#9. Hidden Place
Enam jam setelah adegan memalukan itu, dihari ke dua puluh satu.
°|1030 words|•
Niatnya, lima menit sebelum bel pulang sekolah berbunyi aku akan izin ke toilet lalu pergi dari sekolah tanpa mengambil tasku. Masa bodoh, aku akan bolos dan itu seribu kali lebih baik daripada harus pulang bersama Jim.
Tapi, sepertinya keberuntungan tidak sedang berpihak padaku, karena tepat setelah menginjakkan kaki di parkiran, Jim telah duduk manis di atas motor sportnya. Melambai padaku dengan senyum bulan sabitnya.
Sejak kapan dia ada disana?
"Kau datang lebih cepat dari yang kuduga rupanya," ucapnya. Sedetik kemudian, tatapannya berubah menjadi menyelidik. "Kau tidak berniat untuk kabur dariku, kan?"
Aku tertawa garing. "Hahah tentu saja tidak!"
Iya, aku berbohong.
"Mana tasmu?"
"Ah, iya. Tasku mana, ya?" Aku pura-pura bingung. "Sepertinya aku melupakannya karena ingin cepat-cepat pulang bersamamu. Kalau begitu aku akan—"
"Tidak usah. Aku akan menyuruh Hasung untuk mengantarkannya ke rumahku nanti."
"Apa? rumahmu?"
"Ya, aku akan membawamu ke rumahku."
What?
"Cepat naik." Aku masih bergeming. Jim menaikan sebelah alisnya. "Atau mau ku gendong?"
Aku mendengus mendengar ucapannya. Gendong katanya? badannya itu tidak cukup besar untuk dapat menggendong tubuhku—karena aku sangat berat. Sungguh.
Aku duduk di jok belakang setelah mengenakan helm. Jujur saja, ini kali pertamaku naik motor, jadi aku cukup gugup.
Jim menarik kedua tanganku dan melingkarkannya di pinggangnya. "Kau harus pegangan jika tidak ingin jatuh."
Aku hanya menurut, lagipula tidak apa-apa bukan jika aku seperti ini? Dia pacarku.
Well, aku memang sempat menolak tapi itu bukan berarti aku tidak mau. Kau tahu maksudku, kan?
Jim tersenyum manis kepadaku—aku dapat melihatnya di kaca spion—sebelum menancap gas dan melesat meninggalkan sekolah.
Selama di perjalanan, tidak ada percakapan diantara kami. Hanya angin dan suara riuh kendaraan lain yang menjadi latar suasana kami saat ini.
Aku terus melihat kaca spion, memerhatikan wajah Jim yang begitu serius saat berkendara. Jika penampilannya seperti ini, wajah Jim terlihat sangat tampan. Aku tidak habis pikir kenapa Jimin bisa menyembunyikan wajah setampan ini dibalik penampilan nerd-nya.
Saat aku masih memperhatikan raut wajahnya, Jim menoleh kearahku membuat hidung kami saling bersentuhan. Hanya tiga detik kurasa karena selanjutnya, aku memalingkan wajah dengan pipi memanas.
Sial, aku jadi kembali teringat saat ia mencium bibirku.
Jim menepikan motornya di sebuah gedung tua. Entahlah apa namanya, yang jelas gedung itu terlihat sangat kuno dan tidak terurus.
Aku turun dan membuka helm. "Kenapa berhenti disini?" tanyaku heran.
Jim meraih helmku dan menyampirkannya di motornya. "Ini rumahku."
"Jinjja?"
Jim mengangguk mantap. "Sebenarnya ini hanya tempat persembunyian kami, tapi aku sudah menganggapnya seperti rumahku. Kau tahu, ini lebih baik daripada harus tinggal seatap dengan Pak tua itu. Mungkin Jimin tahan, tapi aku tidak sudi."
Aku tidak sepenuhnya mengerti ucapannya. Mungkin 'Pak tua' itu ayahnya? kakeknya? entahlah ... aku tidak tahu.
Tapi kenapa mereka bisa memiliki tempat seperti ini? maksudku gedung ini terlalu besar untuk bisa disebut sebagai tempat persembunyian.
"Ayo masuk, kau akan kaget jika melihat apa yang ada di dalamnya."
Aku mengekori Jim yang membukakan pintu besar, lalu masuk ke dalam gedung yang gelap gulita.
"Kau jangan diam disini, ikut denganku." Jim meraih tanganku dan menuntunku untuk menjauh dari balik pintu.
"Seharusnya ada tombol disini," gumam Jim sambil meraba tiang di sebelah pintu. "Ah ini dia!"
Di detik berikutnya, lantai seluas empat keramik besar terbuka—dan itu tepat dibalik pintu, mungkin itu sebabnya Jim melarangku untuk berdiri disana tadi.
Satu persatu anak tangga terlihat berjejer ke ruang bawah tanah. Aku yang masih kaget hanya mampu mematung di tempat.
"Wow," gumamku takjub. Jim terkekeh kecil.
"Ayo."
Lagi-lagi, Jim meraih tanganku. Menuntunku masuk menelusuri jejeran anak tangga. Aku sempat melihat lantai yang terbuka tadi menutup begitu kami telah sampai di ruang bawah tanah ini.
Rahangku hampir saja jatuh ke tanah. Ini gila, bagaimana bisa ada tempat semewah ini di bawah tanah? di gedung tua pula. Kuakui, mereka sangat pandai mencari tempat persembunyian.
"Ini semua ... milikmu?"
"Tidak. Ini milik Jimin. Aku hanya menumpang di tubuhnya, begitupula disini."
Oh, iya. Aku lupa kalau dia hanya kepribadian lain di tubuh Jimin.
Aku kembali mengedarkan pandanganku. Disini sangat indah, lebih dari itu, Jimin sepertinya memiliki selera yang unik dalam mendesign ruangan.
Semuanya ada disini, bahkan tempat ini dikelilingi kolam berenang juga beberapa tanaman kecil. Sungguh rumah idaman.
"Omong-omong, sepertinya kau wanita pertama yang menginjakan kaki disini," ucap Jim membuyarkan lamunanku sesaat.
Aku menoleh kearahnya, dia sedang membuat sesuatu di dapur.
"Benarkah?" tanyaku.
"Tentu saja, pemilik ruangan ini Jimin, bukan aku. Mungkin jika aku jadi dirinya, aku akan mengajak semua temanku untuk berpesta disini."
"Kau sudah menjadi dirinya, Jim."
"Well, aku hanya memiliki tubuhnya. Bukan menjadi dirinya." Jim tersenyum manis walau aku tahu, itu senyum yang dipaksakan.
Aku jadi menyesal telah mengatakan hal itu kepadanya.
Jim rupanya sedang membuat cokelat panas. Ia berjalan kearahku dan memberikan satu cangkir untukku.
"Thanks."
Jim mengangguk pelan, dia menyesap cokelat panas buatannya dengan nikmat.
"Jimin memang tidak memiliki teman, ya?" tanyaku.
Oke, sebenarnya aku sudah dapat menebak jawabannya tapi aku benar-benar penasaran. Bagaimana bisa seseorang bertahan tanpa satupun teman di sekitarnya.
"Hasung?"
"Hanya dia saja?"
"Umm ... sepertinya iya. Ia tidak memiliki waktu dan alasan untuk berteman dengan orang lain."
"Wae?"
"Aku tidak bisa menjawabnya. Kau sudah tahu terlalu banyak, nona."
Aku cemberut. Dia berhasil membuatku semakin penasaran akan sosok Jimin.
Well, aku sudah tahu salah satu rahasia terbesarnya —yaitu memiliki kepribadian ganda—tapi aku yakin kalau itu bukan satu-satunya rahasia Jimin.
Buktinya tempat ini dan mungkin masih ada banyak lagi rahasia Jimin yang belum atau mungkin tidak akan kuketahui.
Jim kembali berujar saat aku hendak menyimpan gelas kosong di wastafel.
"Oh ya, jika kau nanti diajak menikah oleh Jimin atau aku, jangan pernah di terima."
"Apa? menikah? omong kosong macam apa itu." Aku terkekeh, tapi melihatnya yang masih berwajah datar, membuatku mengerti kalau ia sedang serius.
"Pokoknya tolak saja! dan satu hal lagi." Ia berjalan mendekat ke arahku, mencondongkan tubuhnya, dan berbisik pelan.
"Jangan pernah mencintaiku."
•🍒•
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top