#35. What the ... ?

warn 17+ (again:)

•|1295 words

Aku tidak tahu lagi harus bereaksi seperti apa saat Jimin mengatakan kalau ia telah normal. Maksudnya, kondisi mental Jimin telah stabil dan—Jim sudah pergi.

Satu hal yang baru kusadari saat ini adalah ternyata, mimpiku tempo lalu saat bertemu Jim itu benar—ia telah benar-benar meninggalkanku, pergi dan tak akan kembali selamanya. Ya, meskipun Jim itu adalah salah satu dari kepribadian Jimin, tapi aku merasa ia benar-benar nyata. Dan aku tidak akan sampai pada tahap ini bersama Jimin jika bukan karena Jim. Keberadaannya sungguh sangat berarti.

Jimin menempatkan kepalanya di ceruk leherku, membisikkan kata maaf berkali-kali hingga napasnya terasa menyapu leherku. Entah ia mengucapkannya untuk apa, sepertinya Jimin juga mengerti walau sifatnya Jim seperti benalu di tubuhnya, tapi perannya sungguh sangat penting di kehidupan kami.

"Sejak kapan? Maksudku—sejak kapan Jim pergi?" Aku menatap hamparan laut luas di sana dengan pandangan kosong saat merasakan pergerakan Jimin di belakang tubuhku.

Jimin masih mendekapku erat di belakang—dengan posisiku dipangkuannya—benar-benar menahanku untuk terus ada di sisinya, dengan kata lain Jimin tidak bisa melepaskanku.

"Sejak dua bulan lalu," Ada jeda selama beberapa detik, saat Jimin menarik napasnya berat. "Tepat saat aku meninggalkanmu sendiri di hotel."

Tanpa sadar aku berdecak tak percaya, bagaimana bisa Jimin menyembunyikan hal ini dariku? Woah, sepertinya aku harus benar-benar mengucap terimakasih pada Hasung karena jika bukan dirinya yang memberitahu, bisa dipastikan kalau Jimin tidak akan membicarakan hal ini kepadaku.

Aku menggigit bibir bawahku, mencoba menahan diri untuk tidak meneriaki Jimin saking kesalnya. "Apa yang kau lakukan pada Jim? Apa yang membuatnya tidak bisa kembali ke tubuhmu?"

Oke, sebut saja aku bodoh karena melontarkan pertanyaan yang sangat konyol kepada lelaki yang kelak akan menjadi ayah dari janin yang sedang ku kandung.

Dapat kurasakan rahang Jimin mengeras, ia meremat kedua tangannya yang melingkar di perutku yang sudah agak membuncit itu hingga sedikit menekannya. "Aku berhasil melenyapkannya. Aku—berhasil membunuh wanita itu."

Mendadak, kepalaku terasa sangat pening. Suara melengking terasa memekakan di kedua telingaku membuatku meringis. Ini gila, rasanya seperti ada seseorang yang baru saja masuk ke dalam tubuhku, tapi aku masih bisa menahan diri.

"—sepertinya Jimin akan menyesalinya. Karena kau tahu, wanita itu adalah ibu ... "

"Ya! Dahyun-ah gwenchana?!!"

"Wanita itu adalah ibu—"

"Ya! PARK DAHYUN! SADARLAH!!!"

Mataku terbuka lebar dengan napas yang memburu. Hal yang pertama kali kulihat adalah wajah panik Jimin yang diiringi helaan napas lega setelah melihatku telah sadar sepenuhnya.

Apa itu tadi?

Kenapa aku merasa telah kehilangan sesuatu yang sangat penting untuk ku ketahui?

*

Seharian ini, Jimin sama sekali tidak membiarkanku untuk keluar dari apartemennya. Padahal aku masih ingin berjalan-jalan di negeri sakura ini—tentu saja, dihari pertamaku disini, aku langsung tidur saking kelelahannya karena telah menempuh perjalanan yang cukup panjang di pesawat—jadi, seharusnya dihari kedua ini aku bisa mendapatkan kebebasanku.

Tapi karena insiden yang terjadi padaku beberapa saat yang lalu, Jimin langsung kembali membawaku ke apartemen pribadinya dengan dalih tak ingin terjadi hal buruk padaku.

Jimin menepati janjinya untuk membawaku ke Jepang selagi ia melakukan pekerjaan bisnisnya. Alhasil, disinilah aku berada sekarang, di sebuah apartemen mewah yang tidak kalah besar dengan rumah kami. Sampai sekarang, aku tidak tahu seberapa banyak kekayaan Jimin—terlalu banyak, dan aku terlalu malas untuk menanyakannya.

"Oppa-ya aku mau jalan-jalan," rengekku dengan tiba-tiba. Lenganku telah melingkar di lehernya, menatapnya dengan polos sambil berkedip-kedip. Aku bahkan mengerucutkan bibirku dan mencuri kecupan di pipinya.

Jimin menatapku dengan mata membulat—lebih tepatnya tidak percaya dengan apa yang baru saja aku lakukan. Masa bodoh, melihat pipi Jimin yang terlihat bersemu, aku sudah tidak dapat menahannya lagi. Aku benar-benar ingin pergi keluar, dan kuharap Jimin akan cepat luluh karena godaanku.

"Gapchagi wae? Ke-kenapa kau seperti ini? bukannya kau sedang marah padaku, ya?" Jimin masih menatapku dengan mata bulatnya. Raut wajahnya terlihat bingung, tapi sama sekali tidak menolak sentuhanku.

"Marah karena apa? Karena Jim sudah tidak ada?" Aku menjawabnya sembari memberi kecupan-kecupan kecil di rahangnya. Bahkan aku semakin mendekatkan tubuhku, naik ke atas pangkuannya dengan tangan yang masih bergelayut di lehernya.

Jimin mendongakkan kepalanya, memberiku ruang untuk terus menyesap lehernya. "I-iya ... enghh ... sejak kapan kau jadi—uuhh—liar seperti ini?"

Aku tersenyum mendengarnya. Erangannya semakin membuatku menggila, hingga menghasilkan beberapa tanda yang memerah dilehernya. Aku baru tahu, kalau rasanya segila ini jika memimpin permainan. "Sejak kau selalu mengungkung tubuhku dibawahmu. Aku juga ingin mencobanya—Sayang."

Dapat kurasakan Jimin menegang di bawah sana. Lengannya yang memeluk pinggangku semakin merematnya kuat, membuatku semakin mendekatkan tubuh kami dengan bagian bawah yang saling mengesek dengan pakaian yang masih utuh.

"Anggghhh ... kau menggoda—kuh, sayang. Dia—kau membuat-nyaah bangun enghh."

Aku menyeringai senang. Memperhatikan wajah Jimin yang memerah dengan bibir tebalnya yang terbuka membuat gairahku semakin tinggi. Sungguh, aku hanya berniat untuk mengodanya supaya ia mengizinkanku untuk pergi keluar, tapi kini aku malah tidak ingin berhenti. Aku ingin lebih, aku menginginkan Jimin memasukiku.

Bodoh memang, disini aku yang memulai tapi aku sendiri yang berkeringat. Jimin mungkin sudah beberapa kali mendesah keenakan, tapi aku disini bersusah payah sendiri sambil menahan hasrat untuk tidak melakukannya dengan cepat supaya tidak menyakiti bayi kami.

Hingga didetik dimana kami sama-sama mencari gelombang puncak, suara bel apartemen terdengar menggema, membuat kami seketika menghentikan aktifitas panas kami yang masih belum menemukan titik akhir.

"Siapa—ituuh ... Jimhh." Aku baru saja mengeluarkan pelepasanku. Sedangkan Jimin, lelaki itu kalang kabut mengeluarkannya lalu berlari ke kamar mandi karena ia sama sekali belum melakukan pelepasan.

"Kau saja yang membuka pintunya, Sayang. Aku harus menuntaskan ini dulu!" Jimin berteriak dari arah kamar mandi.

Aku mendengus geli, saat mendengar umpatan tertahan Jimin yang masih terdengar dari sini. Ia pasti sangat kesal—dengan siapapun yang membunyikan bel dan mungkin sedang menunggu diluar saat ini—karena menganggu pelepasannya.

Sedikit meringis, aku turun dari ranjang. Mengenakan pakaianku kembali lalu berjalan keluar kamar untuk membukakan pintu.

"Uhm—ada perlu apa anda kemari?" tanyaku bingung saat mendapati seorang perempuan cantik—yang sepertinya seumuran denganku? Atau lebih tua—saat aku membukakan pintu.

"Kau siapa? Kenapa kau ada di apartemen Jimin?" Aku semakin menatapnya bingung karena alih-alih menjawab, gadis itu malah melontarkan pertanyaan dengan bahasa Jepang yang tidak begitu aku mengerti. Aku hanya mendengar kata 'Jimin' disela ucapannya tanpa mengerti perkataan yang lainnya.

"Oh! Mina-san, lama tidak bertemu!"

Dan kebingunganku semakin menjadi saat Jimin tiba-tiba telah ada di sampingku, lalu ia mengucapkan bahasa Jepang kepada gadis itu bahkan ia memeluknya. Ya, kau benar. Lelaki yang berstatus sebagai suamiku itu memeluk wanita lain di depanku! Di depan mataku!

Membuat kedua tanganku tanpa sadar mengepal. Menatap lelaki itu dengan tatapan tajam. Yang jika saja tatapan bisa setajam sinar laser, lelaki itu pasti telah terkapar tak berdaya.

Namun, alih-alih merasa bersalah atau mencoba menjelaskan apa yang sedang terjadi padaku. Jimin malah menatap gadis itu sambil tersenyum, terlalu bahagia hingga tanpa rasa bersalah ia menoleh ke arahku dan mengatakan; "Aku akan pergi keluar sebentar. Kalau kau ingin jalan-jalan, kau bisa menelpon Hyera untuk menemanimu."

Lalu setelahnya, lelaki itu pergi keluar. Bersama gadis itu tanpa mendengar jawabanku dulu.

Apa-apaan ini?

Kenapajadinya malah seperti ini?

°🍒°

hai hai hai!!!

ada yang rindu? wkwk

maaf ya kalo chapter ini (sama chapter sebelumnya) kalo kurang nge-feel :( aku masih belajar buat yg kek gitu soalnya *ehe

menurut kalian, penggunaan bahasanya terasa terlalu vulgar gak? (atau kurang? 😂)

maaf juga kalo ada banyak kesalahan ngetik (soalnya ini baru pertama kali nyoba uploadnya lewat laptop:)

oh, ya sepertinya mulai dari sini akan masuk ke konflik baru :v dimana Mina juga akan bergabung di dalamnya wkwk (apa sih). Sengaja sih aku tambahin Mina disini supaya ceritanya semakin panjang :")

oke, segitu dulu dari ku.
Jangan lupa voment sama share cerita ini ke temen kalian yang bangtwice shippers (especially Dahmin) biar aku semakin semangat kalo banyak yang baca+komen hehe

see you 💕

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top