#40. Truth

•|1231 Words|°

"Jadi—kau ingin pergi kemana sekarang? Kau tidak ingin pulang, kan?"

Aku menghela napas begitu mendengar Hasung. Sudah dua puluh menit ia menjalankan mobil tak tentu arah, sementara aku tak tahu apapun soal jalanan di Jepang.

"Kemana sajalah, yang penting aku bisa beristirahat dan jauh dari jangkauan Jimin," balasku tanpa minat. Aku sudah sangat kelelahan.

Akhirnya setelah tiga puluh menit berkendara, kami tiba disebuah penginapan. Keadaannya cukup menyeramkan karena hanya ada satu lampu reman-remang yang menyinari pekarangan penginapan itu.

Tanpa sadar, aku memegang lengan jaket Hasung karena takut. Suasana penginapan ini entah kenapa terasa horor sekali.

"Permisi, kami ingin menyewa dua kamar. Apa masaih ada yang kosong?" Hasung bertanya pada resepsionis di sana menggunakan bahasa Jepang.

Aku mengangkat kedua alis kagum, ia mahir juga ternyata, aku baru tahu.

"Maaf Tuan, saat ini hanya tersisa satu kamar untuk pasangan. Kalian suami istri, bukan? Kenapa memesan dua kamar?" ujar wanita itu.

Refleks, kami saling berpandangan.

Aku menggeleng, "Umm … kami bukan—"

"Ah ya, istriku ini sebenarnya sedang marah padaku karena tidak membiarkannya makan buah-buahan masam. Kau tahu, keinginan ibu hamil selalu aneh-aneh, jadi ia tidak ingin satu kamar denganku karena aku tidak memenuhi keinginannya," ujar Hasung panjang lebar.

Aku sama sekali tidak mengerti perkataannya, tapi aku dapat meihat raut wajah wanita itu yang tersenyum sembari memandang perutku yang sudah agak berisi.

"Oh, jadi kau sedang hamil muda, ya?" Wanita itu bertanya padaku. Karena tidak mengerti, aku hanya meringis sembari mengangguk. Ini membingungkan, sepertinya nanti aku harus belajar menggunakan bahasa asing.

"Ah—istriku ini tidak mahir berbahasa Jepang." Hasung merangkul bahuku.

"Oh pantas saja." Wanita itu tiba-tiba tersenyum padaku. "Istrimu sangat cantik. Kalian terlihat sangat serasi."

"Oh, benarkah?" Hasung menyugar rambutnya ke belakang. Aku semakin merasa jadi obat nyamuk sekarang karena tidak mengerti apa yang sedang mereka bicarakan.

"Kalau begitu, kami menyewa satu kamar itu. kalaupun istriku nanti akan marah, aku tetap akan menemaninya," lanjut Hasung.

"Kau sangat pengertian sekali. Kebanyakan lelaki lain malah pergi di saat istrinya sedang marah padanya. Ini kuncinya, semoga istrimu tidak marah padamu lagi."

Hasung menerima kunci yang disodorkan wanita itu. "Baik, terimakasih."

Kami langsung masuk ke dalam, mencari kamar dengan nomor 56 yang tertera pada kunci.

"Apa yang kalian bicarakan tadi? Kenapa lama sekali hanya untuk memesan kamar?" aku mulai bertanya.

"Tidak ada, dia hanya bilang kalau aku terlihat sangat tampan, seperti aktor." Hasung tersenyum sok keren.

Aku memutar bola mata. Sikap anehnya muncul lagi.

"Oh ya, karena kita hanya bisa memesan satu kamar, aku akan tidur di mobil saja, ya?"

"Memangnya tidak ada kamar lain ya?"

"Tidak ada, kau tidur saja. Besok aku kembali."

Aku menerima kunci itu. "Baiklah, terimakasih untuk semuanya dan—"

"Dan apa?"

"Terimakasih karena kau telah memahami keadaanku. Yah—mungkin terdengar aneh tapi, aku bersyukur karena bertemu denganmu siang tadi. Entah bagaimana jadinya jika kau tidak ada di sana," ucapku panjang lebar.

Aku tidak mengada-ngada, aku memang sangat berterimakasih padanya.

Sementara Hasung menggaruk belakang lehernya. Ia terlihat sangat canggung. "Sudahlah, kau membuatku malu."

Aku hanya mengangkat kedua bahu, acuh. "Aku tidak terbiasa meminta bantuan orang lain, tapi kau membuatku melakukan hal yang sebaliknya. Kau sudah seperti kakak bagiku."

Entah kenapa, wajah Hasung langsung terlihat pias. Ia terlihat—kecewa? Entahlah ia langsung memalingkan wajahnya dariku. "Ekhm, sudah malam. Kau istirahat lah, aku akan keluar."

Aku mengangguk, memasukan kunci lalu membuka pintu berwarna merah muda ini. aku masuk ke dalam, sementara kulihat Hasung sudah pergi dari sini.

#

Baru saja Hasung angkat kaki dari penginapan itu, pipinya langsung dihujani kepalan tangan. Kejadiannya sangat cepat hingga Hasung tidak bisa mengelak.

"Dia itu masih istriku. Kenapa kau membawanya ke tempat seperti ini?!"

Tanpa melihat pun, Hasung sudah tahu siapa yang memukulnya tadi. Hasung berdiri, sementara sebelah tangannya memegangi pipinya yang nyeri.

“Lalu bagaimana denganmu? Kau bahkan mencium gadis lain di—“

Pukulan kedua kembali dilayangkan Jimin. Kali ini mengenai rahang Hasung, membuat lelaki itu meringis perih.

"Itu bukan urusanmu!"

"Itu jadi urusanku karena kau telah menyakiti wanita yang kucintai!"

Jimin terdiam, tidak mempercayai apa yang baru saja ia dengar.

Hasung masih memegangi rahang dan pipi kanannya yang lebam bahkan sedikit mengeluarkan darah di ujung bibirnya. Ia menatap Jimin remeh. "Kenapa? kau kaget?"

Hasung berjalan mendekati Jimin, melihat lelaki itu dengan tajam. "Aku sudah menyukainya sejak sekolah menengah pertama. Bahkan sebelum kau masuk sekolah menengah atas yang sama denganku, aku sudah menyukainya. Tapi kau tiba-tiba mendekatinya secara terang-terangan setelah menjadi penguntitnya selama bertahun-tahun!"

"Lalu kau mengatakan kalau Dahyun adalah wanita yang menolongmu saat kecil hingga akhirnya kalian menikah setelah lulus. Kau pikir, apa alasanku tidak datang ke pernikahan kalian saat itu jika aku tidak merasa hancur?" Mata Hasung kini terlihat berkaca-kaca.

"Aku merelakan Dahyun bersamamu, karena kupikir kau memang benar-benar mencintainya. Kau tidak pernah tertarik pada wanita lain selain Dahyun. Jadi kupikir, kau akan bisa membahagiakannya. Tapi apa sekarang? kenapa kau jadi lelaki brengsek yang memainkan dua hati wanita sekaligus?!"

Jimin terdiam. Bahkan ketika Hsung menarik kerah kemeja lelaki itu dengan kasar, hingga maniknya bertemu dengan mata penuh amarah Hasung, lelaki itu masih diam saja.

"Bahkan setiap hari aku selalu bercerita padamu tentang wanita yang aku sukai. Tapi dengan tololnya kau malah merebut cinta pertamaku. Kau pikir aku akan diam saja saat melihatnya terus menangis karena kelakuanmu, hah?!"

Satu pukulan mendarat di pipi kiri Jimin dengan kerasnya. Tak hanya itu, Hasung langsung menghadiahkan pukulan keduanya ke pelipis Jimin hingga berdarah. Lalu ke rahangnya, hidungnya dan terakhir menendang perutnya.

Brak!

"Uhukuhuk!” Cairan amis berwarna merah pekat itu langsung keluar dari mulut Jimin saat ia batuk. Ia sama sekali tidak melawan seranan Hasung yang membabi buta. Pandangannya terus kosong.

Hasung meludah ke sisi kiri tubuhnya. Rautnya sama sekali tidak menunjukan sedikit pun rasa bersalah saat melihat sahabat kecilnya kini sudah terduduk pasrah dengan luka lebam dimana-mana.

Alih-alih menyesal, ia malah merasa belum puas menghabisi Jimin.

"Kenapa kau tidak melawan, huh? Kau mengakui semua kesalahanmu?"

Hasung berkacak pinggang menatap Jimin yang berada di bawahnya.
Jimin terus menatap pada satu titik. Kondisinya sudah sangat memprihatinkan, tapi lelaki itu sama sekali tidak melihatkan raut kesakitan. Ia malah terlihat linglung.

"Lalu aku harus bagaimana? Aku juga tidak ingin melakukan semua ini," lirih Jimin. Hampir tak terdengar tapi suasana malam yang tenang dan jauh dari keramaian membuat Hasung masih tetap dapat menangkap perkataan Jimin itu.

"Kau hanya tinggal memilih, istrimu atau Mina?! Kau tidak bisa membahagiakan wanita yang satu dan menyakiti yang lain! Mereka bukan barang yang bisa kau mainkan seenakmu!"

Jimin mengangkat kepalanya, menatap tajam Hasung yang berasa di atasnya. "Kau tidak tahu masalah yang sedang ku hadapi. Kau tidak akan mengerti."

"Andai sesederhana itu, sudah dari dulu aku memilih Dahyun."

"Memang apa masalahnya? Kenapa kau tidak pernah membicarakannya dulu denganku?! Kau menganggapku ini apa?"

Jimin menunduk, rautnya sulit dibaca. "Terlambat. Lagi pula aku tidak ingin kau terlibat. Cukup aku saja yang menanggung semua ini."

Hasung kembali meraih kerah kemeja Jimin hingga wajah Jimin mendongak tepat di hadapannya. "Kau jangan sok bisa menyelesaikan semuanya sendiri. Cepat katakan padaku, apa masalahnya?"

Jimin terlihat ragu untuk mengatakannya. Ia menelan ludahnya susah payah sebelum bibir tebalnya mulai bergerak untuk menjawab.

"Aku berhutang nyawa pada Mina. Kalau aku tidak membuatnya bahagia, Dahyun akan mati."

#

Ohoho, mereka baku hantam guys🌝 aku gk tau pas adegan itunya kebayang atau enggak tapi aku udh berusaha menggambarkan sedetail mungkin—walau masih berantakan.

So, apa reaksi kalian pas baca ini? 😂

Btw boleh dong aku tau nama/panggilan kalian? Biar akrab gitu, siapa tau bisa fangirling bareng gt :"

Jangan lupa komen yg banyak ya😘

See you💕

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top