#24. He's Back!

Tengah malam,
Dihari ke tujuh puluh lima.

|1500 words|°

"Kau harus melupakan mereka Jimin!"

"Tidak."

"Mereka orang tua yang buruk! terutama ibumu! dia sudah mengambil semua kebahagiaanku!"

"Ti-tidak!"

"Kau harus melupakannya! KAU HARUS!"

"Kalau tidak, aku akan merenggut orang yang paling kau sayangi, bagaimana?"

"ANDWAEEE!!! "

Jimin terbagun dari mimpi buruknya. Napasnya tersenggal, keringat dingin terus bercucuran dengan mata yang melotot lebar. Ini mimpi buruknya yang pertama setelah ia tidak merasakan pemberontakan apapun dari Jim.

Rasanya sungguh nyata, namun sial, ia tidak mengingat seperti apa wanita yang ada dimimpinya tadi.

Dahyun menggeliat, matanya langsung melebar begitu melihat Jimin yang terduduk dengan sorot ketakutan. Jimin langsung memeluknya sebelum ia sempat mengatakan sesuatu.

"Ka-kau kenapa Jimin?"

"Biarkan seperti ini dulu." Napasnya masih tersenggal. Dahyun hanya menepuk-nepuk pundaknya, mencoba menenangkan.

"Dia kembali, Dahyun. Dia kembali."

Dahyun mengernyit. "Dia—siapa?"

"Orang yang menculikku, tapi aku tidak mengingat bagaimana wajahnya." Jimin semakin mengeratkan pelukannya. "Aku takut—aku takut ia akan kembali dan mengambilmu dariku."

"Tenanglah—aku tidak akan meninggalkanmu, aku disini." Dahyun mencoba menenangkannya lagi dengan mengusap pundak Jimin. "Semakin kau takut, semakin ia kuat. Kau harus melawannya jika ingin menang Jimin-ah."

"Jimin-ah?"

"Ehmaksudku, oppa."

Jimin melonggarkan pelukannya, menatap wajah istrinya penuh tanya. "Bagaimana caraku melawannya? bahkan aku tidak mengingat wajahnya."

"Kau akan langsung mengetahuinya saat bertemu dengannya. Tapi sebelum itu, kau harus melupakan apapun yang telah ia perbuat. Mengingatnya hanya membuat traumamu terus berkembang." Dahyun menasehati, Jimin menunduk diam.

Bukannya menjawab, Jimin malah mendekatkan wajahnya dan mengecup kening Dahyun lama.

"Gomawo," bisiknya. "Kau tahu, aku jadi berpikir kenapa aku bisa melupakan ibuku tapi selalu ingat padamu, mungkin sejak kecil kita sudah ditakdirkan bersama. Kau milikku, hanya milikku."

Dahyun tersenyum, "Iyaa, suamiku. Ini masih tengah malam, kita harus kembali tidur."

Alis Jimin terangkat, sedetik kemudian ia tersenyum simpul. "Bisa katakan sekali lagi?"

Kepala Dahyun miring ke satu sisi.

"—Kita harus kembali tidur?"

"Bukan, sebelum itu."

"Tengah—malam?"

Jimin berdecak, ia menyentuh kedua pundak Dahyun. "Coba ucapkan 'suamiku' sekali lagi. Kau mengucapkannya tadi."

Mata Dahyun berkedip dua kali. Ia berbalik, menarik selimut hingga menutup seluruh wajahnya yang memerah. "Tidak ada siaran ulang! tidur sana!"

"Yak! aku ingin mendengarnya sekali lagi, yeobo," Jimin merengek.

"Tidur sekarang atau tidak ada jatah seminggu?"

Jimin langsung menurut, dengan bibir mengerucut. "Baiklah, aku akan tidur." Ia menyibak selimut dan memeluk Dahyun dari belakang. "Tapi dengan posisi seperti ini."

Dahyun menghela napas lelah. Ia memilih memejamkan matanya dan kembali tidur—dengan membiarkan Jimin memeluknya. Tapi ada satu yang mengganjal pikirannya sekarang.

Kenapa Jimin bertingkah 'sangat' normal belakangan ini? Apa Jimin sudah 'sembuh' sekarang? lalu bagaimana keadaan Jim saat ini?

Dahyun mendelik saat melihat tangan Jimin yang dengan lihai membuka kancing piyama yang dikenakannya dari belakang.

"Jimin?"

"Kau tidur saja, aku tidak bisa menahannya."

Dahyun menggeram, bagaimana bisa ia tidur sedangkan lelaki itu mempermainkan tubuhnya.

*

Keesokan harinya, Dahyun terbangun dengan rasa pegal diseluruh tubuhnya. Kakinya sudah agak mendingan sekarang. Wanita itu sudah bisa berjalan walau masih agak sedikit pincang.

Dahyun mengernyit saat sudah tidak mendapati keberadaan Jimin di sampingnya.

Di kamar mandi, ruang keluarga, bahkan di dapur, Dahyun tidak menemukan keberadaannya. Barulah saat ia melirik ke arah kolam renang yang berhadapan langsung dengan kamar mereka, Dahyun dapat melihatnya yang sedang duduk memunggunginya.

"Ada apa? tidak biasanya kau diam disini." Dahyun mendekat dan mendudukan bokongnya di samping Jimin.

Jimin masih terdiam diposisinya, ia sama sekali tidak berniat untuk menoleh ke arah Dahyun.

Lelaki itu terus saja menatap kearah kolam, membuat Dahyun semakin penasaran. Dahyun ikut melihat ke arah kolam renang dan terkejut begitu Jimin tiba-tiba menyentil dahinya cukup keras.

Tak!

"Aww! " Dahyun memekik keras, ia mendelik kearah Jimin yang sekarang sedang tertawa terpingkal-pingkal.

"Kau masih bisa tertawa? ini sakit sekali, bodoh! kau mau melubangi dahiku ya?!" hardik Dahyun dengan suara yang tidak kalem sekali. Ia sangat sebal, sejak tadi ia sudah mencari keberadaan Jimin. Tapi saat bertemu, ia malah langsung dapat sentilan, dasar sialan.

Jimin menghentikan tawanya, ia mengusap ujung matanya yang sedikit mengeluarkan air mata, "Kau tidak mengingatku, huh? "

Dahyun mengangkat alis tidak percaya, "Kau suamiku, mana mungkin aku tidak mengingatmu."

"Ck, sudah kuduga, ingatanmu ternyata semakin buruk. Kau bahkan tidak bisa membedakan kami," Jimin memberenggut, ia memainkan air kolam di depannya dengan wajah minta dikasihani.

Kening Dahyun mengerut semakin dalam, ia berpikir keras sampai mulutnya berkata, "Kau—Jim?"

Jimin yang rupanya bukan Jimin yang asli melainkan Jim itu menoleh sambil tersenyum mengejek. "Baru mengingatnya, huh? "

"Kenapa kau ada disini? dimana Jimin?" tanya Dahyun dengan raut wajah serius.

"Dia sedang beristirahat," jawabnya. Jim mengeluarkan kakinya dari air, melipatnya menjadi sila dan menghadap kearah Dahyun yang ada di samping kirinya. "Dia sudah bermain terlalu lama denganmu. Lagipula, apa kau tidak merindukanku?"

Dahyun menggigit bibir bawahnya. "Eumm—sedikit," cicitnya pelan.

Dahyun sebenarnya merasa aneh dengan dirinya sendiri. Saat sedang bersama Jimin, ia akan menanyakan Jim. Tapi giliran bertemu langsung dengan Jim, Dahyun malah merindukan Jimin.

Rasa-rasanya, Dahyun sudah tidak lagi memusingkan keduanya, ia sudah nyaman dengan siapapun yang ada ditubuh Jimin.

"Ada apa dengan kakimu?" tanya Jim membuyarkan pikiran Dahyun.

"Ah—iya? apa?"

"Ada apa dengan kakimu?" Jim mengulang pertanyaan yang sama. Ia menatap Dahyun tajam. "Itu bukan ulah Jimin, kan?"

Dahyun menggeleng heboh, "Tentu saja bukan! aku hanya tidak sengaja menyenggol gelas, dan akhirnya pecah sampai mengenai kakiku."

"Syukurlah, kupikir Jimin berulah lagi," Jim tersenyum. Tangannya terulur, mengusap kepala Dahyun penuh kasih sayang. "Bagaimana hari-harimu? apa semuanya berjalan lancar?"

"Begitulah ... kami—cukup bahagia tapi masih sering terjadi pertengkaran kecil diantara kami." Dahyun mengangkat bahunya cuek. "Kurasa itu wajar bagi semua keluarga. Kehidupan tidak terasa seru tanpa masalah, bukan?"

"Ya—itu memang benar." Jim mengangguk-ngangguk membenarkan ucapan Dahyun. "Bagi sebagian orang mungkin ucapanmu itu ada benarnya, tapi tidak dengan posisimu sekarang," lanjutnya, membuat dahi Dahyun berkerut semakin dalam.

"Maksudmu?"

"Jimin masih membutuhkan perawatan, kau tahu maksudku, kan? dia masih belum sembuh total. Terkadang, disaat dia merasa emosi berlebihan hingga traumanya muncul lagi, ia bisa menyakiti dirinya sendiri dan parahnya, ia tidak akan melampiaskannya pada siapapun, hanya pada dirinya sendiri. Dan selama ia melakukan itu, ia tidak sadar—bahkan saat lengannya putus, ia tidak akan menyadarinya."

Dahyun terdiam, lengannya saling meremas dengan gelisah. Perasaan bersalah tiba-tiba menyelimuti dirinya. "Benarkah? separah itu? tapi— darimana kau mengetahuinya?"

"Aku dapat merasakannya, kami berbagi tubuh bersama, ingat?" Jim kembali mengelus kepala Dahyun untuk menenangkannya. "Jangan takut, ini semua bukan salahmu. Justru Jimin bisa bertahan karenamu."

Dahyun menunduk. "Bagaimana bisa? bukannya ia tidak akan mengalami semua ini jika tidak bertemu denganku sepuluh tahun yang lalu?"

Jim tersenyum simpul, ia mencubit pipi Dahyun gemas, membuat wanita itu memekik dengan raut kesal. "Akh! itu sakit, bodoh!"

Dahyun menggeplak keras lengan Jim. Jim mengaduh, protes. "Kau kasar sekali. Aku juga suamimu!"

"Suami macam apa yang menyuruhku untuk kabur dihari-H pernikahan, huh? " jawab Dahyun tidak mau kalah.

"Itu karena aku mengkhawatirkanmu!"

"Kau lihat? sekarang aku baik-baik saja! kau bisa pergi sekarang, syuh! syuh! "

Jim berdecak tak habis pikir dengan sikap Dahyun. Padahal ia baru saja melihat raut wajahnya yang ingin menangis, makanya ia mencubit pipi Dahyun bermaksud untuk membuatnya kembali tersenyum. Tapi sekarang, wanita itu tiba-tiba berubah menjadi singa betina yang sangat galak.

Tanpa aba-aba, Jim berdiri. Ia meregangkan otot kedua tangannya, sebelum akhirnya jongkok lalu memangku tubuh Dahyun ala bridal. Sontak, wanita itu memekik heboh. "Ya! Apa yang kau lakukan, Jim?! turunkan aku!"

"Diam dan menurut saja! atau kau mau ku lempar ke dalam kolam renang itu?"

Dahyun merapatkan bibirnya sebal, memilih mengalah daripada Jim marah besar kepadanya dan akhirnya melempar tubuhnya ke dalam kolam renang yang dingin.

Jim mendudukan Dahyun di sisi ranjang, Jim mensejajarkan wajah mereka. Menatap mata Dahyun yang mengerjap polos itu dengan serius.

"Boleh kalau sekarang aku melakukannya juga? Aku menginginkanmu," ucap Jim dengan menatap mata Dahyun dalam dengan pandangan yang—ah, sulit untuk di deskripsikan.

Sementara itu, Dahyun tahu betul kemana arah pembicaraannya ini. Hanya saja, mungkin Dahyun sudah benar-benar tidak bisa berjalan lagi besok.


•🍒•

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top