#37. Tears
•|1308 Words|°
Dahyun langsung saja pergi dari café itu, rasanya sudah cukup. Ia tak sangup melihat adegan yang seakan terus menikam hatinya semakin dalam. Sepertinya benar kata orang, kalau menjadi ibu di usia muda bisa saja beresiko. Karena selain bawaan sang calon anak yang membuatnya sensitive, ia juga masih labil—masih tidak bisa menanggapi suatu masalah dengan dewasa.
Selama perjalanan pulang bersama Hasung, Dahyun terus saja menatap keluar jendela. Dirinya berpikir, sebenarnya, alasan apa dulu yang membuatnya dapat menerima lamaran Jimin begitu saja?
Apa benar karena cinta? Atau karena perasaan takut kehilangan seseorang lagi?
Dahyun menghela napas. Bodoh, seharusnya pernikahan ini tidak pernah terjadi.
Dahyun terus saja larut dalam pikirannya sendiri. Ia bahkan mengabaikan lampu lalu lintas yang berubah menjadi merah dan Hasung yang terus menatapnya sejak tadi. Entah itu tatapan khawatir atau justru prihatin. Raut wajahnya tidak bisa dibaca.
"Kau serius akan pulang apartemen? Jimin bisa saja tidak pulang malam ini." Ucapan Hasung malah semakin membuat Dahyun kesal.
"Kau menyetir saja! Jangan semakin membuatku menyesal karena memilih pergi denganmu bukan dengan Hyera!"
Bukannya tersinggung, Hasung terkekeh. Ia kembali melihat raut kesal ibu muda itu, hingga sebuah ide gila terlintas dibenaknya. "Aku juga punya apartemen di sekitar sini. Mau ke sana? Sepertinya itu lebih baik daripada kau berada di apartemen sendirian."
Dahyun menarik dan menghembuskan napasnya lelah untuk yang kesekian kali. "Terserah kau sajalah, aku sudah lelah dengan semuanya."
#
"Hyera? Apa Dahyun ada bersamamu?"
"Tidak, Pak. Setahuku, ia pergi bersama Tuan Hasung tadi."
Tut!
Jimin menghela napas kasar lalu berusaha memanggil Hasung karena sejak tadi ponsel Dahyun sangat sulit ia hubungi. Akan tetapi, malah suara operator yang menyahut membuat lelaki itu langsung melemparkan ponselnya kesal.
Kemana mereka? Ini sudah hampir tengah malam dan seharusnya, Dahyun sudah pulang mengingat kondisinya yang cepat lelah. Jimin tidak bisa untuk tidak mencemaskan kondisi Dahyun saat ini. Ia sangat mengkhawatirkannya.
Jimin menjatuhkan dirinya pada sofa. Maniknya melirik bunga yang dibawanya dan hiasan lilin aroma terapi yang sudah memenuhi beberapa sudut di rumah ini—terutama di kamar, Jimin sudah menyiapkan semua ini untuk kejutan tapi sang istri malah pergi bersama lelaki lain.
Bagus.
Jimin memilih untuk memejamkan matanya. Ia tidak bodoh untuk tidak menyadari kalau Dahyun juga pasti merasa kesal padanya yang memilih keluar bersama Mina, tapi melihat dirinya yang juga pergi bersama Hasung, sepertinya mereka impas.
Suara pintu yang terbuka dan langkah kaki yang perlahan menuju tempatnya membuat Jimin segera menegakkan tubuhnya.
"Kenapa kau baru pulang? Mana Hasung? Kau kesini bersama dia, kan?”"Jimin langsung membombardir Dahyun dengan pertanyaan.
Sementara Dahyun hanya melirik Jimin dengan dingin. Sungguh, ia sangat tidak ingin melihat wajah Jimin untuk saat ini. Langkahnya sempat terhenti saat melihat sebuket bunga di atas meja dan lilin yang dihias cantik di beberapa sudut.
Mungkin saja, jika keadaannya normal, Dahyun akan merasa sangat senang tapi kali ini, rasanya sangat berbeda. Antara kecewa dan marah, Dahyun masih sangat kecewa dengan kejadian yang ia lihat di café.
"Ya, kau mengabaikanku? Kemana saja kau bersama Hasung hingga baru pulang tengah malam seperti ini?"
Dahyun tak menjawab. Masa bodoh. Seharusnya ia yang marah karena lelaki itu sudah mencium gadis lain di belakangnya.
"Kau tidak mendengarku?"
Dahyun tak peduli.
"Yak! Park Dahyun!"
Pada akhirnya, Dahyun melirik Jimin dengan datar. "Apa?"
"Kau tidak mendengarkanku? Sejak tadi aku bertanya padamu!"
Dahyun mengambil gelas, membuka kulkas lalu menuangkan air dingin pada gelasnya dengan santai. "Aku sedang malas bicara denganmu."
"Mwo?"
Dahyun menghabiskan air dingin itu dalam satu kali teguk. Ia meletakan gelas itu pada meja dengan penuh tekanan. "Aku sedang malas bicara denganmu, apalagi melihat wajahmu." Dahyun mengatakannya sembari memalingkan wajahnya.
Jimin semakin tidak mengerti dengan sikap Dahyun. Dia tidak pernah bersikap seperti itu, kalaupun marah, biasanya Dahyun tidak seperti ini. Alih-alih diam, wanita itu biasanya langsung bicara secara blak-blakan.
Jimin menahan tangan Dahyun saat wanita itu akan pergi ke kamar. "Ada apa? Kau marah padaku karena pergi bersama perempuan tadi?"
Dahyun menghela napas, melepaskan tangan Jimin sembari mengalihkan padangan. "Aku sangat lelah, ingin tidur."
Jimin menghembuskan napasnya, bukan ini yang ia mau. Daripada diam seperti ini, ia lebih baik diteriaki atau dimarahi saja jika memang Dahyun kesal padanya. Tapi, melihat raut wajah wanitanya yang kusut dan terlihat lemas juga membuat Jimin merasa tidak tega.
"Baiklah, kau istirahat saja. Tapi, kalau kau memang marah padaku, lebih baik kau melampiaskan semuanya saja padaku, jangan diam seperti ini. aku sangat khawatir."
Jimin mengelus rambut Dahyun dengan sayang.
Dahyun terdiam. Wanita itu sama sekali tidak merespon, ia langsung masuk ke kamar dan memutuskan untuk tidur. Benar-benar mengabaikan Jimin yang sampai saat ini masih tidak tahu kesalahannya.
Biarlah, setidaknya, Dahyun ingin istirahat dulu untuk malam ini.
#
Sepertinya, semesta benar-benar tidak membiarkannya untuk dapat tidur dengan mudah. Bukan hanya keadaan diluar sana yang hujan sehingga membuat Dahyun semakin gelisah, tapi juga karena keinginan sang calon bayi yang membuatnya tidak bisa tidur nyenyak sampai sekarang.
Sungguh, ia saat ini sangat menginginkan pelukan Jimin.
Dahyun memejamkan matanya semakin erat. Astaga, tangannya sangat gatal sekali ingin menjambak rambut Jimin yang mengenai belakang lehernya.
Jimin sudah tertidur pulas, padahal Dahyun duluan yang memutuskan untuk tidur, tapi malah lelaki itu yang lebih dulu menyapa alam mimpi.
Sebenarnya, Dahyun tidak ingin Jimin tidur bersamanya. Tapi, karena ia tidak ingin mengungkit masalah ciuman itu dulu, ia mengalah.
Ya, setidaknya permasalahan itu harus diselesaikan dengan kepala dingin. Karena ia tidak ingin jika Jimin kembali ‘kumat’ seperti saat mereka baru menikah dulu. Dahyun sangat tidak ingin semua itu terjadi lagi.
Dahyun memutuskan untuk kembali memejamkan matanya. Namun tangan Jimin tiba-tiba merengkuh pinggangnya, membuatnya otomatis melepaskan diri dengan menendang kaki Jimin ke belakang hingga lelaki itu tersungkur, jatuh ke bawah ranjang.
"Akhh—sshh—kenapa kau menendangku?" Suara Jimin masih terdengar serak, sepertinya lelaki itu belum sepenuhnya bangun.
"Kau jangan menyentuhku! Aku tidak ingin tidur bersamamu!"
"Kenapa?" Jimin mengucek mata sipitnya. Masih setengah sadar, lelaki itu malah kembali naik ke atas ranjang.
"Ya! Kau tak mendengarku?! Aku ingin tidur sendiri!"
"Tapi aku tidak mau. Dingin. Aku ingin tidur sambil memelukmu."
"Shiro! Kau tidur saja dengan gadis itu!" Pada akhirnya, perkataan itu muncul juga.
"Siapa?"
"Siapa lagi kalau bukan gadis yang kau temui sore tadi? Siapa namanya? Mina?"
"Mwo? Chankam—" Jimin mengusap wajahnya, ia terlihat sedang mengumpulkan nyawanya sembari berpikir. "Darimana kau tahu?"
"Kau sepertinya tidak suka ya, kalau aku mengetahuinya. Memangnya kenapa? aku tidak boleh mengetahui identitas gadis itu supaya kau bisa leluasa bermain di belakangku, begitu?"
"Apa? Tunggu! Apa maksudmu? Aku tidak pernah memiliki niatan seperti itu!"
Dahyun tiba-tiba terkekeh. "Sungguh? Lalu dia siapa? Kenapa kau sampai harus mengajaknya bicara di luar dan meninggalkanku? Apa dia orang spesial?"
"Kami hanya berteman, sungguh. Kau kenapa jadi seperti ini, Sayang."
Lagi, Dahyun menggeleng tak habis pikir. Bagaimana bisa lelaki itu tidak menyadari kesalahannya sama sekali?
"Kalian benar hanya berteman?"
"Tentu saja! Aku hanya sudah lama saja tidak bertemu dengannya."
"Teman, ya? Teman tapi berciuman, begitu?"
Wajah Jimin langsung terlihat tegang. Dan itu malah semakin membuat Dahyun kecewa, karena rautnya itu seolah menjawab kalau apa yang barusan dikatakannya adalah kebenaran.
"Kau—melihatnya?"
Dahyun berusaha menahan dirinya untuk tidak menangis, ia menatap Jimin dengan tegar. "Jadi apa yang kulihat itu benar? Kau menciumnya?"
"Sa-Sayang, aku bisa menjelaskan—"
"Tidak perlu! Kita bicarakan ini besok saja. Aku sudah lelah." Dahyun beringsut, menarik selimut lalu membalikan posisi tidurnya jadi membelakangi Jimin.
Ia benar-benar kecewa. Ia pikir, ia masih bisa menahan semuanya untuk besok. Tapi raut Jimin sudah menjelaskan dengan jelas kalau lelaki itu mengakuinya. Lelakinya itu memang sudah mencium gadis lain.
Dan rasanya benar-benar sakit.
"Sayang, dengarkan aku dulu. Kau salah paham!"
"Sudah jangan membahasnya lagi! Aku sangat lelah, jebal." Dahyun berusaha menahan isak tangisnya.
"Aku ingin sendiri," lirihnya tercekat.
Dahyun mengulum bibirnya saat tidak mendengar pengelakan lagi dari Jimin. Lengannya menggenggam selimut dengan erat saat merasakan lelaki itu yang beringsut turun dari ranjang.
"Baik, kalau itu maumu. Aku akan tidur di kamar sebelah."
Dan saat lelaki itu keluar dan menutup pintu kamar, liquid bening itu sudah tidak dapat ditahan lagi. Berbarengan dengan air hujan yang semakin deras di luar sana, Dahyun menangis hebat.
Ia menyadari kalau hidup di dalam suatu ikatan pernikahan itu memang lah banyak rintangannya. Akan tetapi, ia tidak tahu kalau rasanya akan sakit seperti ini.
Apalagi mentalnya masih labil dan dengan kondisi yg sedang hamil seperti ini, tentu saja perasaan Dahyun sangat sensitif. Ia kini menyadari, kalau ucapan ibunya tentang pernikahan dini itu ada benarnya.
Ia masih belum sanggup untuk menahan segala rintangan ini dengan tenang. Ia masih belum dewasa.
#
Jujur, kalian ada yg ngerasa aneh gk sama gaya ceritaku yg sekarang? (soalnya aku pribadi merasa agk kurang gimana gitu)
Tadinha ini mau di up nanti, tapi aku ngerasa bersalah karena udh ngebuat kalian nunggu :(
So, semoga ini bisa jadi pengobat rindu buat kalian yg kangen sama mereka.
Dan buat yg lupa sama ceritanya, coba baca lagi part" sebelumnya, siapa tau langsung inget :"
Udh segitu aja. Aku gk bakal janji bisa up cepet tapi aku akan usahain bisa up lancar lagi.
See you💕
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top