#25. Juan Is Her Son?

Hari ke tujuh puluh enam.


[570 words]

Baik Jim ataupun Jimin, dua-duanya sama saja. Mesum dan sangat keras kepala. Dahyun bahkan nyaris tidak sadarkan diri karena harus meladeni nafsu mereka yang diambang batas.

Lihatlah keadaan Dahyun sekarang, ia bahkan sudah tidak ada tenaga—bahkan hanya untuk berjalan lima langkah ke kamar mandi. Badannya terasa remuk dengan bercak keunguan dimana-mana.

Sementara itu, Jim barusaja keluar dari dalam kamar mandi. Ia keluar dengan bertelanjang dada, dengan satu handuk di pinggang dan satu di tangannya. Bak pemain iklan shampo profesional, Jim mengibas-ngibaskan rambut basahnya itu dengan handuk.

"Kau tidak akan mandi?" tanyanya dengan santai, sambil memilih berberapa pakaian untuk dikenakannya di dalam lemari.

Dahyun mendengus tidak percaya, pria itu bersikap seolah tidak pernah melakukan apapun kepadanya. Dahyun jadi menyesal karena meladeni permintaannya sejak beberapa jam yang lalu.

"Lihatlah siapa yang bertanya," sindir Dahyun malas. "Kakiku bahkan sudah tidak kuat berdiri, bahkan untuk berjalan lima langkah ke kamar mandi saja rasanya mustahil."

Jim terkekeh. "Salahkan dirimu yang terus membuatku ketagihan." Jim memakai pakaiannya begitu saja dengan cuek. Toh, mereka barusaja melakukannya, dan ia yakin kalau Dahyun pasti sudah sering melihatnya jadi, untuk apa malu.

Setelah selesai, Jim berbalik dan menghampiri Dahyun sambil duduk di pinggir ranjang. "Butuh bantuan?" Jim mengulurkan tangannya, ia tersenyum mesum. "Aku bisa membantumu untuk mandi juga kalau perlu."

Dahyun mencebik. "Tidak usah! lagipula aku tidak begitu ingin mandi."

Jim mengangkat sebelah alisnya. "Kau yakin? badanmu itu pasti sudah sangat bau karena kau bahkan belum mandi saat kita melakukan—argh! kenapa memukulku?!"

"Menurutmu kau tidak bau?! kau juga belum mandi saat kita melakukannya!" Dahyun tidak mau kalah.

"Tapi aku sudah mandi sekarang!"

"Tapi tetap saja, kau juga belum mandi tadi!"

"Apa? Ya! kau—hah, sudahlah. Hentikan, oke?" Jim akhirnya  mengalah. Ia naik ke atas ranjang, mendudukan dirinya tepat di samping Dahyun yang masih menggulung seluruh tubuhnya dengan selimut bak kepompong.

Dahyun menekuk wajahnya, bibirnya mengerucut seperti bebek dengan pipi merona. Jika tidak mengingat kalau mereka baru saja selesai melakukannya beberapa menit yang lalu, mungkin saat ini Jim kembali menerkamnya.

"Dimana Jimin?" tanya Dahyun spontan. Dirinya bahkan tidak sadar kalau pertanyaannya itu sudah membuat raut wajah Jim berubah keruh.

"Kau tidak suka kalau aku menggantikannya?"

"Tidak, aku suka." Dahyun menghela napas. "Hanya saja—rasanya berbeda saja."

Jim berdecak. "Padahal dulu kau hanya ingin bertemu denganku dan menghindari Jimin. Tapi sekarang, kau tidak nyaman denganku? wah—aku merasa terluka."

Dahyun memukul pundak Jim kesal. "Jangan mengingatkan masa lalu! sekarang sudah berbeda."

"Benarkah?" raut wajah Jim kembali berubah, ia menatap Dahyun dengan tatapan yang sulit dibaca. "Kau pikir, kau sudah benar-benar mengetahui semuanya tentang Jimin?"

Dahyun mengulum bibirnya. "Belum. Tapi aku yakin, suatu saat nanti dia akan menceritakannya padaku."

Jim mengulurkan tangannya, ia mendekat sambil memegang pundak polos Dahyun. "Kau berharap dia akan menceritakan apa padamu, hem?"

Dahyun berkedip dua kali. Ia tidak menjawab.

"Sampai kapanpun, dia tidak akan bisa menceritakan apapun padamu karena Juan melarangnya."

"Apa—maksudmu?"

"Seminggu yang lalu ia datang, bukan?"

Dahyun mengangguk pelan.

"Apa ia membawa sesuatu dari sini?"

"Iya. Dia membawa koper milik Jimin—katanya itu berisi senjata yang sering Jimin pakai untuk melukai dirinya sendiri."

Jim mendecih. "Cih, licik sekali pria itu," desisnya. Ia kembali menatap Dahyun. "Jangan biarkan Jimin konsultasi padanya—kalau bisa, jangan biarkan ia menemui Jimin."

"Kenapa?"

"Dia orang yang menghapus ingatan Jimin—termasuk ingatannya mengenai kedua orang tuanya—karena kau tahu? ia adalah anak si wanita yang menculik Jimin."

"APA?!"

•🍒•

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top