dan aku akan kembali ke kamarku."

"Ini belum selesai, Miss de Vere."

"Masih ada lagi? Daftar ini bahkan sudah sangat panjang hingga tidak tersisa ruang sedikitpun." Kaytlin tercekat.

"Aku masih memiliki beberapa peraturan tidak tertulis yang harus kusampaikan khusus untukmu."

"Mengapa hanya untukku?" tanya Kaytlin.

"Jangan bertanya dan dengarkan saja demi kebaikanmu."

"..." Kaytlin sepertinya tidak bisa menerima sebuah pernyataan tanpa alasan, tapi akhirnya ia memilih tidak memperpanjang, "Baiklah."

"Pertama, kau jangan pernah bertanya lagi hal yang kautanyakan padaku tadi kepada orang lain."

Suasana hening untuk sejenak.

"Tidak__tunggu__" Raphael mempertimbangkan ulang. "Lebih baik kau jangan bertanya apapun."

Kaytlin mengernyit. "Tidak bertanya apapun?"

"Tepat sekali," jawab Raphael. "Kedua, kau jangan berkomentar tentang segala sesuatu yang memiliki ukuran panjang seperti tongkat, pedang dan sejenisnya."

Alis Kaytlin semakin berkerut. "Tongkat?"

Raphael menimang-nimang lagi. "Ralat...lebih baik kau tidak berkomentar tentang apapun."

"Tunggu..."

"Terakhir, kau jangan pernah mengatakan bahwa ada seseorang yang membuatmu basah meski ia menyirammu dengan minuman atau menceburkanmu ke Sungai Thames sekalipun."

"Demi Tuhan. Memangnya ada peraturan aneh semacam itu?!" seru Kaytlin.

"Aku sudah menyampaikannya dan kebetulan aku tidak ingin merepotkan diri memberikan alasan." Raphael menyandarkan punggungnya ke kursi seakan menyatakan bahwa pembicaraan itu selesai.

Kesunyian diantara mereka terjadi, sementara George dan Derek tergelak. Mereka sudah tidak bisa menahan diri sejak Raphael mengemukakan peraturan tak tertulis-nya yang kedua.

"Sebenarnya aku tidak mengerti..."

"Ah! Itu dia. Kutambahkan peraturan keempat lagi. Kau harus lebih sering belajar menerima tanpa perlu mengerti."

Mulut Kaytlin masih terbuka, tapi ia tidak bisa berkata apa-apa untuk beberapa detik sebelum akhirnya memilih apa yang disiratkan dalam peraturan keempat Raphael : menerima. "Baiklah, aku akan melakukannya tapi ini hanya demi Lisette."

"Terserah apapun alasan yang memotivasimu."

Raphael menangkap keberatan yang mulai muncul di raut wajah Kaytlin meski wanita itu berusaha keras menahannya. Anehnya Raphael merasa senang karena berhasil mematahkan kesabaran wanita itu. Selama ini sifat riang dan positif Kaytlin terlalu mengusiknya.

"Sepertinya aku bisa menebak sendiri jawaban atas pertanyaanku tentang Anda tadi, My Lord."

Pertanyaan apakah Raphael juga menyukai wanita penurut sama seperti semua lord di Inggris Raya.

"Itu urusan pribadiku, Miss de Vere." Raphael memicingkan mata.

"Yah," Kaytlin menarik napas dalam-dalam lagi seakan dengan cara itu ia selalu bisa menemukan ketenangan dirinya. "Itu memang urusan pribadi Anda."

🍀🍀🍀🍀🍀

Makasi sudah memberi bintang. Komen juga dong.

Akhirnya lanjut juga nih. Hehe.

Kali ini nggak ada catatan harian Kaytlin de Vere, masih hiatus dia menulis diary.

🍀KLOSET DUDUK🍀

Part2 kmrn ada yang bertanya masalah kloset duduk. Di zaman Victoria sudah ada kloset duduk? Yup sudah ada dong. Cuma nggak seperti gambar kemarin sih. Lebih sederhana dan berbentuk kotak. Inggris lebih concern pertama kali masalah sanitary setelah terkena wabah kolera dan typus pada tahun 1830-1840an. Warganya suka pup di wadah sejenis pot terus dibuang begitu aja ke jalan, lewat jendela pula. Bayangin kamu sedang jalan2 di jalanan London abis itu ada hujan tokai dari langit 😂 wtf deh. Ratu Victoria langsung membuat aturan tidak boleh membuang pup ke jalan lagi dan dimulailah pembangunan lavatory serta penggalian pembuangan (semacem septik tank gitu kali ya) dan rampung tahun 1860.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top