#23. Call Me Oppa
Beberapa jam kemudian
Dihari ke enam puluh enam.
°|922 words|•
Jimin benar-benar mendiamkanku seharian. Terhitung dari sejak Juan pergi hingga siang hari ini, masih belum ada percakapan yang berarti diantara kami.
Aku mendengus kesal, terlebih dengan kondisiku saat ini, yang sulit berjalan. Kakiku telah dibalut perban karena rupanya lukanya cukup dalam.
Aku menghela napas bosan, sejak tiga puluh menit yang lalu, kami menonton variety show man running, tapi dengan kesunyian dan wajah datarnya, acara itu jadi tidak terlihat menarik.
"Jimin—aku lapar," ucapku pelan sambil menarik-narik ujung kaosnya. Masa bodoh dengan rasa egoku yang tinggi, tingkah cueknya ini lebih menyiksaku.
"Kau baru saja makan satu jam yang lalu," katanya tanpa berniat untuk menoleh kearahku.
Aku mencebik tidak sabar, "Aku hanya makan buah-buahan. Sekarang aku ingin makan nasi."
Jimin menghela napas, ia bangkit berdiri dan berjalan ke arah dapur. Dewi batinku terkikik girang, ya—setidaknya Jimin sudah tidak lagi mendiamkanku.
Ia kembali dengan sepiring nasi beserta lauk pauknya dan meletakannya begitu saja di meja, lalu kembali duduk dan menonton tv.
Bibirku mengerucut, dia masih marah rupanya. Aku menggeser tubuhku untuk mendekat kearahnya. Jimin duduk diatas karpet, tepat dibawahku yang sedang duduk di atas sofa. Dengan manja, aku memeluk lehernya dari belakang.
"Oppa~ suapin," bisikku dengan suara keras yang diimut-imutkan. Mata Jimin berkedip berkali-kali, telinganya memerah.
"A-apa? kau bilang apa tadi?" tanyanya gugup. Astaga, aku baru sadar kalau ia terlihat sangat menggemaskan saat salah tingkah begini.
Aku mengulum senyum, mengeratkan pelukanku dan berbisik lagi di telinganya. "Oppa! suap—"
Jimin menempelkan telunjuknya dibibirku, aku berkedip dua kali. "Aku akan menyuapimu, tapi kau duduk dipangkuanku, bagaimana?"
Sejujurnya, aku ingin segera menyumpal mulutnya itu, tapi karena kondisi kakiku dan aku yang memulai semua ini, jadi aku hanya mengangguk layaknya kucing pada majikannya.
Jimin tersenyum senang, ia meraih piring lalu duduk di atas sofa. Ia menyuruhku untuk duduk di atas pahanya tapi aku hanya duduk di sampingnya.
"Kau akan sulit menyuapiku jika posisinya ada dibelakangku," alibiku.
Jimin mengangkat kedua alisnya, "Siapa suruh kau membelakangiku? kau duduk disini dengan menghadap ke arahku, sayang."
Pipiku merona. Sialan, dasar penggoda.
Karena tak kunjung menurut, ia menarik paksa tubuhku dan mendudukannya di pangkuannya.
"Sekarang, buka mulutmu. Aaa—"
Aku membuka mulut dan menerima suapan pertamanya. "Jimin-ah, kau sudah tidak marah lagi padaku?"
Alis Jimin mengerut. "Jimin-ah? siapa dia?"
Aku mendengus. "Oppa—kau sudah tidak marah lagi padaku?"
Ia menyuapiku lagi, "Kenapa aku harus marah padamu?" tanyanya tanpa dosa. "Memangnya apa yang kalian lakukan? bukannya Hyung hanya membantumu?"
Aku mengulum bibir dan mendesis. Sial, dia menjebakku.
"Jawab aku, apa yang kalian lakukan? kalian sudah saling mengenal?"
Aku menghela napas dan mengangguk. "Dia teman kakakku, Jaebum."
Dia menyuapkan nasi padaku. "Oh ... syukurlah. Kupikir ia cinta pertamamu."
Aku tersedak, Jimin kaget dan memberikan segelas minum kepadaku yang langsung ku teguk rakus.
"Ya~ pelan-pelan." Jimin menepuk-nepuk punggungku. Aku memerah malu, dan mengangguk.
"Kenapa kau sampai kaget begitu? Apa ucapanku benar? Dia cinta pertamamu?" tanyanya lagi. Ya tuhan, kenapa dia selalu bisa menebak dengan benar.
Dengan takut, aku mengangguk pelan. Ia terdiam, tapi tidak lama karena setelahnya ia kembali menyuapiku.
"Kau ingin tau satu hal?"
Alisku terangkat bingung. "Apa?"
"Aku marah dan—cemburu."
"Ya tuhan. Itu hanya cinta monyet biasa Jimin."
"Apa? Jimin?"
Aku menghela napas, dia rewel sekali. "Baiklah, oppa. Dia hanya cinta monyet biasa, sungguh. Lagipula sekarang aku sudah jadi istrimu."
Ia merapatkan bibir, sepertinya ia menahan senyumnya. "Kalau begitu, mulai sekarang, kau harus memanggilku dengan sebutan itu."
Aku memutar bola mata, "Iya iya—dasar cerewet."
.
.
Lelaki dengan postur tubuh tinggi itu terlihat memasuki sebuah mansion mewah yang terletak di Myeongdong.
Lengannya menarik dasi yang terasa mencekik lehernya dan melemparkan koper ke atas sofanya begitu saja.
Sambil mengisi air ke dalam gelasnya ia berpikir, mengenai kejadian beberapa waktu lalu saat Dahyun ada digendongannya.
"Dia tumbuh dengan sangat cepat," gumamnya pelan sambil mendengus. Juan meneguk gelas itu hingga airnya tandas. "Hah ... aku tidak menyangka kalau Dahyun akan menikah dengan Jimin. Sejak kapan mereka saling mengenal?"
Tungkainya melangkah ke arah sofa, lantas mendaratkan bokongnya disana.
Ia mengetik beberapa nomor diponselmya dan menelpon seseorang.
"Whatsup, bro! apa kabar?" serunya begitu teleponnya sudah terhubung.
"Hey man~ kudengar kau sudah kembali ke korea? kenapa tidak memberitahuku?"
"Hanya beberapa bulan lalu, aku tidak sempat. Banyak pekerjaan yang harus aku urus disini." Juan memainkan tangan kirinya diatas meja. "Barusan aku bertemu dengan adikmu. Dia sudah menikah, kenapa kau tidak memberitahuku?"
Terdengar suara kekehan dari sana. "Kupikir kau sudah punya pacar disana. Kenapa? kau menyesal tidak melamarnya lebih dulu?"
"Sedikit." Sudut bibir Juan terangkat hingga menampilkan lesung pipitnya yang manis. Juan menyandarkan punggungnya dengan nyaman. "Lagipula sepertinya kami akan sering bertemu nanti."
"Hey, kau tidak berniat untuk menghancurkan rumah tangga adikku, bukan?"
Juan menyeringai. "Itu ide bagus."
"Akan kupatahkan lehermu jika itu terjadi. Kau tinggal dimana sekarang?"
"Wow ... santai saja. Kau sangat mengenalku, aku tidak mungkin melakukan hal yang akan menyakiti adikmu. Tenang saja." Juan tersenyum. "Sudah dulu, aku tutup ya?"
Dan panggilan pun terputus.
Masih dengan senyumnya, matanya menerawang ke langit-langit, membayangkan wajah Dahyun yang beberapa kali tersipu malu kepadanya.
"Shit! kau benar-benar beruntung, Jim."
•🍒•
Visual Juan Clue:
• Punya lesung pipit
• Member Bangtan
• Jenius
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top