Bagian 6
Selamat membaca teman-teman! Jangan lupa tinggalkan vote dan komentar❤
•
•
Bagian 6
Pagi ini Orlan bangun lebih dulu dari Vale. Bukan karena kegiatan ranjang bergoyang yang mereka lakukan yang membuat Vale selalu lelah dan susah membuka matanya di pagi hari, tetapi karena sejak tiga hari yang lalu Vale membutuhkan banyak istirahat agar tubuhnya kembali pulih, terutama kakinya.
Jadi, tiap kali Vale memasang alarm di ponselnya, maka Orlan akan langsung menonaktifkannya. Tentu saja tanpa sepengetahuan Vale. Orlan hanya ingin saraf-saraf di kaki istrinya bisa segera kembali seperti sedia kala. Walau ia tahu jika beraktivitas juga membuat fungsi sarafnya bekerja semakin baik. Tetapi yang jelas Orlan ingin istrinya menyisihkan banyak waktu untuk beristirahat.
Beruntung Orlan memiliki insting yang kuat sehingga ia tak perlu alarm untuk membuatnya terjaga. Hanya dengan niat ingin bangun jam berapa, maka Orlan akan membuka matanya di jam tersebut.
Sebisa mungkin Orlan menghindari suara yang berpotensi membangunkan istrinya. Ia bahkan memilih mandi di kamar mandi luar supaya suara yang berasal dari percikan air yang jatuh mengenai lantai tak sampai ke telinga Vale.
Saat kembali ke kamar, Orlan merasa beryukur Vale masih terlelap. Hanya dengan pinggang hingga lutut yang dilapisi handuk, ia berjalan menuju lemari untuk memilih pakaian yang akan digunakannya hari ini.
Biasanya Vale yang menyiapkan semua kebutuhannya, termasuk memilihkan bajunya. Menurut Orlan, melakukannya seorang diri bukanlah hal yang sulit. Jadi, tidak ada alasan baginya untuk membangunkan Vale sampai istrinya benar-benar ingin membuka matanya sendiri.
Suara gumaman panjang kala Orlan sedang mengancingkan kemejanya memanggil matanya untuk berpaling pada Vale. Tampak wanita itu tengah meregangkan tubuhnya dan kelopak matanya berkedut sebelum matanya benar-benar terbuka.
Orlan membiarkan kemejanya yang belum terkancing sempurna hingga dada bidangnya terlihat mengintip di baliknya tatkala kakinya membawa langkahnya berjalan menghampiri Vale yang sepertinya masih dalam proses menimbun kesadarannya.
"Selamat pagi, Sayang." Orlan duduk di pinggir ranjang. Sebuah senyum lebar datang dari bibirnya.
Vale menarik kedua tangannya ke atas berbarengan dengan tubuhnya yang bergerak miring dari arah kanan ke kiri secara bergantian. Lalu kembali meluruskan tubuhnya dengan manik yang berpindah memandang Orlan. Kedua belah bibirnya juga turut memunculkan senyum.
"Pagi," jawabnya kemudian, seraya mengubah posisinya menjadi duduk.
Vale tak bisa mengabaikan kemeja suaminya yang beberapa kancingnya belum terpasang. Atas inisiatifnya sendiri—oh! Mungkin karena Vale sudah kebiasaan melakukan hal-hal simpel seperti itu—maka tangannya dengan sigap hinggap di kemejanya, mengancingkan satu per satu hingga selesai dan kelihatan rapi di tubuh Orlan.
Begitu beres, Orlan menyorongkan wajahnya hingga bibirnya menyentuh bibir merah muda Vale, memberinya ciuman selamat pagi.
"Jadi, aku masih nggak boleh kerja?" tanya Vale setelah ciuman singkat mereka berakhir.
"Perjanjian kita, Sayang. Kamu harus istirahat selama tiga hari."
"Bosen, Lan." Bibir Vale mengerucut dengan jarinya yang mengetuk-ngetuk dada Orlan.
"Kamu lebih mementingkan rasa bosan kamu atau kesehatan kamu, hm?"
"Tapi aku udah nggak apa-apa, Lan. Kakiku udah nggak sakit lagi."
"Tetap aja kamu masih harus istirahat, Val."
Orlan mengangkat jari telunjuknya saat Vale ingin kembali membantah, mengingatkan wanita itu bahwa apa pun yang terjadi, Vale tetap harus tinggal di rumah.
Alhasil, bukan sangkalan lainnya yang keluar dari bibir Vale, tetapi helaan napas panjang dengan bibir yang kian melengkung ke bawah serta tatapan kesal yang dilayangkan kepada Orlan.
Kali ini, Vale akan memberi nilai enam dari sepuluh untuk paginya. Padahal, ia kerap kali memberi nilai sempurna karena paginya selalu dipenuhi oleh kebahagiaan. Tetapi karena Orlan tak mengabulkan permintaannya, maka ia akan menguranginya sebanyak empat poin.
"Tidur lagi, sana." Orlan memberi dua tepukan ringan di kepala Vale lantas berjalan ke cermin untuk merapikan pakaiannya.
Tidak ada yang dapat Vale lakukan selain mengangkat kedua tangannya pertanda kekalahan. Bila ambisi Orlan untuk menolak permintaannya sudah bulat, maka di detik itu pula jalannya untuk meraih keinginannya sudah lenyap.
Dari pantulan cermin, Orlan bisa melihat wajah masam Vale. Wanita itu bersandar pada kepala ranjang dengan bahu yang meluruh gontai. Sedikit tidak tega memang melihat Vale seperti itu, tapi mau bagaimana lagi. Kesehatannya adalah hal yang paling penting sekarang.
"Katakan apa yang kamu inginkan, Sayang. Aku akan mengabulkannya. Tetapi berlaku mulai besok." Orlan akhirnya menyerah. Ia benar-benar tidak bisa melihat ekspresi istrinya yang seperti itu.
Vale memalingkan wajahnya ke arah Orlan, berkedip cepat sebelum kedua matanya mengikuti ke mana perginya langkah pria itu yang berakhir duduk di pinggir ranjang.
"Ayo, katakan," desaknya, yang ingin cepat-cepat mengusir raut kecut di wajah Vale.
Vale menyambut perkataan tiba-tiba Orlan dengan satu alis yang terangkat. Kepalanya juga miring ke satu sisi dan bibirnya sedikit terbuka. Seolah-olah otaknya sedang mencerna ke mana pembicaraan Orlan berlabuh.
Sedang di depannya, Orlan tampak semakin tidak sabar. Ia juga turut melengkungkan sebelah alisnya.
"Bagaimana kalau berlaku mulai hari ini?" Setelah benaknya memahami dengan baik, penawaran adalah hal pertama yang keluar dari bibir Vale.
Orlan langsung menggeleng tanpa perlu memikirkan pertanyaan Vale. "Kebetulan besok adalah weekend, jadi berlaku mulai besok."
Berdecak, Vale meninju pelan dada Orlan. "Curang."
Orlan tidak dapat menahan tawa kecilnya. Dengan lembut ia mengelus dan merapikan rambut Vale agar tak menghalangi wajah cantik istrinya. "Hari ini aku harus bekerja, Sayang."
"Aku bisa pergi sendiri."
"Menurutmu aku akan membiarkan kamu pergi sendiri?"
"Ya ya ya. Aku tahu pasti jawabannya tidak," jawab Vale, terselip nada kesal dalam suaranya, tetapi yang satu ini tak terlalu mengusik Orlan. Ia malah tersenyum.
Setelah memastikan bahwa hari ini ia masih akan terkurung di rumah, Vale menarik dirinya dari selimut. Bangun dari tempat tidur menuju lemari dan mengambil salah satu dasi Orlan yang tersusun rapi.
"Berdiri," titahnya sembari berjalan menghampiri Orlan.
Senyuman Orlan bertambah lebar. Ia menuruti perintah Vale, dan ketika wanita itu sudah berada di depannya, ia menarik Vale semakin dekat lantas melingkarkan lengannya di sekitar pinggang wanita itu.
"Jadi, apa yang kamu inginkan?"
Vale bergumam panjang, memikirkan hal yang paling diingikannya selagi membuat simpul pada dasi suaminya.
"Pantai." Akhirnya Vale menemukan jawaban atas pertanyaan Orlan, tetapi ia sedikit bingung karena pantai tidak ada dalam daftar hal yang ia inginkan. Kata itu hanya terlontar begitu saja dari mulutnya, tanpa diperintah oleh otaknya.
"Baiklah, kita akan ke pantai," ucap Orlan dengan sumringah.
Kegiatan memasang dasi telah selesai Vale lakukan dan entah atas dasar apa, ia memuntahkan desahan panjang sebelum menaikkan pandangannya untuk bertemu dengan mata Orlan.
"Ada apa?" Orlan seperti menyadari perubahan raut wajah Vale, dan ia menjadi cemas seketika.
"Apa kita pernah pergi ke pantai sebelumnya?"
Pertanyaan Vale mengejutkan Orlan, menyentak hatinya hingga mengubah air mukanya menjadi tegang. "Kamu mengingat sesuatu?"
Pandangan Vale turun, menatap jemarinya yang masih menempel di dada Orlan. "Entahlah. Rasanya ada yang nggak asing dengan pantai."
"Jangan terlalu dipaksakan." Orlan menarik lembut dagu Vale supaya mereka kembali bersitatap. "Kamu nggak harus mengingat kejadian di masa lalu, Val. Berhentilah mencoba mengorek memorimu. Aku cuma nggak mau kamu kenapa-kenapa." Ia memberi senyum meyakinkannya walau keterpaksaan samar-samar membayang di wajahnya.
Masih tak ada respons dari Vale sampai detik ke sepuluh. Akhirnya Orlan mengambil inisiatif untuk memutus percakapan mereka yang berhasil membuat adrenalinnya berpacu, menghasilkan degupan jantung yang menyentak hingga ke tulang rusuknya.
"Kembalilah istirahat. Aku harus pergi sekarang." Setelah memberi kecupan panjang di dahi Vale, Orlan mengambil jas dan memakainya. Ia kemudian pamit sekali lagi kepada Vale dan suara pintu yang tertutup menandakan kepergian pria itu.
Di tempatnya, Vale mengabaikan kalimat Orlan dengan tetap mencoba untuk menggali ingatannya yang hilang. Tetapi baru beberapa menit mencoba, pusing mulai mendera kepalanya. Kulit kepalanya rasanya seperti sedang ditusuk-tusuk oleh benda tajam. Dan detik itu pula ia memutuskan untuk berhenti.
Sungguh, Vale sangat ingin mengingat kembali memori-memori di masa lalu. Semua orang tahu itu, termasuk Orlan. Tetapi entah kenapa tak ada satu pun dari mereka yang membiarkan Vale melakukannya. Entah apa yang telah terjadi di masa lalu sampai mereka berusaha menghalangi dirinya.
••••
Ke pasar beli salak, eh ketemu si Tatan. Yang mau nebak-nebak, dipersilakan💙
HAHAHA pantun macam apa itu🔫
3 Agustus, 2018
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top