#39. Crying
Pireding💜
•|1322 Words|°
Aku cepat-cepat pergi dari tempat itu. Tungkaiku melangkah semakin cepat, seiring dengan pergerakan jimin jauh di belakang sana. Jimin mengejarku.
Tepat ketika aku sampai di lift, buru-buru aku menekan tombol ke bawah lalu masuk ke dalam sebelum Jimin sampai di sini. Beruntung, Jimin datang sebelum pintu lift benar-benar tertutup sehingga aku sudah bisa menghela napas lega.
Aku masih dapat mendengar suaranya yang menyerukan namaku walau samar, hingga ketika lift mulai bergerak perlahan ke bawah, aku sudah tidak bisa menahan tangisku lagi.
Aku membekap mulutku, berusaha meredam isak tangis yang sangat sulit aku kendalikan. Hatiku perih, lelah menahan semua ini.
Rasanya, baru kemarin aku masih bermanja-manja pada Jimin. Rasanya, baru kemarin kami menghabiskan waktu dengan penuh cinta dan canda. Rasanya baru kemarin, aku merasakan indahnya mencintai dan dicintai.
Namun dalam hitungan singkat, semuanya berubah. Sangat berubah hingga diriku merasa asing.
Waktu terasa sangat lambat, manikku menatap pada bayangan diriku di dinding lift. Sangat kacau dan hancur. Entah harus sampai kapan aku merasakan semua ini.
Lift sudah sampai di lantai satu, dalam hitungan ketiga, pintu lift terbuka. Aku berusaha menghapus sisa air mataku. Begitu keluar, langkahku langsung terhenti saat melihat Jimin sudah ada di hadapanku.
Ia terlihat sangat kelelahan dengan napasnya yang memburu. Sepertinya, ia nekat turun dari lantai dua puluh menuju lantai satu dengan menuruni tangga.
Aku otomatis mundur saat ia akan mendekat. Aku tidak ingin menemuinya. Manikku menangkap bayangan Hasung yang tengah berdiri di dekat lobi. Tanpa basa-basi lagi, aku langsung berlari menuju Hasung tak mempedulikan Jimin yang kembali memanggil-manggil namaku.
Sepertinya, Hasung baru menyadari keberadaanku karena aku dapat dengan jelas melihat raut kebingungannya. Dan entah kekuatan darimana, aku langsung menghambur ke pelukannya. Menangis hebat di dadanya.
"Hey, kau kenapa?"
Aku menggeleng, berusaha mengais oksigen sembari menahan isakan yang sangat menyiksa. "Jebal, bawa aku pergi dari sini."
"Hasung-ah, lepaskan Dahyun." Aku semakin meremat kuat baju Hasung saat mendengar perkataan Jimin. Aku tidak mau, aku tidak mau menemuinya untuk saat ini.
"Ada apa ini?" Hasung bertanya lirih padaku. Lagi, aku menggeleng. Berusaha menjelaskan kalau aku tidak ingin menemui Jimin.
"Pokoknya, bawa aku pergi dari sini—hiks. Kemanapun. Aku tidak ingin bertemu Jimin."
"Ya! Hasung-ah! Lepaskan Dahyun!” Jimin kembali membentak, kali ini suaranya terdengar emosi.
"Aku tidak tahu apa yang sedang terjadi diantara kalian berdua. Tapi, sepertinya lebih baik kalau kau tidak menemui Dahyun dulu. Ia sepertinya butuh ketenangan." Entah kenapa, aku merasa lega mendengar perkataan Hasung. Ia mengerti keadaanku.
"Kau tidak memiliki hak untuk mengaturku! Lepaskan Dahyun!"
"Bukannya kau bilang kalau Hasung adalah pacarnya? Kenapa Hasung tidak memilik hak untuk membawanya pergi?" Itu suara Mina.
Aku tidak bisa memastikannya karena aku masih memeluk Hasung, tapi aku sudah hapal dengan suaranya.
"Ya—itu … karena masih ada hal yang harus aku bicarakan dengan Dahyun.” Jimin terdengar gugup.
"Kau tidak perlu khawatir Jim, biar aku yang mengurus Dahyun." Kepalaku otomatis terangkat untuk melihat wajah Hasung. Entah kenapa, suaranya terdengar seperti sedang marah.
Hasung menyadarinya, ia menunduk dan memperlihatkan senyum teduhnya padaku. "Kau ingin aku membawamu pergi dari sini, kan? Kau ingin aku membawamu kemana, Sayang?"
Apa katanya? Apa ia sedang berakting?
"Umm—kemanapun itu. Asal bersamamu," ucapku kikuk. Aku masih merasa aneh, tapi biarlah, ikuti saja permainannya, yang penting aku bisa pergi dari sini.
Hasung langsung merangkulku, membawaku keluar dari gedung menuju mobilnya yang telah terparkir di pinggir jalan. Sekilas, aku menengok ke belakang. Mina terlihat mengalungkan tangannya pada lengan Jimin, sementara lelaki itu masih menatap lurus ke arah kami.
Alih-alih tatapan bersalah, Jimin malah menatapku datar. Seolah apa yang telah aku lakukan adalah kesalahan besar. Aku memalingkan wajah dan kembali melihat ke depan, astaga kenapa rasanya sakit sekali?
Hasung sudah membukakan pintu mobilnya untukku. Setelah aku masuk, Hasung menutupkan pintuku, lalu berjalan memutar untuk menuju kursinya. Begitu mobil ini dinyalakan, aku kembali melirik pada tempat Jimin tadi, tapi aku sudah tidak dapat menemukan keberadaannya.
Sepanjang perjalanan, aku sama sekali tidak berbicara apapun dengan Hasung. Pikiranku masih tertuju pada Jimin.
Tentang semua kejadian tadi, sikapnya dan tatapannya. Entah kenapa, aku merasa seperti ada yang sedang Jimin sembunyikan dariku.
#
Begitu aku membuka mata, hal yang pertama kali kusadari adalah aku masih berada di dalam mobil Hasung. Entah sejak kapan aku tertidur, rasanya aku tidur nyenyak sekali.
Sebuah jaket telah tersampir di atas tubuhku, ini jaket Hasung, tapi kemana dia?
Aku membuka pintu dan keluar dari dalam mobil. Tubuhku rasanya pegal sekali karena terus duduk dalam waktu yang lama. Sebuah sinar matahari jingga menyorot dari arah barat, sepertinya sebentar lagi matahari akan tenggelam. Aku dapat melihat Hasung yang tengah duduk sembari menatap hamparan laut luas yang membentang.
Aku mendekatinya, mendudukan bokongku di sampingnya. Selama beberapa menit, kami terdiam. Saling menikmati suasana matahari terbenam dalam keheningan.
Manikku fokus melihat bagaimana keindahan sinar mentari yang perlahan lenyap itu, sedang pikiranku melalang buana. Aku terus melamun hingga tidak menyadari kalau sejak tadi Hasung tengah menatapku. Entah sejak kapan, dan aku merasa risih karenanya.
"Ya! Kenapa kau terus menatapku begitu?" Aku menghembuskan napas kesal, meluruskan kaki tanpa menoleh ke arahnya.
Hasung masih diam. Ia hanya menarik sebelah sudut bibirnya, lalu kembali melihat pemandangan yang disuguhkan oleh alam di hadapan kami.
"Rupanya kau benar-benar hamil, ya? Aku dapat merasakannya saat kau memelukku dengan erat siang tadi."
Aku memukul bahunya, ia mengaduh. "Kau pikir aku berbohong, hah?"
Ia malah terkekeh geli. Kupikir setelah melhat caranya menatapku tadi, ia akn membicarakn hal serius, tapi ia malah mengatakan hal konyol seperti itu.
"Kalau aku boleh tahu, siang tadi kau kenapa? apa yang terjadi diantara kalian?"
Aku menunduk. Pertanyaan ini lah yang sangat aku hindari, tapi cepat atau lambat, Hasung pasti akan menanyakan hal ini. Aku memainkan pasir dengan telunjukku. "Entahlah, aku merasa Jimin sedang menyembunyikan sesuatu dariku. Apa kau tahu sesuatu?"
Kali ini, Hasung menatapku. "Aku juga tidak tahu. Tapi semenjak Jimin memutuskan untuk pergi ke sini, aku sudah menyadari kalau ada yang tidak beres."
"Maksudmu?"
"Ya, kau tahu, kan kalau tidak hanya perusahaan ayah Mina saja yang bisa membantu keuangan perusahaan Jimin. Aku juga punya perusahaan, ayahmu juga, kan? Lalu kenapa ia harus mencari yang jauh disaat aku sebagai temannya dan ayahmu sebagai mertuanya bisa membantunya? Apa kau tidak merasa ada yang aneh?"
Aku terdiam. Ucapan Hasung ada benarnya juga. kenapa aku tidak memikirkannya sebelumnya?
"Lalu saat Jimin memutuskan untuk pergi keluar dan menemui Mina, aku juga melihat dengan jelas kalau Jimin tengah—oh, astaga, sepertinya aku terlalu terbawa suasana. Maafkan aku." Aku menggeleng lemah.
Air mata sialan ini tiba-tiba saja keluar saat mendengar Hasung akan mengungkit hal itu lagi, ditambah memori saat aku mendengarkan percakapan Jimin dengan Mina saat di ruangannya dan di depan lobi membuat lukaku semakin tercabik.
"A-aku berusaha menahannya sejak tadi tapi—hiks, aku tidak bisa. Aku merasa seperti orang asing bagi Jimin—hiks—a-aku harus bagaimana Hasung-ah?” Hasung meraih bahuku, menyandarkan kepalaku dibahu lebarnya sementara aku semakin menangis hebat. Tak peduli dengan posisi kami yang terasa sangat dekat.
"Menangislah sepuasnya. Aku tahu kau telah mengalami hari yang berat. Menangis saja, jangan menghiraukanku—aku akan terus berada di sampingmu," lirihnya sembari menepuk-nepuk bahuku pelan.
Mendengarnya, aku semakin menangis hebat. Tangisan yang sejak tadi aku tahan keluar begitu saja. Hasung menariku ke dalam pelukannya, membiarkanku menangis sepuasnya di dadanya.
Matahari sudah tenggelam, menghembuskan angin dingin malam dengan deburan ombak laut yang tenang. Aku terus menangis, seolah pelukan Hasung adalah tempat ternyaman bagiku untuk meluapkan segalanya.
Aku tidak pernah merasa sedekat ini dengan Hasung tapi, aku bersyukur karena masih memiliki orang sepertinya di sampingku.
Ya, setidaknya di sini aku masih memiliki orang yang peduli padaku.
#
Aku suka deh soalnya kemarin rame banget komennya😂 jadi makin semangat buat lanjut ni cerita.
Btw, kemarin banyak yg pengen dubu jadi sama hasung aja daripada di sakitin Jimin 🌝 so, disini aku kasih sedikit moment mereka. Gmn? Nge-feel gk?
Terakhir, aku cuma mau kasih tahu kalo semakin banyak kalian ninggalin komentar, semakin cepet aku up soalnya, komenan kalian tuh berasa udh jadi penyemangat aja gt😅
See you💕
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top