Bagian 15
Selamat membaca teman-teman! Jangan lupa tinggalkan vote dan komentar❤
•
•
Bagian 15
Tidak adanya resepsi pernikahan sepertinya membawa sedikit keberuntungan pada Orlan. Bersyukur saat mempersunting Vale sekitar empat bulan yang lalu, ia tak memaksa untuk mengadakan pesta besar-besaran hanya untuk memuaskan egonya dan membuat orang-orang tahu bahwa ia telah memiliki Vale seutuhnya.
Pada dasarnya, permintaan untuk tidak diadakannya resepsi pernikahan mereka berasal dari Jana, yang kemudian langsung disetujui oleh Vale. Alasan keduanya jelas berbeda.
Jika Jana mengusulkan hal itu karena tidak ingin berpesta ria di saat salah satu anaknya tengah terbaring koma, maka alasan Vale melakukan hal itu karena wanita itu tak ingin melakukan resepsi di saat ingatannya hilang. Tetapi pada saat itu Vale tidak mengetahui alasan asli Jana dan membuat Vale tak tahu menahu soal Rolan.
Belakangan ini Orlan menyadari bahwa pernikahannya dengan Vale yang terus disembunyikan membawa dampak baik dalam hidupnya. Setidaknya orang-orang tak akan mengusik tentang masa lalu mereka. Tak ada yang tahu siapa Vale di masa lalu. Dan itu sudah cukup untuk membuatnya merasa baik-baik saja.
Orlan pun berhasil menyembunyikan Vale dari pergaulannya di masa lalu. Andai saat itu ia menggembar-gemborkan pernikahan mereka, barangkali akan ada banyak orang yang mulai penasaran terhadap hubungan mereka. Sebab, yang orang-orang tahu, pasangan Vale adalah Rolan. Bukan dirinya.
Lantas, perasaan waswas itu kembali muncul ke permukaan, beriak membentuk gelombang besar pertanda bahaya ketika tanpa sengaja Orlan bertemu dengan sosok di masa lalu Vale, yang ia terka sebagai teman wanita itu.
Pikirannya jadi tidak tenang. Pada saat itu ia juga tidak menjawab pertanyaan dari wanita bertubuh tinggi itu. Ia hanya memberi senyum kikuk tanpa menjelaskan apa pun. Selanjutnya pergi dengan terburu-buru. Berharap tidak akan ada pertemuan kedua dan seterusnya di antara mereka.
Semakin ke sini, Orlan sepertinya harus mempersiapkan diri jika orang-orang di masa lalu Vale mulai kembali hadir. Ia akan membuat Vale membentuk pola pikir yang baru. Ia ingin agar Vale tetap meyakini bahwa dirinya adalah satu-satunya lelaki yang wanita itu cintai.
Vale sudah berada dalam rengkuhannya, mencintainya walau masih dibayang-bayangi oleh sosok Rolan. Dan Orlan tak akan pernah melepasnya. Sampai kapan pun.
“Hayoo ... lagi mikir apa?”
Suara Vale yang tiba-tiba menelusup ke dalam telinganya menyadarkan Orlan dari pikiran rumit yang tak henti menyambangi kepalanya.
Meninggalkan segala kekacauan tersebut, Orlan menolehkan pandangannya pada Vale. Ditemukannya istrinya yang sudah tampak rapi dengan jeans ketat yang membungkus kaki jenjangnya serta atasan berbahan rajut dengan model turtleneck.
“Mikirin kamu,” jawab Orlan asal, sekaligus menggoda Vale yang langsung menanggapinya dengan decakan gemas.
“Kamu sekarang sering banget ngelamun.” Vale mengambil duduk di sebelah Orlan. Tangannya tidak kosong saat menghampiri pria itu yang tengah duduk di ruang keluarga selagi menunggunya berdandan. Ia membawa sepasang sepatu kets milik Orlan, yang langsung diletakkan di bawah kaki pria itu. “Lagi mikirin apa, sih?”
Orlan membungkukkan punggungnya, meraih sepatu tersebut lantas segera memakainya. “Nggak mikirin apa-apa, kok.”
“Bohong. Dari kemaren ekspresi kamu kayak tertekan gitu,” sela Vale yang tidak percaya begitu saja.
“Perasaan kamu aja kali.”
Bibir Vale mencebik. Cukup kesal dengan ketidakjujuran Orlan. “Perasaan cewek nggak pernah salah, Lan.”
Sudut-sudut bibir Orlan terangkat, membentuk senyum tipis bersamaan dengan tubuhnya yang kembali ditegakkan. Sudah selesai dengan sepatunya. Kemudian dialihkannya maniknya pada Vale yang masih membentuk raut cemberut dalam wajahnya.
“Bawel banget Istriku.” Tanpa peringatan, Orlan tiba-tiba saja mendaratkan kedua tangannya di wajah Vale, mencubit pipinya dengan gemas.
“Orlan!” Vale memberontak, mengangkat tangannya untuk menghentikan kejahilan suaminya.
Setelah menerima beberapa pukulan ringan dari Vale, barulah Orlan menarik tangannya dari wajah wanita itu. Dilanjutkan oleh suara tawanya kemudian. Terdengar begitu kuat dan heboh, membuat wajah Vale menekuk kian dalam.
“Nyebelin banget!”
Tawa Orlan masih terdengar tipis-tipis. Selalu menyenangkan bisa mengisengi istrinya. Lalu, tawanya perlahan mulai mereda dan lambat laun lenyap, hanya menyisakan senyum lebar di kedua belah bibirnya.
Orlan pun bangkit dari duduknya, mengulurkan satu tangannya pada Vale, berniat untuk membantu sang istri mengangkat bokongnya dari kursi yang langsung diterima oleh Vale walau terlihat jelas rasa dongkol masih bercokol di hati wanita itu.
Namun, apa yang Orlan lakukan rupanya cukup untuk membuat Vale tidak lagi mengungkit tentang dirinya yang beberapa hari ini memang lebih sering melamun. Orlan tentu tak ingin Vale mengetahui apa yang bersarang dalam pikirannya. Sampai kapan pun, cerita di masa lalu itu tak akan ia biarkan terungkap.
••••
Vale dan Orlan sudah berada di dalam mobil. Memakai sabuk pengaman terlebih dahulu sebelum Orlan melajukan mobilnya, menempuh perjalanan kurang lebih setengah jam untuk sampai di kediaman orang tuanya.
Biasanya sepasang suami istri itu memang selalu menyempatkan diri untuk mengunjungi kedua orang tua Orlan di akhir pekan. Seperti halnya di sabtu pagi ini. Keduanya sedang tak memiliki agenda apa pun hingga memutuskan untuk bertandang ke sana.
“Lan, besok ke rumah aku mau nggak?” tanya Vale setelah beberapa menit perjalanan mereka hanya diisi oleh keheningan.
“Boleh. Mau ngapain emangnya?”
“Aku pingin nyari tahu tentang masa lalu aku, Lan. Aku yakin di rumahku pasti ada beberapa kenangan yang mungkin aja bisa ngembaliin ingatanku.”
Jawaban Vale membuat Orlan membeku di tempatnya.
Tidak.
Orlan tak akan membiarkan hal itu terjadi.
“Tapi aku nggak bisa janji, Val. Weekend gini kayaknya bakal macet banget.” Orlan membuat alasan. Apa pun itu, asalkan mereka tak pergi ke sana.
Sungguh, Orlan tak keberatan mengantar Vale pulang ke rumahnya. Walaupun berada di luar kota, Orlan tak masalah harus menyetir selama lebih dari tiga jam untuk tiba di sana. Tetapi bukan itu masalahnya. Ia tak akan membiarkan Vale mengunjungi rumahnya sendiri jika untuk alasan seperti yang diutarakannya barusan.
“Iya, sih. Kayaknya bakal macet banget, ya.” Vale manggut-manggut, menyetujui ucapan Orlan yang tak bisa disangkal kebenarannya.
“Lain kali, ya?” Orlan menghentikan laju mobilnya tepat di belakang garis saat lampu lalu lintas berhenti di warna merah. “Kita cari waktu yang pas buat ke sana.” Tepukan ringan ia jatuhkan di atas kepala Vale, meyakinkan wanita itu akan kalimatnya.
Vale mengangguk. Tak membantah Orlan sama sekali karena ia pun mengerti keterbatasan yang mereka miliki.
Senyum tipis terukir di bibir Orlan, menyamarkan kecemasan yang mulai berkumpul dalam mimik wajahnya.
Setelah kecelakaan yang membuat Vale kehilangan ingatannya, wanita itu memang baru mengunjungi rumahnya sebanyak satu kali. Itu pun untuk meyakinkan Vale tentang siapa dirinya sebenarnya. Hanya sebentar. Tak ada satu barang pun yang Vale bawa sehingga beberapa kenangan di masa lalunya tetap tertinggal di sana.
Tak ada satu pun yang bisa Vale kenang. Orlan sudah lebih dulu menyingkirkan memori di masa lalu Vale, membuat wanita itu hanya berkeliling di sekitarnya tanpa menengok ke belakang. Dan Orlan akan terus melakukannya.
“Mama sama Papa nggak di rumah?” tanya Vale begitu keduanya tiba di kediaman orang tua Orlan.
Orlan memarkirkan mobilnya di carport, mencari-cari mobil kedua orang tuanya yang memang tak kelihatan di rumah.
“Kamu udah bilang Mama kalo kita mau ke sini, kan?” Orlan melepas sabuk pengamannya. Lalu, bersama-sama keluar dengan Vale.
“Udah ngomong dari tadi malem. Katanya Mama nggak bakal pergi ke mana-mana, kok,” jawab Vale setelah keduanya keluar dari mobil. Ia lantas menyejajari langkah Orlan yang tengah berjalan menuju pintu utama. “Tapi mobilnya kok nggak ada di rumah, ya?”
“Tanya Bi Tiar dulu coba.”
Vale dan Orlan melepas sepatu mereka terlebih dahulu sebelum menginjak lantai marmer di rumah ini. Setelah mengucap salam, keduanya berjalan beriringan masuk ke dalam.
Teriakan Orlan yang memanggil kedua orang tuanya menggema di rumah yang kelihatan sunyi ini. Hingga pada akhirnya Bi Tiar—salah satu asisten rumah tangga di sini—muncul di hadapannya.
“Mama sama Papa nggak di rumah, Bi?” tanya Orlan to the point.
“Lho, Tuan sama Nyonya kan lagi ke rumah sakit, Mas. Dapet kabar kalo Mas Rolan udah sadar,” jawab Bi Tiar dengan aksen Jawanya yang kental.
Dan seketika Orlan merasakan langit-langit mulai runtuh, bersiap untuk menghantam dirinya. Sebelum akhirnya ia mendengar suara Vale, bertanya dengan nada bingung yang begitu kentara.
“Rolan? Rolan saudara kamu kan, Lan? Sadar dari apa? Bukannya dia lagi ada di luar negeri?”
••••
Kalo kalian rajin vote dan komen, ntar aku rajin update juga deh😝😘
3 Agustus, 2020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top