#32. Is He Ok(?)


|1017 Words|°

Semalaman ini, aku tidak bisa tidur. Rasa cemas, khawatir juga perasaan ingin tahu, seolah terus menggerogotiku hingga aku sudah tidak tahan lagi jika hanya duduk diam menunggu kepulangan Jimin.

Langkah kakiku terus mengalun, seiring dengan panggilanku yang tak kunjung diangkat oleh Jimin.

Bagaimana ini? apa Jimin baik-baik saja? Kenapa ia tidak memberi kabar sama sekali?

Ini sudah pukul dua dini hari dan itu artinya sudah lima jam Jimin pergi. Dan seharusnya, aku juga sudah tidur namun, sejak kepergian Jimin hingga saat ini, rasa kantukku seolah sirna, digantikan dengan rasa gelisah yang membuatku ingin terus menelponnya.

Di panggilan yang sudah ke sekian kalinya, sebuah panggilan masuk dari nomor yang tidak dikenal. Tanpa berpikir, aku menerima panggilan itu cepat.

"Yeobsseo? "

"Dahyun-ah, ini aku, Hasung."

"Oh, Hasung? a-ada apa?"

"Aku akan beritahu satu hal, tapi kau harus janji, jangan cemas atau mengkhawatirkan apapun. Kau sedang hamil, kan? jangan buat dirimu stress."

Bodoh, justru aku malah semakin merasa khawatir. "Baiklah, ada apa?"

Terjadi jeda untuk beberapa saat.

"Jimin saat ini tidak sadarkan diri, dokter sudah menanganinya lima belas menit yang lalu. Dia tidak apa-apa, kau jangan khawatir."

"Bagaimana bisa aku tidak khawatir?!" Tanpa sadar, aku berteriak. Air mataku keluar tanpa dapat dicegah. "Dimana dia sekarang? aku akan kesana."

"Tunggu! tunggu dulu! aku tidak akan membiarkanmu kesini saat ini! besok pagi pukul sepuluh, akan ada supir yang menjemputmu. Kau tenangkan dirimu, Jimin baik-baik saja. Sekarang kau istirahat saja karena aku yakin, kau belum tidur, kan?"

"Tap—"

"Jangan membantah! didalam perutmu ada seorang anak yang harus kau jaga. Tolong, ini demi Jimin, kau harus menjaga kesehatanmu."

Dan panggilanpun terputus.

Tubuhku ambruk ke sisi ranjang.

Jimin, kenapa kau selalu membuatku khawatir? Sebenarnya apa yang sedang terjadi?

*

Lenganku saling bertaut gugup, sepanjang perjalanan, aku terus gelisah. Aku menggigit kuku, menoleh ke arah jendela—untuk yang ke sekian kalinya. Perjalanan satu jam ini terasa seperti seharian, padahal kecepatan mobil ini sudah mencapai maksimum.

Keningku mengerut begitu menyadari kalau mobil ini bukan bergerak menuju rumah sakit, melainkan ke rumah kami.

"Ahjussi, kenapa kau membawaku ke rumahku?"

"Tuan Jimin ada disini, nyonya."

Dan tepat lima detik kemudian, Hasung membukakan pintu mobil untukku. Raut wajahnya terlihat lebih dewasa berbeda dengan saat masih di jaman sekolah. Dan oh! jangan lupakan kacamata nerd-nya yang kini telah hilang entah kemana.

"Jimin mana?" tanyaku tanpa basa-basi.

"Dia ada didalam. Tapi sebelum itu, aku ingin bertanya, apa kau sudah sarapan?"

Aku mengerutkan alis. "Sudah."

"Kalau begitu, kau harus menemaniku. Aku belum sarapan." Hasung menarik lengan bajuku begitu saja. Membuatku memekik protes saat ia kembali memasukanku ke dalam mobil.

"Ya! apa-apaan ini?! aku ingin bertemu dengan Jimin!"

"Diam dan ikuti saja perintahku!" Aku menciut saat melihat tatapan tajamnya. "Percayalah, Jimin sedang dalam kondisi dimana ia tidak bisa diganggu oleh siapapun."

Dan detik berikutnya, mobil ini kembali melaju. Selama di perjalanan, aku terus bertanya kepada Hasung namun, ia selalu menjawab dengan jawaban yang sama; aku lapar, bisa bicarakan itu nanti? dan itu sungguh memuakan.

Aku sudah menunggu dari jam tujuh hingga jam sepuluh hanya untuk menunggu jemputan, lalu satu jam di perjalanan dan sekarang, aku harus menunggu Hasung selesai sarapan, baru aku bisa bertemu dengan Jimin, begitu?

Ya tuhan, kenapa sulit sekali untuk bertemu Jimin? padahal sebelumnya, Jimin adalah orang pertama yang aku lihat saat aku bangun tidur, tapi kini, rasanya seperti ada benteng yang sangat tinggi dan kokoh, yang membuatku sulit untuk menemuinya.

*

Aku baru bisa menemui Jimin saat tengah hari, begitu Hasung mengatakan kalau kondisi Jimin saat ini sudah membaik dan memastikanku tetap aman saat menemuinya.

Begitu aku mendapatinya sedang terbujur lemas diatas ranjang dengan sebuah selang ditangannya, dadaku terasa sesak. Sebenarnya, apa yang terjadi pada Jimin? kenapa ia bisa seperti ini?

Keadaan rumah sangat kacau, Hasung bilang bahwa Jimin sempat kumat saat aku sampai disini pagi tadi, itu sebabnya dia membawaku pergi dulu supaya tidak menyaksikan ataupun terluka saat aku mencoba menenangkannya.

"Jimin mengalami trauma dengan segala hal berbau rumah sakit. Itu sebabnya aku merawatnya disini alih-alih membawanya ke rumah sakit. Jimin pasti pernah melakukan hal ini juga untukmu, kan?"

Aku tidak menjawab perkataan Hasung tapi dalam hati aku mengiyakannya. Mataku terus fokus pada sosok Jimin, melihatnya terdiam kaku seperti ini sungguh pemandangan yang asing bagiku.

"Aku akan pergi untuk mengurus sesuatu, jika Jimin siuman, kau langsung hubungi aku, oke?" ucap Hasung setelah beberapa saat. Aku mengangguk.

"Oh ya, jangan biarkan siapapun masuk kesini. Terutama ibunya."

Untuk pernyataannya kali ini, alisku mengernyit. "Wae? "

"Pokoknya jangan! Jimin memiliki kenangan buruk dengan ibunya, dan kemungkinan besar kondisi Jimin akan semakin memburuk jika ia bertemu dengan ibunya saat ini. Jadi—jangan biarkan ibu tahu keadaan Jimin sekarang," jelas Hasung sebelum benar-benar pergi.

Lagi-lagi, aku hanya bisa terdiam sambil berpikir bingung. Kenyataan apa lagi ini?

*

"Bunuh."

"Hiks—aku telah membunuhnya."

Samar-samar, aku dapat mendengar suara rintihan itu. Mataku belum sepenuhnya terbuka, manikku masih menyesuaikan dengan cahaya yang masuk ke dalam retina. Oh sial, jam berapa ini? sejak kapan aku tertidur disini?

Aku merentangkan tanganku, meluruskan punggung yang terasa pegal akibat tertidur dengan posisi duduk sambil menguap hingga menyadari kalau Jimin sudah tidak ada ditempatnya.

Panik, mataku kelabakan mencari dimana keberadaan Jimin namun, tetesan darah di lantai membuatku membeku seketika. Jimin—tidak mungkin melakukan hal itu, kan?

Degup jantungku semakin cepat, sebisa mungkin aku menahan rasa ingin pingsan saat melihat darah yang cukup banyak itu. Kepalaku sudah pening, namun aku berusaha tetap fokus supaya tetap terjaga. Satu-satunya yang aku pikirkan saat ini adalah Jimin.

Tungkaiku melangkah mengikuti jejak tetesan darah itu. Suara gemericik air terdengar semakin keras seiring dengan langkahku menuju kamar mandi. Begitu tanganku terangkat untuk membuka pintu kamar mandi, saat itulah mataku membola.

Disana, Jimin tengah menenggelamkan diri di dalam bathub yang penuh dengan air berwarna merah.

×🍒×

Ini apaan sih :(makin gaje)
Maaf kalo udh nungggu lama tapi gk sesuai ekspektasi.


Oh ya, aku publish cerita baru. Bangtwice full member, judulnya Boy with Luv. Dan mungkin, disana bakal ada Dahmin(?) so, aku harap kalian juga mau baca work ku yg satu itu ya. Hehe.

See you

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top