#27. Chimin or Oppa?
Hari ke delapan puluh,
Hari penobatan Jimin+
hari kedua Dahyun tidak sadarkan diri
*
Dahyun meringis dengan keringat dingin yang terus keluar. Sesekali ia akan berteriak, menangis tersedu hingga menjerit. Namun, ia masih menutup matanya.
Jimin resah, begitu upacara penotabatannya sebagai CEO Park Group selesai, ia langsung menancap gas menuju rumahnya.
Jimin tidak membawa Dahyun ke rumah sakit, justru ia langsung membawanya ke rumah mereka hingga menyulap ruangan kosong yang ada disana menjadi seperti ruang rawat di rumah sakit. Ia juga mendatangkan dokter dan suster pribadinya guna mengecek keadaan Dahyun yang sudah dua hari tidak sadarkan diri.
Ingatannya kembali memutar, kala ia mendapati Dahyun yang sedang berdiri namun kepalanya menengadah—seperti sedang dicekik oleh seseorang, hanya saja tidak kasat mata. Jimin terus memikirkan beberapa kemungkinan yang terjadi, namun disana Dahyun hanya sendiri. Dan Juan, entah kemana pria itu pergi.
Begitu Jimin sampai disana, Dahyun langsung pingsan. Beruntung, Jimin berhasil menangkap tubuhnya sebelum benar-benar jatuh ke lantai.
Dokter mengatakan kalau secara fisik, Dahyun baik-baik saja. Namun, Dahyun sempat mengalami trauma psikologis yang membuatnya masih tidak sadarkan diri.
Jimin meletakan telapak tangannya di kening Dahyun. Wanita itu terus mengernyit dan meringis, namun matanya yang masih terpejam erat membuat Jimin semakin khawatir.
"Apa yang sedang kau pikirkan?" lirihnya. Ia menyelipkan anak rambut Dahyun ke belakang telinga, menatap wajah cantik yang sedang terpejam itu dengan dalam.
"Bangunlah—aku merindukanmu. Sangat-sangat merindukanmu."
Jimin mencium kening Dahyun lama. Ia begitu merindukan wanitanya itu. Dan demi apapun, rasanya sungguh sakit setiap kali melihat kondisi Dahyun yang seperti ini.
Begitu Jimin menjauhkan bibirnya dari kening Dahyun, setetes air mata keluar dari sudut mata Dahyun. Masih dengan mata terpejam, Dahyun menangis.
Ini yang Jimin khawatirkan. Sebenarnya, apa yang sedang Dahyun impikan hingga ia bisa menangis seperti ini?
Dahyun terus menangis, hingga membuat Jimin kalang kabut sendiri. Bingung harus melakukan apa.
Tangisan Dahyun baru bisa mereda saat Jimin memeluk tubuhnya. Hanya ini satu-satunya cara yang terpikirkan oleh Jimin, dan rupanya berhasil.
"Uljima—ada aku disini," bisik Jimin sambil terus menepuk-nepuk punggung Dahyun lembut. Napas Dahyun kembali teratur, ia kembali tenang.
Sepuluh menit berlalu, posisi mereka masih sama. Jimin menjadikan tangan kanannya sebagai bantal untuk Dahyun, sedang tangan yang satunya lagi memeluk Dahyun erat. Mata Jimin semakin berat, hingga akhirnya, di menit ke dua puluh, Jimin tertidur.
*
Tepat tengah malam, Dahyun terbangun dengan napas tersenggal. Hal pertama yang ia lihat adalah dada bidang Jimin dengan napasnya yang teratur. Dahyun langsung memeluknya erat—sangat erat, hingga Jimin juga akhirnya terbangun.
"Kau sudah sadar, sayang?" tanya Jimin dengan mata membola kaget—karena Dahyun memeluknya dengan begitu erat saat ia masih tidur.
"Oppa—mianhe, naega mianhe." Dahyun terisak.
Jimin melonggarkan pelukan mereka, menatap wajah Dahyun dengan raut khawatir dan bingung.
"Kau kenapa?" Jimin mengusap air mata Dahyun yang terus mengalir. "Uljima—kau sudah terlalu banyak menangis hari ini."
"Aniya, oppa. Aku minta maaf." Dahyun memajukan bibir bawahnya dengan imut, membuat Jimin hanya bisa mengangkat sebelah alisnya bingung sambil menahan gemas.
"Kau ini kenapa, sih? kau baru saja bangun sejak berhari-hari, dan kau langsung minta maaf kepadaku dengan wajah seperti itu!" Jimin menunjuk wajah Dahyun dengan telunjuknya. "Aku akan menghukumu jika menunjukan wajah itu pada orang lain!"
Dahyun semakin memajukan bibirnya seperti bebek. "Kalau seperti ini?"
"Aku akan langsung menciummu."
"Byuntae! "
Jimin tertawa. Ia memajukan wajahnya, mengecup bibir Dahyun sekilas lalu menggosokan hidungnya di pipi Dahyun dengan gemas. "Aku sangat merindukanmu," ucapnya dengan manja.
"Memangnya apa yang terjadi? kenapa aku bisa ada disini?"
"Kau tidak ingat? dua hari yang lalu kau pingsan di rumah Juan. Untung aku mengirim seseorang untuk mengikutimu saat kau keluar rumah, jadi aku tidak terlambat datang," jelas Jimin. Mendengar itu, raut wajah Dahyun berubah keruh.
"Ada apa? apa ada yang terjadi saat aku tidak disana?"
"Oppa—aku melihat ... wanita itu."
"Siapa?"
Dahyun menatap Jimin serius. "Aku melihat wanita yang menculikmu dan—"
"Dan apa?"
"Dia mengancamku tapi—aku tidak yakin karena sebelum ia selesai berbicara, dia menghilang karena kau datang," terang Dahyun sedikit menceritakan kejadian yang menimpanya saat di rumah Juan. "Dan selama aku tidak sadarkan diri, aku mengingat masa lalu kita."
Jimin terdiam, tangan kirinya tiba-tiba bergetar hebat. Ia menyembunyikan tangannya itu ke belakang tubuhnya sebelum Dahyun menyadarinya. "Apa saja yang kau ingat?"
"Tidak banyak. Hanya saat aku bertemu dengan wanita itu—lalu aku pergi menyelamatkan oppa." Dahyun menatap Jimin dengan mata berkaca-kaca.
"Oppa, maaf karena aku telah melupakan hal yang selama ini membuat oppa terluka. Maaf karena telah membuat oppa jadi seperti ini."
Air mata Dahyun kembali menetes. "Kalau saja aku mencegahmu pergi saat kau mendatangi wanita itu—tidak! kalau saja aku melarang oppa untuk tidak mengikutiku—mungkin, hiks mungkin itu semua tidak akan terjadi pada oppa."
Jimin membawa Dahyun ke dalam pelukannya. Dahyun menangis tersedu, Jimin mengusap-ngusap rambutnya pelan. "Gwenchana, itu bukan salahmu. Itu murni kesalahanku, justru aku berterima kasih karena jika bukan karenamu, mungkin aku sudah mati kelaparan disana."
"Itu sudah takdir, sayang. Justru aku bersyukur, karena dengan begitu kita bisa bersatu," lanjutnya sambil tersenyum tipis.
Dahyun mendongakkan kepalanya ke atas, menatap tepat pada manik mata Jimin yang juga tengah menatapnya. "Apa itu artinya kau sudah memaafkanku?"
"Aku tidak akan pernah memaafkanmu."
"Wae? "
"Karena kau tidak boleh meminta maaf kepadaku. Kau hanya boleh mencintaiku saja."
"Apa-apaan itu! menggelikan!" Dahyun memukul dada Jimin pelan, Jimin terkekeh.
"Oh ya, apa sekarang aku boleh memanggilmu Chimin, lagi?" tanya Dahyun dengan mata berbinar setelah beberapa saat.
"Apa?! Andwae! kau harus memanggilku oppa! " seru Jimin kesal.
Dahyun mencubit kedua pipi Jimin dengan gemas. "Aigoo Chimin-ah, kau sekarang telah tumbuh besar ya."
"Hey! berhenti menggodaku!" Jimin protes, sementara Dahyun tertawa nyaring. Dahyun menarik-narik pipi Jimin layaknya sebuah karet, muka kesal Jimin begitu terlihat menggemaskan dimata Dahyun.
"Kyeopta! Aigoo Chimin ku begitu—"
Dahyun terdiam begitu Jimin telah membalikkan keadaan dengan mengurungnya dibawah kungkungannya. Dahyun meneguk ludahnya susah payah, ia mengangkat kedua tangannya mengaku bersalah. "A-aku menyerah. Sekarang kau minggir, aku ingin—"
Jimin menarik tangan Dahyun, membuatnya kembali ke posisi semula. "Kau tahu, aku sudah menahannya sejak tadi, tapi kau terus menggodaku."
"A-aku hanya bercanda."
"Tapi itu menyiksaku!"
"—aku minta ma—"
Cup!
Dahyun mengerjap kaget dengan mulut menganga saat Jimin mengecup bibirnya cepat.
"Kau tidak boleh minta maaf."
"Ta—"
Cup!
"Berbicara juga tidak boleh!"
"Lalu aku harus ap—"
Cup!
"Aku sudah peringatkan," tegas Jimin.
Wajah Dahyun sudah begitu memerah—antara canggung dengan malu—ini memang bukan yang pertama kali, tapi dengan posisi seperti ini lalu Jimin yang hanya mendiamkannya sambil terus menatap matanya dalam membuatnya salah tingkah.
Dahyun menutup bibirnya dengan kedua tangannya. "Ji-jimin, aku baru sadar," Dahyun mengingatkan.
Jimin menggunakan satu tangannya untuk menopang tubuhnya saat tangan yang lain membenarkan rambut Dahyun dengan menyelipkannya ke belakang telinga. "Panggil aku oppa."
"O-oppa, aku masih lelah."
"Memangnya kau pikir aku akan melakukan apa, hm? "
Sial, Jimin menjebaknya.
"A-aku ingin tidur."
"Tidurlah—
"Tapi setelah kau menidurkannya dulu."
•🍒•
🌚
Hmm_- sa ae lu Jim
Dahyun baru sadar😂
Semoga feelnya terasa
💙💜💛💚
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top