#31. Her Dead
•|964 word|°
Seorang pria—yang tidak terlalu tinggi—terlihat memasuki sebuah gang sempit yang gelap. Langkah kakinya begitu ringan, seolah ini memang sudah sering ia lakukan atau mungkin—ketakutannya sudah hilang.
Tak peduli dengan seberapa gelap dan kotornya tempat ini, kakinya terus melangkah dengan mantap. Hingga akhirnya, kakinya berhenti di sebuah pintu besi dengan kunci yang hanya bisa terbuka oleh sidik jarinya.
Di detik ketiga, pintu itu terbuka, sayup-sayup sebuah cahaya berwarna merah mulai terlihat hingga memenuhi ruangan itu. Pria itu masuk ke dalam, tak lupa menutup pintunya kembali.
Matanya menyapu seluruh ruangan ini, mengamatinya dengan teliti hingga seekor semutpun tak luput dari penglihatannya.
Lengannya terangkat untuk membuka maskernya, menyibak rambutnya ke belakang hingga bayangan wajahnya terpantul dari cermin yang terletak di sebelah barat daya. Dia Park Jimin.
Seseorang di dalam cermin itu tiba-tiba memalingkan wajahnya, menarik sebelah sudut bibirnya dengan begitu misterius.
Omong-omong, seseorang itu adalah yang selalu Dahyun sebut dengan Jim.
Ya, selama ini dia selalu berada disini—jika ia tidak menguasai tubuh Jimin.
Sebenarnya, Jimin tidak pernah ingin menginjakkan kaki di tempat ini lagi, namun—fakta bahwa wanita itu masih hidup membuat sisi gelap Jimin kembali.
Ya, Jimin pikir, wanita yang gantung diri di gedung tua—sebelum ia berhasil keluar dari sana bersama Dahyun sepuluh tahun yang lalu—itu adalah dia. Namun faktanya, wanita itu melarikan diri bersama Juan. Hanya saja, ia tidak tahu dimana wanita itu berada sekarang karena Juan telah mati.
Sial, Jimin jadi semakin kesal pada dirinya sendiri karena tidak berhasil mengorek info lebih dalam lagi sebelum ia melenyapkan Juan dengan membelah kepalanya menggunakan gergaji.
"Akhirnya kau datang juga—Park Jimin."
Jimin memalingkan wajahnya, menatap seseorang yang tampak seperti dirinya di dalam cermin itu dengan raut datar. "Dimana dia? "
"Oh—jadi kau sudah mengingatnya?" Jim menarik sudut bibirnya semakin lebar. "Ternyata kehadiran Dahyun sangat membantu ya."
"Berhenti bicara omong kosong! beritahu aku dimana dia?!"
"Tenang dulu—kita sudah lama tidak bertemu langsung seperti ini," ujar Jim berbasa-basi, tapi memang itu kenyataannya—Jimin selalu saja mengelak saat ia ingin membicarakan suatu hal dengannya hingga kesabaran Jim sudah habis. Dan akhirnya, Jim menguasai tubuh Jimin sebagai gantinya.
Karena 'pengobatan' yang ia jalani pasca ditemukan di gedung tua itu—Jimin kehilangan semua ingatannya. Ia hanya bisa mengingat hal terburuk dan terbaik dalam hidupnya.
Dan Jim ada untuk mengingatkannya, jika Jimin sudah melewati jalur kehidupannya.
Bisa dibilang, Jim adalah sosok lain yang bisa saja menjadi sosok malaikat ataupun iblis untuk Jimin.
Jimin mendekat pada cermin itu, meletakan tangannya tepat di depan leher Jim—memperagakan seolah ia sedang mencekik Jim hingga mati. "Aku sudah mengingatnya—cepat beri tahu aku, dimana dia sekarang?"
Jim mengangkat sebelah alisnya, rautnya terlihat begitu meremehkan ucapan Jimin barusan. "Kau yakin sudah mengingatnya? apa kau tidak akan menyesalinya?"
"Apa aku perlu berpikir untuk tidak melenyapkan wanita yang telah berbuat hal yang begitu buruk padaku di masa lalu?"
Jim menyeringai. "Kau sepertinya belum mengingat semuanya. Dia tidak pernah menyakitimu, dia hanya melakukan hal yang harus ia lakukan supaya kau selamat."
"Mwo? apa mengurung seorang anak kecil di ruangan bawah tanah yang penuh dengan cermin adalah sebuah penyelamatan?!"
"Ya—anggaplah itu kesalahan terbesarnya karena membuatmu ketakutan sendiri saat itu tapi—kau harus ingat, kau tidak akan selamat jika tidak ada aku."
"Cih, berhenti membicarakan hal itu! aku sudah muak! sekarang—beritahu aku dimana dia?!"
Sebenarnya, bukan tanpa alasan Jimin menayanyakan perihal wanita itu pada Jim. Karena sudah sejak lama, Jim mencari hingga menyekap wanita itu disini dengan bantuan para anak buahnya.
Dan tentu saja, itu bisa Jim lakukan dengan memasuki tubuh Jimin namun seperti biasa, Jimin tidak akan tahu apapun setelahnya.
Namun kali ini, Jimin memiliki firasat yang kuat kalau Jimlah orang yang bisa ia percayai saat ini.
Mata Jim menajam. "Kenapa kau mencarinya? bukankah selama ini kau tidak memperdulikannya?"
"... Aku akan punya anak—dan aku tidak ingin wanita itu mengusik kehidupanku lagi."
Jim terdiam.
"Dahyun hamil?"
Jimin mengangguk patah-patah, namun bukan ekspresi bahagia yang terlihat, wajah mereka malah terlihat seperti cemas dan khawatir.
"Dia ada disana." Jim menunjuk kearah timur laut—disana ada sebuah pintu dengan bercak berwarna merah pekat. Entahlah, mungkin itu darah?
Langkah kelima Jimin terhenti begitu Jim menyela. "Begitu kau selesai, beritahu Dahyun kalau aku akan sangat merindukannya."
"Kenapa? apa kau sudah putus asa karena tidak bisa memasukiku lagi?"
"Tidak, bukan karena itu. Tapi begitu kau melenyapkan wanita itu—aku juga akan lenyap."
Jimin terdiam, ia memutar tubuhnya seratus delapan puluh derajat, menghadap Jim.
"Kau tidak usah khawatir, aku akan selalu ada bersamamu. Pastikan kau tidak akan menyesal dengan apapun yang akan kau lakukan padanya hari ini," lanjut Jim kembali mengingatkan.
Disana, Jim tersenyum tipis, tatapannya berbeda—tampak tulus dan dengan jelas menyiratkan selamat tinggal—ia mengendikkan kepalanya ke arah pintu itu lagi, menyuruh Jimin untuk segera pergi menemui wanita itu.
"Pergilah—dia sudah menunggumu sejak lama."
Dengan berat, Jimin kembali melanjutkan langkahnya. Ia meraih kenop pintu itu, membukanya perlahan hingga menimbulkan decit bunyi.
Disana, wanita itu tengah menunduk—membiarkan rambut panjangnya menutupi seluruh wajahnya.
Tanpa ragu, Jimin mendekat kearah wanita yang amat sangat dibencinya itu.
Menyadari keberadaan Jimin, perlahan—dengan terpatah-patah—wanita itu mendongak hingga wajah seseorang yang selalu menghantuinya itu terpampang jelas di mata Jimin.
Wanita itu tersenyum—seolah keberadaan Jimin merupakan hal yang selalu ia tunggu. Seolah penantian panjangnya akan terbalaskan hari ini.
Mendadak, telinga Jimin berdengung hebat. Jimin mencengkram kedua telinganya namun lututnya langsung ambruk. Seakan tubuhnya otomatis akan berlutut jika melihat wanita itu.
Jimin meringis, ketika semua ingatannya tentang wanita itu muncul bagaikan sebuah cuplikan film dibenaknya.
Bagaimana ia disekap, hari-hari dimana hanya ada tangisan dan jeritan juga bayangan dirinya sendiri langsung menyerangnya.
Potongan-potongan ingatan itu bertabrakan hingga Jimin merasa kepalanya akan pecah.
Dengan sisa tenaganya, ia mendongak. Menatap wanita itu dengan penuh kebencian. "Kau! sshhh—kau akan lenyap hari ini."
•🍒•
Wdyt(?)
🌚
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top