#38. Shouldn't Have Come
Can you call me 'Mi' please?
Soalnya pas baca comment berasa agak gmn gitu kalo dipanggil
'thor' :v
•|1079 Words|°
Entah itu sapuan napas di leher atau di wajah, kecupan singkat di bibir dan kening ataupun pelukan di belakang tubuh. Semua itu hampir selalu dilakukan Jimin padaku setiap pagi.
Tapi kali ini, jangankan hal manis seperti itu, aku bahkan tidak dapat melihatnya di manapun.
Pagi-pagi sekali, Jimin sudah pergi. Aku baru menyadarinya saat melihat tumpukan baju yang agak menggunung di dekat lemari. Lelaki itu sepertinya sangat terburu-buru hingga melupakan ponselnya.
Setelah membereskan tempat tidur dan mandi, aku mencoba membuka ponsel Jimin. Aku mengetikan sandi untuk membuka layar kunci hingga menampilkan potret kami yang ia jadikan walpaper.
Potret saat kami piknik setelah dari Namsang Tower. Tepat setelah kami berdua lulus sekolah menengah atas.
Saat itu, Jimin langsung mengajakku pergi ke suatu tempat. Katanya, itu adalah tempat yang sangat ingin ia kunjungi saat kencan. Ya, kalau tidak salah, itu adalah kencan ke-lima kami.
Jimin juga mengajakku ke Haneul Park, taman yang dipenuhi ilalang saat musim gugur tiba. Ada dua cara untuk dapat pergi ke sana. Pertama, menggunakan shuttle car dan yang kedua dengan berjalan kaki menaiki 291 tangga.
Sebenarnya, untuk menaiki shuttle car hanya dikenakan biaya 30.000 won, tapi kami memilih untuk menaiki tangga. Konon katanya, siapapun yang menaiki tangga itu—baik tua atau muda maupun pasangan—pasti akan mendapatkan kebahagian. Selain itu, pemandangan Seoul juga akan terlihat sangat indah jika kita berjalan kaki.
Aku masih ingat, ketika Jimin pada akhirnya menggendongku dari tangga ke 200. Saat itu aku sedang datang bulan, dan Jimin langsung menawarkan punggungnya saat melihatku kelelahan.
"Kau tahu, ayah dan ibuku juga pernah datang kemari saat kencan dulu. Dan aku ingin, kita juga bisa menjadi pasangan yang abadi seperti mereka."
Perkataan Jimin masih terekam jelas dalam memoriku. Tanpa sadar, aku tersenyum mengingatnya.
Sebuah panggilan tiba-tiba masuk, otomatis aku melihat nama si penelfon.
Minari’s calling~
Minari? Mina?!
Penasaran, aku mengangkat panggilan itu. "Hallo?"
"Dahyun-ah, ini aku."
Ini suara Jimin.
"Eoh, wae?" balasku dingin.
"Bisa kau antarkan ponselku itu kemari? Aku akan mengirimkan alamatnya."
"Kalau aku tidak mau?"
"Kau titipkan saja itu pada Hasung, dia akan sampai disana beberapa menit lagi."
"Jimin, kau sudah selesai? Aku membutuhkanmu." Samar, aku dapat mendengar suara seorang perempuan yang memanggil Jimin. "Eoh, tunggu sebentar."
"Dahyun-ah, aku sedang sibuk. Kalau kau tidak mau kemari, kau titipkan saja ponselnya pada Hasung, ya? Maaf karena meninggalkanmu disana sendiri, aku mencintaimu."
Tut!
Aku langsung mematikan panggilan.
Manikku masih mengamati kontak bernama Minari itu. Dia benar Mina, kan? Lalu kenapa Jimin harus memanggilnya mengunakan ponsel Mina? Apa sekarang juga mereka masih berduaan?
Aku menghela napas, berusaha menenangkan hatiku yang langsung terasa panas saat memikirkan beberapa kemungkinan buruk itu. Padahal ini masih pagi, tapi Jimin sudah membuatku merasa pening seperti ini.
Kenapa Jim? Kenapa aku merasa kau berubah?
#
Aku memutuskan untuk mengantar ponsel Jimin sendiri. Apapun yang terjadi, aku ingin melihatnya sendiri, aku tidak mau jika harus selalu bergantung pada Hasung.
Aku melihat pesan yang baru saja Jimin kirimkan. Mencocokan alamat pada pesan itu dengan keberadaanku sekarang.
Gedung setinggi dua puluh lantai terlihat sangat megah dari bawah sini. Arsitekturnya terlihat sangat modern, tapi tidak mengurangi kesan indah yang juga dipadukan dengan beberapa pohon hijau yang ditata sedemikian rupa.
Aku memang tidak begitu mengerti soal gedung, bagunan atau semacamnya, tapi harus aku akui kalau gedung ini dibangun dengan sangat baik.
Aku memasuki gedung itu dengan gugup, jujur saja ini kali pertamaku masuk ke gedung sebesar ini tanpa ditemani Jimin. Biasanya, saat menghadiri acara-acara yang digelar di perkantoran seperti ini, Jimin selalu menggenggam tanganku yang basah karena berkeringat.
Entahlah, aku selalu merasa gugup jika memasuki tempat yang terasa asing bagiku, apalagi ini di negeri orang.
Setelah bertanya kepada resepsionis dengan bahasa Jepang seadanya, aku langsung mengikuti arahannya.
Berjalan menuju lift lalu naik ke lantai sepuluh. Diujung lantai, ada sebuah pintu berwarna merah gotik, dan disanalah Jimin berada.
Begitu sampai, aku tidak langsung membuka pintu itu. aku dapat mendengar suara Jimin yang terdengar seperti sedang menjelaskan sesuatu dalam bahasa korea. Aku terdiam, berusaha mendengarkan percakapan antara Jimin dan Mina di dalam sana.
"Harus berapa kali aku bilang, dia itu bukan siapa-siapa, Mina."
"Lalu? Kenapa ia ada di tempatmu saat aku datang ke apartementmu?"
"Dia—dia hanya mampir sebentar karena menunggu Hasung. Kau ingat dia, kan? Dia lelaki yang pernah aku kenalkan padamu saat di Korea."
"Benarkah? Kau tidak berbohong?"
"Tentu saja, aku hanya milikmu, Mina."
BRAK!
Dalam satu kali sentakan, aku membuka pintu itu. Jimin terlihat terkejut, tangannya yang semula memegang tangan Mina langsung dilepaskan. Dari Sudut mataku, aku dapat melihat Mina yang terlihat kebingungan dengan kedatanganku.
"Da-Dahyun?"
"Oh, maaf mengganggu. Aku hanya ingin mengantar ini." Aku meletakan ponsel Jimin di atas meja tak memedulikan reaksi Jimin yang seperti ingin menjelaskan sesuatu.
Aku berbalik, hendak langsung meninggalkan tempat Jimin tapi ia malah memegang tanganku. "Ayo kita keluar, aku akan menjelaskan semuanya."
Aku menatap pergelangan tanganku yang digenggamnya, lalu melepaskannya. Kupaksakan senyum tipis saat memandangnya.
"Menjelaskan apa lagi? Aku bukan siapa-siapamu, kan?"
Wajah Jimin menegang. "Dahyun-ah, itu tidak—"
"Sudahlah, aku hanya datang untuk mengantarkan itu saja. Lagipula PACARKU HASUNG sudah menungguku di luar sejak tadi." Itu yang dikatakannya, kan, tadi? Walaupun aku tidak mendengar siapa yang sedang mereka bicarakan tadi, tapi aku sadar betul kalau orang yang mereka bicarakan itu adalah aku.
Susah payah aku mengatakan hal itu sambil menatap wajahnya. Aku tidak boleh terlihat lemah.
Aku melirik pada gadis yang sejak tadi ada di belakang JimIn. Entah kenapa, wajahnya terlihat sangat pucat hari ini, tapi masa bodoh—itu bukan urusanku.
"Kalian lanjutkan saja, maaf telah mengganggu waktu pacaran kalian." Setelah mengatakan itu, aku berbalik dan benar-benar pergi dari tempat itu.
"Dahyun-ah!"
Aku tak memedulikan panggilannya. Satu-satunya hal yang ingin aku lakukan sekarang adalah pergi dari tempat ini secepatnya. Aku sudah tidak tahan lagi.
Aku merutuki diriku yang tidak bisa marah pada Jimin. Entahlah, aku merasa kalau akan ada sesuatu yang buruk jika aku marah dan mengungkap kebenaran yang sebenarnya pada gadis itu tadi.
Andai aku tahu akan jadi seperti ini. Lebih baik aku tidak datang saja.
Karena bukannya merasa lega, hatiku malah semakin tercabik. Perih.
#
Huaa, ini ngetiknya ngebut lagi :" maaf kalo banyak typo ya
And—what do you think about Jimin? Ada yg mau nebak, kenapa Jimin bisa kek gt?
Terus, aku waktu itu pernah bilang kan kalo visual Hasung itu Taehyung alias V? Tapi kalo udh keburu ngebayanginnya pake orang lain, its oke
Btw, aku gk ngatur jadwal up sih. Biasanya kalo aku ada waktu luang, nulis terus langsung di up :" tapi kalo seandainya nulis aku lancar, kalian pengennya aku up hari apa? (jangan minta tiap hari plis, soalnya takut gk konsisten)
See you💕
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top