#33. Afraid

•|1145 Words|°

Hembusan angin di musim dingin membawa serta udara dingin yang menusuk-nusuk kulit.  Mataku perlahan terbuka dengan susah payah begitu merasakan pergerakan tangan seseorang yang mengelus rambutku. Hal yang pertama kali aku lihat dengan jelas adalah wajah Jimin.

Ia menatapku lembut, tersenyum begitu manis hingga matanya yang sipit ikut melengkung seperti bulan sabit. Senyumku terukir, menyentuh tangannya yang ada dipipiku sambil mengucapkan selamat pagi.

Jimin tidak menjawab, ia masih memainkan rambutku sambil menatapku lekat. Terus seperti itu hingga membuatku merasa kikuk sendiri.

Pasalnya, Jimin tidak pernah menatapku seperti itu. Alih-alih saling berpandangan di pagi hari seperti ini, Jimin lebih suka memeluk tubuhku hingga kami kembali tertidur atau melakukan ‘hubungan’ yang membuatku sulit berjalan.

"Maaf," lirih Jimin pelan.

Aku menatapnya bingung. "Kenapa minta maaf?"

Jimin merengkuh tubuhku, membuatku tenggelam di dada bidangnya. Ia menelusupkan kepalanya di ceruk leherku, menghirup aroma tubuhku bak sebuah parfum terwangi hingga membuat tubuhku meremang.

"Aku minta maaf karena tidak bisa menemanimu sampai anak kita lahir," lanjutnya.

"Hah? Apa?"

"Aku harus pergi."

Aku mendongak, menatapnya bingung. "Kemana? Kenapa kau baru memberitahuku? Apa aku tidak bisa ikut?"

Jimin tersenyum tipis lalu menggeleng. "Aku tidak bisa menjelaskannya, intinya aku akan pergi ke tempat yang jauh dan kau tidak bisa dan tidak boleh ikut."

"Wae?! Apa kau tega meninggalkan istri dan anakmu seorang diri di rumah?” emosiku sedikit tersulut. Tentu saja, memangnya siapa yang senang jika ditinggalkan oleh orang yang sangat dicintai?

"Kau tidak akan sendiri. Jimin pasti akan menemanimu."

Tunggu. Apa?

"Ja-jadi kau—Jim?!" aku memekik, lebih kepada tidak percaya dengan apa yang baru saja ia ucapkan. Jimin yang rupanya Jim itu mengangguk, ia mengerucutkan bibirnya kesal. "Kau sepertinya telah melupakan keberadaanku hingga tidak bisa membedakan kami."

Aku menatapnya dengan tatapan bersalah. "Mian. Sepertinya aku kehilangan fokus karena kelelahan dan—" aku terdiam sesaat. Rasanya aku mengingat sesuatu dan rasanya ada yang aneh mengingat orang yang ada di hadapanku saat ini adalah Jim.

Aku mengedarkan pandangan. Udara yang dingin yang menerpa kulit juga pepohonan berwarna putih yang tertimbun salju menyadarkanku bahwa kini aku tidak sedang berada di rumah. Melainkan di sebuah tempat terbuka yang sepertinya tidak berpenghuni mengingat kami sekarang sedang berbaring di atas ranjang.

"Jim—ini dimana?"

Jim menatapku. Anehnya, ia juga menatapku dengan tatapan seolah dirinya juga tidak tahu.

"Entahlah, aku juga tidak tahu. Aku hanya memikirkanmu, dan berharap supaya bisa bertemu denganmu untuk terakhir kali sebagai ucapan perpisahan lalu saat aku bangun, kau sudah ada di hadapanku," Jim menjelaskan.

"Memangnya kau akan pergi kemana, sih? Apa kontrakmu untuk berada di dalam tubuh Jimin sudah habis?" candaku bermaksud meledeknya. Tapi Jim malah menatapku dengan serius seolah apa yang baru saja aku katakan adalah kebenaran.

"Ya—bisa dibilang seperti itu. Aku sudah tidak memiliki alasan lagi untuk tetep berada di dalam tubuhnya." Jim kembali berbaring, menatap langit dengan tatapan menerawang.

"Aku berada di dalam tubuhya hanya untuk satu alasan, yaitu melindunginya," lanjutnya.

Ia menoleh kearahku. "Tapi sekarang ia sudah memilikimu. Sebenarnya, sejak awal aku sudah harus pergi namun aku masih bisa bersembunyi. Tapi sekarang, kepergianku sudah tidak bisa ditunda lagi karena seseorang yang menumbuhkanku di tubuh Jiminpun sudah mati."

"Apa maksudmu? Apa yang sedang kau bicarakan?"

Jim menatapku lurus, tangannya bergerak untuk menyelipkan helaian rambutku ke belakang telinga.

"Wanita itu, wanita yang menculik Jimin telah mati. Jimin membunuhnya dengan kedua tangannya sendiri."

"Apa?!"

Jim mengangguk. "Itu faktanya, aku sendiri yang menunjukan dimana wanita itu berada selama ini tapi—sepertinya Jimin akan menyesalinya. Karena kau tahu, wanita itu adalah ibu kandungnya Jimin."


*

Aku terbangun dengan napas memburu. Suasana ruangan dengan pencahayaan yang minim menyambutku. Tidak, itu hanya mimpi, tapi kenapa rasanya sangat nyata sekali?

Apa maksud perkataan Jim tadi?
Wanita yang menculik Jimin adalah ibu kandungnya? Omong kosong macam apa itu!

Aku memalingkan tubuhku saat merasakan pergerakan seseorang yang menggenggam kuat tanganku. Disamping kiriku, Jimin tertidur dengan dahi mengernyit, sesekali akan terdengar suara rintihan tertahan ataupun sebuah isakan.

Aku tidak tahu apa yang sedang ia lihat di alam bawah sadarnya tapi tanganku tergerak untuk mengelus rambutnya. Apapun yang sedang ia lihat saat ini, pasti sangat menyakitkan.

Tanganku bergerak menyusuri wajahnya, dari mulai keningnya, kelopak matanya yang tertutup, hidungnya dan berakhir di bibir tebalnya. Jimin itu selalu saja terlihat menawan bahkan saat tidur sekalipun, membuatku tidak pernah bosan untuk terus menatapnya seperti ini.

Tubuhku terlonjak saat dengan tiba-tiba Jimin menarik tanganku hingga tubuhku merapat padanya. Ia menempatkan kepalanya di ceruk leherku, mengendus bau tubuhku dengan kuat hingga membuat tubuhku menggelinjang.

"Ji-Jimin? Kau sudah sadar?" tanyaku dengan suara tertahan. Pasalnya, Jimin memeluk tubuhku sangat erat hingga aku agak kesulitan bernapas.

Tubuhku meremang seiring dengan hembusan napasnya di leherku. Sial, saat sakit beginipun, Jimin selalu bisa menggodaku. "Sudah, tapi biarkan seperti ini dulu. Aku merindukanmu," lirihnya dengan suara serak khas orang baru bangun tidur.

Aku tersenyum, membiarkan dirinya memiliki tubuhku sesaat karena bukan Jimin saja yang merasakan itu, aku juga merindukannya. Sangat.

Pemandangan Jimin yang menenggelamkan dirinya di dalam bathub dengan air berwarna merah kembali berkelebat di benakku hingga tanpa sadar, aku menjerit. Tubuhku bergetar takut, keringat dingin mengucur deras dan aku tidak bisa mengendalikan tubuhku sendiri.

Jimin menatapku panik, ia menggenggam kedua tanganku yang terus memberontak dengan tangannya yang masih terpasang selang infus. Ia menarik tubuhku yang masih bergetar ke dalam pelukannya.

Jimin menggumamkan kata ‘gwenchana, na yeope isseo*’ berkali-kali ke telingaku, membuatku perlahan dapat mengambil alih kontrol diri dan tenang.

*Tidak apa-apa, ada aku disini.

Aku takut, pemandangan itu seolah membuka luka lama dan trauma yang selalu menghantuiku saat kecil. Aku benci semua ini, aku membenci diriku yang lemah tapi disisi lain, trauma itu masih tertanam kuat hingga aku tidak bisa melakukan apapun selain menjerit dan menangis.

Aku mencengkram kemejanya dengan kuat, air mataku meluruh. Usapannya di punggungku masih terus berlanjut namun itu malah semakin membuatku sakit, mengingat Jimin pun masih belum pulih sempurna tapi ia malah menenangkanku.

"Ji-jimin," lirihku tertahan. Aku tidak yakin apakah Jimin dapat mendengarkanku atau tidak tapi aku melanjutkan. "Jebal, jangan pernah melakukan sesuatu yang membahayakan dirimu lagi. Aku takut—hiks—aku takut kehilanganmu."

Usapan Jimin dipunggungku memelan. Ia terdiam, tidak ada satu patah katapun yang keluar dari bibirnya. Bahkan ketika akhirnya aku tertidur di pelukannya akibat kehabisan tenaga, Jimin masih terdiam.

Aku hanya berharap semoga saat aku terbangun nanti, Jimin masih ada disisiku, seperti sekarang.


×🍒×

Aduh—udah berapa lama nih gk up cerita ini :( mian kalo kelamaan.

Reallife nya bener-bener nyita waktu, jadi gk ada waktu buat nulis (dan sempet lupa alur juga sih/plak😂)

Ceritanya makin ngaco dan aneh ya :( but—i hope you guys tetep enjoy sama ceritanya ya.

Kemarin" sempet kepikiran buat nerbitin cerita ini tapi—emg kalo 'seandainya' cerita ini bener" naik cetak, emg ada yg mau beli(?) :v

So, sepertinya segitu dulu dari aku, rasanya agak aneh juga karena berasa udh lama banget gk nyapa :/

See you💜
[Don't forget to give
a vote and comment, ya! Biar aku semangat up nya, hehe :D]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top