#44. Us

•|1084 Words|°

Sesuatu mengusik tidurku.

Semakin terusik saat sebuah benda kenyal menyentuh bagian bawah mataku berkali-kali. Berpindah dari sisi kanan ke kiri dan kini ia mengelilingi seluruh wajahku seolah tidak ingin ada seinci pun dari wajahku yang dilewatkannya.

Semakin lama semakin intens, hingga mengahasilkan bunyi kecil yang menggelitik telinga.

Mau tidak mau, mataku yang sebenarnya masih ingin terpejam ini terbuka juga. Samar-samar, aku dapat melihat bayangan kabur seseorang yang sangat aku cintai. Ia tersenyum lebar, masih tidak menjauhkan wajahnya dari wajahku.

"Akhirnya istriku bangun juga. Kau tidur sangat nyenyak, ya?" Jimin mengusap-ngusap rambutku ke belakang.

Aku memberenggut, mendorong wajahnya supaya menjauh. "Aku masih ingin tidur. Ahh kau mengacau saja—padahal aku sedang bermimpi bertemu Ji Changwook oppa."

"Apa? Kau memimpikan siapa? Ya! Kau—"

"Sssttt!—sudah lah! Aku ingin tidur lagi." Aku membalikan tubuhku membelakanginya tapi Jimin langsung membalikan tubuhku lagi, bahkan memegang wajahku dengan kedua tangannya.

"Ya! Bagaimana bisa kau memimpikan lelaki lain setelah kita melakukannya semalaman?" Jimin terlihat sangat kesal.

Aku mengecup hidungnya gemas. "Aku hanya bercanda. Tapi kau sudah semarah ini, ya? Padahal kau juga selalu bertemu Mina."

Wajah Jimin langsung berubah menjadi lebih lembut. Ia menghela napasnya, terlihat bersalah. "Itu lain lagi. Kupikir kita sudah sepakat untuk tidak membicarakannya lagi?"

Aku mengetuk-bgetuk dadanya dengan telunjukku. "Kapan kau akan menceritakan tentang kita pada Mina? Kupikir aku sudah memberimu waktu yang cukup untuk menyelesaikan semuanya. Aku ingin pulang."

Jimin medekapku lagi, membuat tubuh polos kami kembali bersentuhan. "Aku sedang berusaha. Aku tidak ingin kehilanganmu jika aku bertindak gegabah. Percayalah, aku tidak akan mengecewakanmu lagi."

Aku tersenyum dalam dekapannya.
Iya, aku percaya padamu Jim. Tapi tidak dengan Mina.

#

Mina meneguk semua obatnya, pun hingga air dalam gelas itu juga tandas. Ia sudah terbiasa dengan hal seperti ini. Ia sudah menjalani hal ini seumur hidupnya.

Maniknya menatap bunga sakura yang berguguran di halaman rumahnya. Musim semi tahun ini terasa berbeda. Tentu saja, musim semi kali ini ia akan menjalaninya bersama Jimin—orang yang sejak dulu di tunggunya, ia tidak pernah berpikir kalau ia masih di beri kesempatan untuk bertemu Jimin. Rasanya seperti mimpi.

Ponselnya bergetar, menampilkan sebuah panggilan dari Jimin. Senyumnya mengembang, untuk ke sekian kalinya. "Ya, Jim? Aku padahal baru saja akan menghubungimu."

"Ah, iya. Kau sedang ada dimana sekarang?"

"Aku masih di rumah. Aku sekarang sangat ingin jalan-jalan, bagaimana jika kita—"

"Ahh maaf, hari ini aku ada urusan bersama Hasung."

"Umm—berapa lama? Aku bisa menunggu—"

"Jangan! Kau jangan menunggu! Aku bahkan tidak yakin besok bisa kembali."

"Memangnya kalian akan kemana?"

"Emm—ke Korea. Ada sedikit masalah dengan perusahaan kami. Mungkin sekitar tiga sampai empat hari aku baru kembali. Maaf."

"Apa aku boleh ikut?"

"Tidak, ayahmu pasti tidak akan mengizinkan. Jangan khawatir, aku pasti akan kembali."

"Iya tapi, apa kau bisa—"

"Ah maaf, sebentar lagi pesawatnya lepas landas. Sudah dulu ya, bye!"

Mina menatap ponselnya dengan sendu. Mood-nya lagsung buruk. Ia membenci kondisinya yang seperti ini.

Andai saja ia terlahir seperti gadis biasa pada umumnya, ia mungkin tidak akan diperlakukan seperti orang sakit. Ya, walaupun ia memang sakit tapi ia paling benci dikasihani.

#

"Aku sudah memesan villa di dekat gunung fuji. Kita bisa berlibur disana selama beberapa hari." Jimin membantuku menyiapkan beberapa pakaian yang akan kami bawa ke sana.

Sebenarnya, ini bukan keinginanku. Jimin langsung mengajakku pergi, katanya ini sebagai permintaan maafnya karena sempat membuatku kesal tempo lalu. Aku menyukainya, lagipula, memang ini tujuanku ikut bersamanya ke Jepang.

"Tapi bagaimana dengan Mina?" Rasanya pertanyaanku ini agak aneh, tapi aku sudah terbiasa menanyakn hal ini. Karena walaupun aku cemburu, aku mengerti kalau Jimin melakukan semuanya untukku.

Jimin berjalan mendekat, memelukku dari belakang sembari meletakan kedua tangannya di perutku sementara kepalanya di bahuku. "Aku bilang padanya kalau aku pergi ke Korea bersama Hasung. Kau jangan memikirkan itu! aku ingin kita memliki liburan yang tenang. Kita tidak sempat berbulan madu, kan?"

Mendadak, pipiku bersemu. "Y-ya! Aku sudah mengandung sekarang. bulan madu apanya?"

Aku dapat merasakan Jimin yang terkekeh lembut. Bibirnya sesekali melayangkan kecupan ke leherku, membuatku geli. "Bulan madu bukan hanya untuk pengantin baru. Lagi pula kita masih sangat muda, orang-orang pasti tidak akan menyadari kalau kau tengah mengandung."

"Aku tidak memikirkan pandangan orang lain. Tapi aku memikirkanmu! Otak mesummu itu pasti sudah merencanakan untuk membuatku tidak bisa berjalan!" Setelahnya, aku baru menyadari kebodohanku.

Astaga, kenapa aku malah jadi memikirkan hal itu, sih?!

Benar saja, Jimin langsung melepaskan pelukannya. menyentuh kedua bahuku supaya menghadap padanya sembari menatapku dengan tatapan menyebalkannya.

"Aku atau kau yang menginginkannya? Aku hanya bilang akan mengajakmu jalan-jalan." Jimin mendekatkan kepalanya lalu berbisik di telingaku. "Tapi kalau kau ingin kita berperang di ranjang juga boleh, siapkan mentalmu saja."

Refleks, aku menendang tulang keringnya. Jimin langsung mengaduh, memegangi bagian yang kutendang dengan raut wajahnya yang memerah menahan sakit. "Aahhh."

"Kenapa kau mendesah?"

"Ini sangat sakit! Ah—tulang keringku sepertinya retak." Jimin meringis kesakitan.

"Jangan berlebihan!"

"Serius! Kau menendang bagian yang sudah ditendang Hasung! Aa—ahh."

Merasa bersalah, aku langsung berjongkok di depannya. "Bagian mana yang sakit?"

Jimin masih meringis, ia menunjukan bagian betisnya yang memang agak memerah. Aku meraih sebelah kakinya, menempatkannya di atas pahaku, lalu meniup-niup bagian yang memerah itu. Bahkan aku juga mengecupnya beberapa kali. Ibuku bilang, kecupan bisa menyembuhkan luka. "Bagaimana? Masih sakit? Atau perlu aku olesi salep?"

Jimin terlihat tidak percaya dengan apa yang barusan aku lakukan. Ia menggeleng. "Jangan! Kakiku sepertinya sudah sembuh."

"Kau yakin?"

Jimin mengangguk. "Iya, tapi ada satu bagian lagi yang sakit."

"Apa?"

Jimin tiba-tiba saja memanyunkan bibirnya.  "Bibirku sak—"

Plak!

"Ya! Kenapa kau malah menampar bibirku?!"

"Bukan aku, tapi itu keinginan anak kita. Katanya, ayah sangat mesum!" Aku berusaha menghindar, tapi Jimin dengan mudahnya membawaku ke pangkuannya. "Benarkah? Sejak kapan anak kita bisa berbicara?"

"Sejak—tadi. Aku dapat merasakannya," ucapku bangga sembari mengulum bibir.

"Ohh—begitu. Lalu apa yang ia katakan lagi? Aku ingin mendengarnya." Jimin semakin menenggelamkan kepalanya di ceruk leherku.

"Lalu—mereka juga mengatakan tidak ingin sering 'dikunjungi' oleh ayahnya. Mereka ingin tidur dengan tenang."

"Ahhh … itu sulit. Lagipula itu bukan murni kesalahanku." Jimin mengecup leherku, berkali-kali, membuatku menggeliat geli. "Itu kesalahan ibunya karena selalu membuatku tergoda."

"Isshh—kau tidak pernah berubah, ya?"

"Tentu saja, kau selalu menjadi candu untukku.

#

Gak tau ini apaan :" semoga suka aja sama momen mereka (atau ngebosenin?:)

Btw, thanks for 20k views!🎉
Gk nyabgka akutuh cerita ini bisa mendapat banyak cinta dari kalian, soalnya pas awal" sempet pesimis karena gk banyak yg baca :')

P.S. Mungkin tinggal beberapa part lagi, cerita ini bakal selesai. Soalnya konflik sama Mina itu udh yg terakhir :/ hhee

See you💕

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top