#28. Woried

•|514 words|°

"Sayang—bangun. Ini sudah pagi," seruan lembutnya itu menggelitik telingaku.

Aku menggeliat, membenarkan posisi tidurku menjadi miring sambil menarik selimut guna menutupi tubuh polosku. "Aku lelah."

Kudengar Jimin terkekeh, ia mengusak rambutku gemas sebelum mengecup keningku. "Aku sudah menyiapkan air hangat untukmu—dan oh ya, kau harus bilang padaku jika ingin bepergian."

Aku mengangkat sebelah alis, menatapnya dengan bingung. "Sejak kapan kau jadi perhatian seperti ini?"

"Eeyy—kau baru menyadarinya? asal kau tahu, aku selalu merawatmu bahkan aku menyeka tubuhmu dengan air hangat saat kau belum sadarkan diri."

"Apa?! kau—menyeka tubuhku?"

"Tentu saja," jawab Jimin mantap. Wajahku memerah—menatapnya kesal sambil menggigit bibir.

"Wae? kenapa menatapku seperti itu?" Jimin gelagapan. Aku semakin menatapnya tajam.

"Aku tidak percaya, kau bahkan melecehkanku saat aku tidak sadar," celetukku kelewat spontan.

Jimin membelalak. "Apa?! meleceh—astaga ... kau itu istriku!"

"Ta-tapi tetap saja! kau tidak boleh menyentuhku tanpa seizinku!"

"Lalu aku harus apa? aku tidak mungkin membiarkanmu bermandikan keringat selama berhari-hari."

Aku mengalihkan pandangan, itu memang benar—apa yang dikatakan Jimin sebenarnya masuk akal. Tapi—memikirkan bagaimana ia menyeka tubuhku saat aku tidak sadarkan diri membuatku malu.

"Hey—apa kau malu?" Jimin membelai pipiku, membuatku kembali memandang wajahnya. Aku menatapnya kesal, bagaimana bisa ia selalu tahu apa yang kupikirkan. "Kita sudah sering melakukannya, untuk apa malu?"

Mataku mengerjap lima kali, pipiku merona. "I-itu berbeda!"

Jimin terkekeh. "Apa bedanya?" ia tersenyum, membenarkan anak rambutku yang berantakan. "Maaf untuk yang semalam, aku benar-benar tidak bisa menahannya hingga membuatmu kelelahan seperti ini."

"Kenapa harus minta maaf?" Aku menunduk, semakin mengeratkan selimut yang membebat tubuhku. "Harusnya aku yang meminta maaf karena pergi ke rumah Juan oppa tanpa sepengetahuanmu." Aku kembali mengingat kejadian itu.

"Aku mengerti." Jimin tersenyum tipis. "Kau pasti melakukan itu karena ingin mencaritahu tentang wanita itu."

"Geunde, Juan oppa sekarang ada dimana? apa kau tahu?"

"Kau tidak usah mengkhawatirkannya, dia urusanku sekarang." Jimin bangkit, beranjak menuju lemari dan mengeluarkan dasinya.

"Kau mau kemana?" tanyaku bingung saat menyadari kalau Jimin telah berpakaian rapi. Tidak biasanya, padahal biasanya ia hanya akn mengenakan kaos oblong kebesarannya dengan celana pendek.

"Aku akan bekerja."

"Apa?! bukankah kau baru akan bekerja setelah satu bulan pernikahan?"

"Ada sesuatu yang terjadi, jadi penobatanku dipercepat," terang Jimin. Ia mengambil tasnya, mendekat kearahku lalu mencium keningku—lagi. "Aku pergi."

Jimin baru melangkah sebanyak lima kali, saat aku menghentikannya. "Tunggu!"

Jimin berbalik. "Apa?"

"Mana celanamu?"

Jimin melihat ke bawah, muka dan telinganya memerah begitu menyadari kalau ia masih memakai boxer. Ia berdeham, berjalan dengan elegan menuju lemari. Begitu ia mendapat celana yang tepat, ia menyampirkannya dibahu lalu melesat cepat keluar kamar.

Tepat tiga detik setelah Jimin keluar kamar, tawaku keluar dengan tidak tertahankan. Aku tertawa terbahak-bahak hingga perutku terasa sakit.

Namun, entah efek karena terlalu lama tertawa atau memang kondisi tubuhku yang melemah, aku tiba-tiba merasakan mual. Aku langsung menutup mulutku dan berlari menuju watafel terdekat—yang ada di kamar mandi.

Aku memuntahkan cairan yang terasa pahit di tenggorokanku hingga tubuhku terasa lemas. Napasku terengah, dengan berpegang pada wastafel aku menatap pantulan wajahku di cermin.

Ini—tidak seperti yang sedang aku pikirkan, kan?

•🍒•

Maaf pendek :"(



Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top