Bagian 13

Selamat membaca teman-teman! Jangan lupa tinggalkan vote dan komentar❤

Bagian 13

Vale keluar dari kamar mandi dengan handuk yang melilit sebagian tubuhnya. Sementara Orlan sudah tampak rapi dengan setelan formalnya, kelihatan menunggu Vale karena Orlan tak terlihat sedang melakukan apa pun selain duduk di pinggir ranjang dengan ponsel yang berada dalam genggamannya.

“Kenapa belum sarapan?” tanya Vale sembari melangkahkan kakinya menjauhi kamar mandi.

“Nunggu kamu.”

“Biasanya kamu juga sarapan duluan. Kamu kan mudah laper.” Vale berjalan melewati Orlan, menuju lemari pakaian.

“Sekalian,” jawab Orlan yang sengaja membiarkan ucapannya menggantung, membuat Vale yang sudah berdiri di depan lemari jadi penasaran.

“Sekalian apa?”

“Sekalian pilihin kamu baju yang harus dipake hari ini.”

Tiba-tiba saja Orlan sudah berada di belakang Vale, membuat wanita itu sedikit kaget karena sebelumnya tak menangkap suara langkah pria itu sama sekali. Tubuh Orlan lantas bergeser ke sampingnya, mengambil posisi di depan lemari dengan kedua mata yang secara lamat-lamat menatap pakaian-pakaiannya yang digantung rapi di sana.

“Mau ngapain sih, Lan?” Setelah sekian detik membiarkan pria itu menatap isi lemari, Vale akhirnya angkat suara untuk bertanya.

“Hari ini aku yang pilihin baju kamu, Val.” Orlan menjawab dengan kedua tangannya yang sibuk melihat dari satu pakaian ke pakaian lainnya.

Vale menggeleng-gelengkan kepalanya, merasa heran dengan sikap Orlan yang kadang suka di luar batas kewajaran. Meski begitu, ia tetap membiarkan Orlan melakukannya. Lucu juga melihat suaminya tampak serius hanya untuk memilihkannya setelan yang cocok.

“Hari ini aku nggak mau kamu pake rok,” ujar Orlan dengan sebelah tangannya yang sudah mengambil celana capri berwarna cokelat muda dari dalam lemari. Kemudian menyerahkannya pada Vale.

Dengan senyum yang tertahan, Vale menerima angsuran barang dari Orlan. Suaminya itu pun kembali memfokuskan pandangannya pada isi lemari, mencari atasan yang cocok dipadukan dengan si capri cokelat muda.

Sepertinya Vale sudah bisa menebak kenapa pagi ini Orlan mendadak menawarkan diri untuk memilihkan pakaian yang akan digunakannya ke kantor. Insting terkuatnya mengatakan jika kecemburuanlah yang mendasari sikap aneh Orlan pagi ini.

Meeting dengan klien yang waktu itu gagal karena Orlan, kini kembali dilanjutkan. Posisi sebagai ketua tim konsep tidak berubah, tetap dipegang oleh Vale, yang mana akan membuat Vale melakukan presentasi di depan klien yang kata Orlan terus menatap genit ke arahnya.

Jadi, jelas sekali jika hari ini Orlan sangat ingin membuat Vale memakai pakaian yang tertutup agar tidak ada celah bagi si klien pria untuk terus memandangi istrinya.

Orlan terkadang memang suka berlebihan, tetapi Vale tetap menyukai apa pun yang pria itu lakukan padanya. Sekalipun cemburunya sering kelewatan.

“Kalo bajunya yang ini cocok?” Tangan Orlan kembali mengambil sepotong pakaian dari dalam lemari. Kali ini blouse lengan panjang berwarna putih.

Alih-alih menyerahkannya langsung pada Vale seperti sebelumnya, Orlan malah meminta pendapat istrinya terlebih dahulu. Karena bagaimanapun juga, ia tidak ingin memaksa Vale jika wanita itu merasa tidak nyaman dengan pakaian pilihannya.

Vale tersenyum, merasa gemas karena Orlan nyatanya masih mengikutsertakan dirinya dan tak semena-mena memaksakan kehendaknya. Ia lantas mengambil baju tersebut dari Orlan dan berkata, “Cocok, kok.”

Okay!” pekik Orlan dengan girang. “Kamu pake baju itu hari ini.”

“Iya, Bawel.”

Dan Vale pun membawa dua potong pakaian pilihan Orlan untuk digunakannya, berlalu dari sisi suaminya yang sedang menutup lemari dengan senyum lebar.

“Aku keluar duluan.” Orlan berdiri di dekat Vale yang tengah mengenakan pakaiannya, mencium sekilas pipi wanita itu sebelum bergegas keluar kamar dengan barang-barang yang akan dibawanya ke kantor.

••••

Vale tak berlama-lama di dalam kamar setelah kepergian Orlan. Selesai dengan pakaiannya, Vale lantas menyisir rambutnya, membiarkan surainya yang hitam lurus tergerai sebatas bahunya. Wajahnya pun hanya dipoles make up tipis sebab Vale tidak terlalu suka berdandan secara berlebihan.

Pemakaian lipstik di bibirnya menunjukkan jika proses make up-nya akan selesai setelah ini. Vale lantas mengangkat bokongnya dari kursi, berpindah dari meja rias menuju stand hanger di sebelah lemari pakaian untuk mengambil tas yang digantung di sana.

Setelah memastikan tasnya terisi dengan barang-barang yang akan dibawanya, Vale berlanjut mengambil laptop, mendekapnya di dada dan beranjak memakai flat shoes-nya sebelum keluar menyusul Orlan.

“Bawa laptop lagi?” Itu adalah kalimat pertama yang keluar dari mulut Orlan begitu Vale menginjakkan kakinya di ruang makan.

“Kan file buat presentasi ada di sini semua.” Vale menarik kursi di hadapan Orlan untuk didudukinya kemudian. Diletakkannya laptop dan tasnya di kursi kosong di sebelahnya dan bersiap untuk menyantap sarapan sederhana yang tersaji di atas meja makan.

“Bilang aja mau nonton Drama Korea,” cetus Orlan yang memang tepat sasaran.

Vale mendongak, menatap Orlan sambil cengengesan.

Suaminya itu seratus persen benar. Sesekali Vale memang lebih suka membawa laptop sendiri walaupun di kantor sudah disediakan komputer. Alasannya seperti yang pria itu utarakan. Ada kalanya kerjaannya di kantor tidak terlalu banyak. Dan waktu luang itu biasanya Vale manfaatkan untuk menonton Drama Korea atau sekadar bermain game di laptopnya.

“Nanti kamu jangan marah lagi lho, Lan. Aku nggak mau presentasiku gagal lagi,” ucap Vale di sela-sela sarapannya.

Sementara Orlan sudah selesai dengan sarapannya. Kini tengah menikmati secangkir kopi hitam sambil mengamati Vale yang ada di hadapannya.

“Kalo kamu nggak digenitin lagi, aku nggak bakal marah kok, Val.”

“Emangnya klien yang cowok itu beneran ngeliatin aku terus? Kan di situ ada calon istrinya.”

“Kamu tanya ke yang lainnya aja kalo nggak percaya.”

“Aneh,” gumam Vale yang sejujurnya masih menyimpan sedikit rasa tidak percaya. Bisa saja itu hanya perasaan Orlan. Pria itu kan memang kelewat cemburu. “Tapi serius deh, Lan, nanti biarin aku presentasi dengan tenang, ya?” pintanya kemudian, mewanti-wanti Orlan agar kejadian sebelumnya tak terulang kembali.

Orlan tersenyum kecil seraya mengangkat cangkir kopinya. “Iya. Kali ini aku bakal biasa aja, kok. Lagian kamu udah tertutup gitu bajunya. Kalo kemaren kan kamu pake baju kurang bahan.”

Vale hanya berdecih, lebih sebagai respons terhadap kalimat terakhir Orlan. Ia memakai baju kekurangan bahan seperti itu juga karena suaminya. Rasanya Vale masih sedikit kesal jika mengingat kejadian sekitar satu minggu yang lalu.

Tepat pukul tujuh lewat dua puluh lima menit, Vale menyelesaikan sarapannya. Ia dan Orlan lantas segera berangkat ke kantor. Seperti hari biasanya, Vale memang selalu pergi bersama Orlan walaupun ia akan turun di seberang kantor untuk menghindari kecurigaan karyawan lainnya.

Lama-lama Vale merasa jika pernikahannya dengan Orlan seperti jenis pernikahan yang tidak mendapat restu orang tua sehingga membuat keduanya harus terus melakukan backstreet.

Sejujurnya Vale juga tidak ingin terus-terusan seperti ini. Tetapi mengungkap semuanya sekarang juga tidak memungkinkan. Vale masih belum mau menjadi topik pembicaraan nomor satu di kantornya sendiri.

Di tengah-tengah perjalanan, Orlan menghentikan laju mobilnya. Tiba-tiba saja Vale ingin mampir ke minimarket. Katanya ingin membeli roti untuk dibawa ke kantor sebab Vale terkadang suka mendadak lapar sebelum jam makan siang.

Jadilah kini keduanya turun dari mobil, memasuki minimarket dan membeli beberapa roti untuk dijadikan camilan penahan lapar.

Saat hendak membayar, Vale memutuskan untuk kembali ke mobil duluan, membiarkan Orlan yang mengurus soal pembayaran di kasir.

Bersamaan dengan keluarnya Vale dari minimarket, seorang wanita berperawakan tinggi pun masuk. Tetapi ada hal lain yang menarik perhatian Orlan. Wanita itu seperti mengamati Vale yang sempat melewatinya. Bahkan sampai memutar kepalanya untuk bisa melihat Vale.

Orlan memilih untuk tak terlalu memikirkannya. Setelah selesai membayar belanjaannya, ia pun bergegas untuk pergi.

“Permisi,” ucap Orlan pada wanita tinggi tersebut yang berdiri menghalangi pintu masuk.

“Ah, maaf.” Wanita itu bergeser, berpapasan dengan Orlan dalam beberapa detik. Hingga wanita itu sadar bahwa Orlan adalah sosok yang dikenalnya, dia pun nekat menahan Orlan yang sudah sempat melangkah. “Tunggu.”

“Ya?” Orlan berbalik, memandang bingung wanita tinggi di depannya ini.

“Kamu ... kamu Rolan kan?”

Dan apa yang sempat Orlan abaikan sebelumnya, kini malah mengisi penuh kepalanya.

Wanita itu, wanita yang tampak asing di matanya sudah pasti mengenal Vale. Itulah alasan kenapa wanita itu terus memandangi Vale sampai seintens itu.

••••

Makin hari makin waswas aja tuh si Orlan. Kalian pada kasian atau enggak, nih?🤭

2 Agustus, 2020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top