Bagian 19
Selamat membaca teman-teman! Jangan lupa tinggalkan vote dan komentar❤
•
•
Bagian 19
“Aku bakal ngelamar kamu bulan depan.”
Sudah hampir satu minggu kalimat itu terus terngiang-ngiang dalam benak Vale. Kalimat yang muncul dalam mimpi buruknya sebelum berlanjut menjadi sebuah kecelakaan parah. Baru kali ini mimpi buruk Vale tidak hanya sekadar mobil yang bertabrakan dengan mobil lainnya, yang tanpa sadar mengisyaratkan bahwa ia tak sendirian pada saat kecelakaan terjadi.
Mimpi itu pun semakin hari semakin jelas. Bukan lagi ketakutan yang Vale rasakan, melainkan rasa penasaran yang teramat besar tentang teka-teki yang selama ini belum bisa ia pecahkan.
Siluet dua orang yang duduk dalam satu mobil pun seakan memberi petunjuk bahwa memang ada orang lain yang sedang bersamanya dalam mobil tersebut. Vale juga melihat dengan jelas bahwa dirinya duduk di sebelah kursi kemudi, yang berarti bahwa ada orang lain yang menyopir untuknya.
Lalu, apa benar Vale tidak sendirian pada saat kejadian?
Kalau memang benar, siapa orang tersebut?
Siapa sosok yang diingatan dan di mimpinya sama-sama berkata akan melamarnya bulan depan?
Dan kenapa Orlan serta mertuanya selalu menekankan jika Vale memang sendirian pada saat kecelakaan terjadi?
Rumit sekali.
Vale nyaris frustrasi karena tak ada satu pun pertanyaan dalam benaknya yang mampu ia jawab. Semua ingatannya yang hilang masih berupa kepingan-kepingan puzzle yang harus disusun terlebih dahulu.
Memijat pelipisnya, Vale meringis saat merasakan kepalanya seperti ditusuk-tusuk oleh benda tajam. Selalu seperti ini tiap kali Vale mencoba mengorek tentang ingatannya yang hilang. Kapasitas otaknya belum cukup untuk menekan memorinya yang hilang untuk kembali muncul.
“Kenapa, Val?” Pertanyaan itu berasal dari Maria, yang siang ini sedang berada di kafetaria kantor bersamanya. Juga ada Arman, yang langsung menoleh padanya setelah mendengar suara Maria.
Vale menggeleng, menatap Maria dan Arman secara bergantian. Tangannya masih bergerak memijit-mijit kecil pelipisnya. “Agak pusing, nih.”
Siang ini memang hanya mereka bertiga yang makan siang bersama di kafetaria. Sedangkan Reyna dan Seno sedang diminta bantuan oleh Diana. Tadinya pun Vale ingin makan bersama Orlan, tetapi sayangnya pria itu sedang ada urusan di showroom sang ayah.
“Sakit?” Gantian Arman yang bertanya, tampak jelas kekhawatiran di wajahnya.
“Cuma pusing dikit kok, Mas.”
“Ya, udah, balik aja, yuk? Biar gue bayar dulu makanannya.” Maria mengambil langkah gesit, bangkit dari duduknya. Lantas segera berjalan menuju kasir sambil membawa dompetnya.
“Belakangan ini kamu kayaknya lemes mulu deh, Val. Udah ke dokter?” Arman berpindah duduk ke samping Vale selagi menunggu Maria selesai membayar tagihan makanan mereka.
Vale menarik napas panjang, memejam sejenak saat pening dalam kepalanya berangsur-angsur menghilang. “Belum, Mas. Belum sempat.”
“Ke dokter gih, Val. Kali aja perut kamu udah ada yang ngisi.”
Kedua alis Vale menukik, menatap Arman dengan pandangan sangsi. Ia tahu betul apa yang pria itu maksud.
“Nggak mungkinlah, Mas,” elaknya kemudian.
Namun, di dalam hati Vale mulai memikirkan dugaan Arman. Satu demi satu perubahan yang ia rasakan pun mulai hadir dalam benaknya. Seketika bertanya-tanya jika ucapan Arman mungkin ada benarnya.
Lantas, kepala Vale semakin dibuat pusing. Ia dan Orlan sudah sama-sama sepakat untuk menunda kehadiran seorang anak karena kondisinya yang masih belum stabil. Apalagi Vale masih harus mengonsumsi obat-obatan.
Ya, Tuhan! Semuanya semakin runyam saja.
“Masih pusing, Val?”
Arman tiba-tiba saja berdiri di depan meja Vale, bertanya tentang kondisinya setelah mereka kembali ke ruang kerja sekitar lima belas menit yang lalu.
Vale mendongak, menatap Arman sambil memberi dua kali anggukkan. “Udah kok, Mas.”
“Ada yang pingin Mas tanyain deh, Val.” Arman menggeser kursi Reyna yang pemiliknya sedang berada di luar, mendekat ke sisi Vale sebelum mendudukinya.
“Nanya apa?”
Arman mengotak-atik ponselnya terlebih dahulu sebelum menunjukkan layarnya pada Vale, memperlihatkan seorang perempuan muda di sana. “Kenal sama orang ini nggak?”
Vale mengernyitkan dahinya, merasa tidak pernah melihatnya sama sekali. Lagipula, Vale juga sedang kehilangan ingatannya. Ia bahkan tidak akan tahu tentang dirinya sendiri kalau tidak diberitahu oleh orang lain. Tak ada satu pun rekan-rekan kerjanya yang tahu akan hal itu. Vale juga tak berniat untuk memberitahunya.
“Siapa emangnya, Mas?”
Gantian Arman yang menatap heran ke arah Vale. “Masa nggak kenal sih, Val? Namanya Nina. Temen sekamar kamu pas kalian ngekos bareng.”
“Hah?” Vale semakin dibuat kaget. Pasalnya, ia tidak pernah tahu jika dirinya pernah menyewa kos-kosan. Orlan tak pernah memberitahunya.
“Kemarin Mas ada upload foto kita yang rame-rame. Terus Nina langsung DM Mas. Nanya-nanya tentang kamu. Katanya udah lama kamu nggak ada kabar.”
Vale terdiam sejenak sebelum otaknya mulai merencanakan sesuatu. “Ah, Nina ya, Mas?” Lantas pura-pura mengenal sosok yang Arman maksud. “Boleh minta nomornya nggak, Mas?”
Tanpa berpikir panjang, Arman langsung memberikan nomor Nina pada Vale. Dan untuk kali ini, Vale akan terus memaksa otaknya untuk mengingat memorinya yang telah hilang. Lewat orang yang mungkin dulunya pernah dekat dengannya.
••••
Selama ini, Vale memang tidak pernah menaruh rasa penasarannya tentang siapa saja orang-orang yang pernah berhubungan dengannya di masa lalu. Vale hanya tahu bahwa ia memiliki Orlan, mertuanya, serta tante dan omnya yang saat ini tengah berada di luar negeri.
Vale tidak pernah berpikir bahwa ia memiliki teman di masa lalu. Orlan tak pernah sekalipun menyinggung tentang hal itu. Lagipula, Vale merasa cukup puas dengan orang-orang yang berada di sekitarnya saat ini. Ia sudah bahagia. Namun, perkataan Arman siang tadi cukup mengganggunya. Vale mulai penasaran siapa saja orang yang ada di masa lalunya dan apa yang sebenarnya terjadi.
Bukannya tidak percaya pada Orlan, Vale hanya ingin memastikan seperti apa dirinya di masa lalu, sebelum ingatannya hilang.
“Kamu tadi masak apa?” tanya Orlan yang baru saja memasuki ruang makan. Rambutnya masih setengah basah. Pria itu baru selesai mandi setelah setengah hari ini berada di showroom.
“Kamu pas nyampe rumah langsung peluk aku pas lagi masak, lho. Masa nggak nyadar aku masak apa,” decak Vale yang sedari tadi sudah duduk manis di meja makan, menunggu Orlan mandi.
Orlan terkekeh seraya mengambil duduk di hadapan Vale. “Aku fokusnya cuma ke kamu doang, Val.”
Vale mencibir, kemudian berdiri sejenak untuk mengambil nasi beserta lauknya untuk Orlan. Lalu, mengisi piringnya sendiri dan keduanya mulai sama-sama menyantap makan malam mereka. Diselingi obrolan kecil, tentang kegiatan Orlan saat berada di showroom, yang Vale sendiri tak menyadari bahwa cerita suaminya itu berisi kebohongan.
Setelah menyelesaikan makan malam pun keduanya masih terus melanjutkan obrolan. Kemudian Vale teringat jika mereka harus membahas perihal dirinya yang sudah tidak ingin lagi melakukan hipnoterapi.
Vale hanya membawa piring bekas makan malam mereka ke bak pencuci piring, tanpa mencucinya sama sekali. Ia kembali duduk di meja makan, kali ini di sebelah Orlan yang sedang menggunakan ponselnya.
“Lan,” panggil Vale yang hanya dibalas gumaman singkat oleh Orlan. “Nggak usah ngelakuin hipnoterapi lagi, ya?” tanyanya setelah memberanikan diri. Sebab, saat ia menolak sebelumnya, Orlan kelihatan tak senang.
“Jangan aneh-aneh, Val. Aku udah atur jadwal kamu besok,” balas Orlan tanpa menoleh ke arah Vale sedikit pun. Pandangannya masih terpaut pada layar ponselnya.
“Aku nggak mau, Lan.” Vale masih mencoba tenang. Paksaan Orlan mulai memunculkan rasa kesalnya.
Orlan tampak mengembuskan napas pendek sebelum memutar tatapannya pada Vale. “Kamu mau terus-terusan dihantui sama mimpi buruk kamu?”
“Tapi aku udah nggak pernah mimpi buruk lagi, Lan.”
“Sekali enggak tetep enggak, Val,” tegas Orlan yang tak ingin dibantah. Ia lantas beranjak dari kursinya, bersiap meninggalkan Vale yang masih ingin menyuarakan protesnya.
“Kamu kenapa jadi egois gini, sih?” tanya Vale yang membuat langkah Orlan terhenti.
Berbalik, Orlan kembali memusatkan irisnya pada sang istri. “Ini semua juga demi kebaikan kamu.”
Vale mendengkus, memutar tubuhnya agar lebih leluasa menatap Orlan. “Tapi lama-lama aku juga nggak suka kalo terus-terusan dipaksa kayak gini.”
“Val, please.” Orlan menurunkan nada suaranya, tampak tak ingin bertengkar dengan Vale. “Aku nggak mau ngelihat kamu dibayang-bayangi kejadian itu lagi. Aku nggak mau ngelihat kamu menderita.”
“Aku bilang aku baik-baik aja, Lan. Kamu berlebihan.”
“Berlebihan kamu bilang?” Seketika Orlan merasa tersinggung. “Aku ngelakuin ini semua demi kamu, Val.” Dan suaranya kembali meninggi.
Vale menggigit bibir dalamnya, memutus sejenak tatapan mereka sebelum akhirnya bangkit berdiri, berlalu dari hadapan Orlan sembari berkata, “Terserah kamu.”
••••
Hayuk ramein terus biar aku juga rajin update😘😘
5 Agustus, 2020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top