Bagian 4

Selamat membaca teman-teman! Jangan lupa tinggalkan vote dan komentar❤

Bagian 4

Vale melepas heels-nya, meluruskan kakinya yang terasa sakit. Dengan tangannya sendiri, ia memijat-mijat kecil bagian betis hingga ke bawah. Tidak seperti rekan-rekannya yang lain, yang merasakan pegal di kaki karena bekerja seharian, yang Vale rasakan bukan hanya sekadar rasa pegal. Kakinya berdenyut nyeri dan mengumpulkan rasa sakit yang luar biasa sampai membuat Vale nyaris mengeluarkan air matanya.

Vale tak ingin menyalahkan orang lain karena rasa sakit itu murni hadir atas kesalahannya sendiri. Pagi ini ia nekat memakai heels setelah Orlan melarangnya habis-habisan. Belum selesai sampai di situ, ia juga harus berlari-larian dengan berbalut heels. Seharusnya Vale lebih mendengarkan kata hatinya ketimbang nafsu yang menginginkan dirinya tampil seperti wanita pada umumnya.

Menyesal pun percuma karena sakit yang kini menggerogoti kakinya tak dapat dihindari. Vale hanya mencoba pasrah dan memasang ekspresi baik-baik saja, terutama di depan Orlan nanti.

"Kenapa, Val?" Reyna yang baru selesai mem-fotocopy dokumen berhenti di depan bilik Vale. Mengamati air muka Vale yang menegang menahan sakit. Keringat sebesar jagung pun timbul di sekitar dahinya.

"Nggak apa-apa, Mbak. Cuma pegel doang, kok," kilah Vale, memasang senyum terpaksa agar Reyna tidak curiga.

Reyna berdecak, menggelengkan kepalanya seraya berputar menuju biliknya. "Lagian kamu kenapa make heels segala. Tumben banget."

Rekan sedivisinya memang sudah tahu kalau Vale dilarang memakai sepatu heels oleh suaminya. Dan baru kali ini mereka melihat sosok Vale yang berbeda. Alih-alih memakai flat shoes dan rok yang menutupi sampai ke lututnya, atau celana panjang, Vale malah berpakaian sebaliknya. Sangat tidak Vale sekali.

"Pake ini, Val. Tempel aja di betis kamu." Reyna kembali menghampiri Vale hanya untuk memberinya dua buah koyo pereda nyeri.

"Makasih, Mbak." Vale menerimanya dan segera menempelkannya di kedua betisnya.

Reyna mengangguk, menyarankan Vale untuk istirahat sejenak. Lagi pula, jam pulang akan tiba sebentar lagi.

"Mbak Rey."

Reyna menghentikan langkahnya saat mendengar Vale memanggilnya. Ia lantas berbalik dan kembali bersitatap dengan juniornya itu.

"Aku boleh pinjam sandal yang biasa Mbak pake itu nggak?"

"Pake aja."

"Aku bawa pulang ya, Mbak? Besok aku balikin, deh."

"Santai aja, Val. Besok-besok jangan pake heels lagi."

Senyum Vale mengembang lebar, mengabaikan sejenak sakit di kedua kakinya. Sekali lagi ia mengucapkan terima kasih kepada Reyna. Memang Vale sudah tak sanggup lagi memakai heels ini. Dari pada menambah parah sakitnya, lebih baik mencari aman.

Waktu pulang pun tiba. Sebelum itu, Vale sudah tak dapat lagi fokus pada kerjaannya. Ia hanya menatap layar komputer sambil menahan sakit. Ini sudah parah. Aktivitas yang dilakukan kakinya sudah lebih dari kapasitas yang seharusnya.

"Astaga, Val! Muka kamu kenapa pucet banget." Teriakan Diana mengagetkan yang lainnya dan dalam sekejap bilik Vale penuh oleh rekannya yang lain.

"Mbak, bisa anter aku ke rumah sakit, nggak?" pinta Vale, suaranya terdengar lirih dan tercekat. Peluh kian banyak membanjiri seluruh tubuhnya hingga blouse merahnya mencetak jelas keringat di punggungnya.

Tanpa perlu meminta dua kali, Diana langsung menuruti permintaan Vale. Dengan bantuan keempat rekannya, mereka membopong tubuh Vale ke area parkir dan segera membawanya menuju rumah sakit.

••••

"Sudah berapa kali Mbak bilang jangan ngelakuin kegiatan yang terlalu banyak melibatkan kaki kamu, Val."

Dokter Anna, dokter yang selama ini menangani kesembuhan Vale, yang sudah menganggap Vale seperti adik perempuannya sendiri tak berhenti mengomel sejak Vale berada di sini.

Vale sudah dapat tersenyum tanpa beban setelah Anna menyuntikkan sesuatu di kedua kakinya. Sakit yang dirasakannya mulai hilang sedikit demi sedikit.

"Kayaknya aku kangen sama Mbak, deh."

Anna mendesah panjang, kemudian kembali melakukan sesuatu pada kaki Vale. "Mbak nggak masalah kalo kamu datang ke rumah sakit untuk nemuin Mbak, tapi dengan catatan dalam keadaan sehat."

Vale hanya terkikik geli.

Tak berselang lama, pintu ruangan dibuka secara paksa dari luar. Orlan muncul kemudian, dengan keadaan yang cukup berantakan. Keringat membanjiri wajahnya, membuat rambut di sekitar dahinya menjadi sedikit basah. Dadanya juga tampak berguncang kuat, seperti seseorang yang habis berlari. Dan sepertinya memang itu yang Orlan lakukan barusan.

"Astaga, Valerie." Orlan menghampiri Vale dengan langkah lunglai. Segera ia memeluk istrinya, mengabaikan Anna yang sedang bertugas mengobati Vale.

"Aku nggak apa-apa," ucap Vale seraya menepuk pelan punggung Orlan.

"Kalo kamu udah ngerasa sakit walaupun nggak terlalu parah, jangan kamu tahan. Langsung bilang ke aku." Orlan menarik dirinya, memandang Vale penuh kekhawatiran.

Vale mengangguk, melepas senyum untuk Orlan dan membantu pria itu menghapus peluh yang memenuhi wajahnya.

Ini yang Vale tidak suka dari dirinya. Kapan ia bisa lepas dari kutukan ini? Ia tidak ingin melihat orang-orang di sekitarnya terus mencemaskannya.

"Kenapa kakinya bisa kambuh lagi, Na?" Orlan beralih pada Anna, tanpa menggunakan embel-embel yang lebih sopan ketika bertanya karena Anna merupakan teman kuliahnya.

Anna menjelaskan secara detail sembari terus melakukan perawatan pada kaki Vale. Dan Orlan memasang telinganya baik-baik dan memerintah memorinya untuk mencatat apa saja yang keluar dari mulut Anna sebagai peringatan agar ia lebih berhati-hati dan sigap dalam hal menjaga Vale.

Alasan memakai heels dan kegiatan lari pagi juga turut dijelaskan oleh Anna. Hal itu sontak membuat Orlan menoleh ke arah Vale dengan mata yang menyipit tajam. Sedang Vale sendiri hanya bisa meringis merasa bersalah.

"Tolong siapkan kursi roda, Na," pinta Orlan setelah Vale selesai melakukan serangkaian pengobatan dan sudah diperbolehkan pulang.

"Aku bisa jalan sendiri, Lan. Nggak perlu kursi roda," tolak Vale cepat.

"Jangan berani menyentuh lantai, Valerie." Orlan memperingatkan Vale ketika wanita itu hendak turun dari atas ranjang.

Vale mendesah kalah. Kedua bahunya meluruh pasrah saat menerima titah Orlan yang tak bisa lagi dibantah.

Anna tak bisa menahan kekehannya saat melihat sepasang suami istri itu.

"Tunggu sebentar, ya." Anna keluar untuk mengambil kursi roda sesuai permintaan Orlan.

"Lan, kamu nggak ketemu Mbak Diana, kan?" tanya Vale sepeninggal Anna. Ia hanya ingin memastikan bahwa Diana memang sudah pulang setelah pengusiran yang ia lakukan secara lembut tadi.

Orlan menggeleng, mengundang Vale untuk membuang napas lega.

Memutar tubuhnya hingga berada di hadapan Vale, Orlan menumpukan kedua tangannya pada besi di pinggir ranjang, membuat Vale terkurung di antara lengannya. Punggung yang sedikit direndahkan membuat mata mereka sejajar.

"Kamu takut orang-orang mengetahui hubungan kita kalau kamu memberi tahu tentang rasa sakitmu kepadaku, bukan?" Suara Orlan begitu rendah. Bibirnya membentuk satu garis tipis yang memandakan bahwa ia tengah dalam mode serius.

Vale kesusahan menelan ludahnya, begitu pun ketika hendak bersuara.

"Jangan egois, Val. Kesehatan kamu lebih penting dari apa pun. Aku lebih suka orang-orang membicarakan kita ketimbang aku menjadi orang yang nggak berdaya karena nggak punya hak apa pun buat nolong kamu. Aku ingin menjadi orang yang bisa kamu andalkan kapan pun, Val. Jangan buat aku menyesal di kemudian hari."

Bibir Vale tampak bergetar sebelum ia menggigitnya. Matanya memandang lurus ke arah Orlan, menumpahkan tumpukan rasa bersalah yang terlihat di netra cokelat terangnya.

"Maaf." Hanya itu yang bisa Vale katakan.

Embusan napas panjang menguar dari mulut Orlan bersamaan dengan posisi tubuhnya yang ditegakkan kembali.

"It's okay." Orlan merengkuh Vale dan memberi kecupan panjang di puncak kepalanya. "Lain kali jangan diulangi lagi. Kamu punya aku. Rasanya kesel banget waktu tahu kabar buruk itu bukan dari mulut kamu sendiri."

Vale menganggukkan kepalanya di dada Orlan dan menggumamkan kata maaf sekali lagi.

Orlan tahu betul alasan Vale tidak memberi tahu tentang kondisinya kepadanya karena wanita itu tidak ingin membuatnya cemas. Padahal, Orlan selalu mencemaskan istrinya setiap saat. Dan yang ia butuhkan selama ini hanyalah Vale yang akan selalu mengandalkan dirinya, bukan menanggung semuanya seorang diri.

Entah kenapa, sikap Vale yang seperti itu malah membuat dirinya semakin takut. Takut kalau sampai saat itu tiba, ia masih belum bisa memiliki Vale seutuhnya.

••••

#TeamLanjut mana suaranya?🔊 sini komen "lanjut" yang banyak wkwk. Kapan lagi coba ada author yang minta readers-nya komen lanjut. Biasanya mah diamuk😂

31 Juli, 2018

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top