#22. Meet With First Love

•|1085 words|°

"Kau melupakan ibumu tapi kau dapat mengingatku yang hanya orang asing saat itu, bagaimana mungkin?" tanyaku frustasi setelah ibu meninggalkan rumah kami.

Jimin mengacak rambutnya kesal, ia menatapku dengan wajah yang memerah, "Aku tidak tahu! aku benar-benar melupakan semuanya!"

Aku mendengus pelan, "Geureso, kenapa kau tidak menemui dokter Juan? dan siapa dia? kenapa kau tidak pernah membicarakannya padaku?"

"Dia psikiater keluargaku, aku tidak menemuinya bukan karena tidak ingin mengingat semuanya, tapi dia yang melarangku."

Alisku bertaut tidak yakin. "Mwo? "

Jimin mengangguk pelan,
"Kau tahu? semakin aku berusaha mengingat semuanya, semakin aku menderita. Kenangan mengerikan itu selalu menghantuiku." Dia menunduk sesaat, lalu menatapku dengan tatapan yang sulit dibaca. "Aku tidak ingin mengingatnya, luka itu terlalu membekas."

"Tapi apa kau tidak memikirkan keadaan orang tuamu? kurasa mereka juga menderita karena kau menganggap mereka seperti orang asing." Aku mengatakan itu dengan hati-hati. Rahangnya mengeras, ia memainkan jarinya seolah menahan beban yang sangat berat.

"Mereka bahkan tidak berusaha mencariku," ucapnya pelan. Aku tidak dapat mendengarnya dengan jelas, "Apa katamu?"

Dia menoleh, tersenyum kearahku dengan tatapan tidak ingin dibantah. "Aku lelah, bisa kita lanjutkan besok?"

Jimin tidak menunggu jawabanku, ia langsung berjalan menuju kamar tanpa mengucap sepatah kata lagi.

Apa aku salah bicara?

*

Keesokan harinya, aku bangun pagi-pagi sekali—pukul empat pagi, aku telah membereskan rumah dan membuang sampah. Jimin masih di kamar, saat aku kembali dari mini market untuk membeli beberapa kebutuhan rumah yang telah habis.

Alisku bertaut bingung saat melihat sepasang sepatu berwarna hitam yang terlihat asing. Apa ada tamu?

Seorang lelaki dengan kemeja dan topi yang menutupi kepalanya terlihat sedang berdiri memandangi foto pernikahan kami.

Ia memunggungiku, jadi aku berjalan mendekat kearahnya dan bertanya, "Permisi, ada perlu apa anda kemari?"

Dia sedikit tersentak, tapi tak lama ia menoleh dengan senyumannya yang familiar. Tunggu, sepertinya aku mengenalnya.

"Oppa? "

Dia sama terkejutnya denganku, sepertinya aku tidak salah orang. Ini memang dia, Kang Juan, teman kakakku yang hanya berbeda enam tahun denganku.

"Dahyun? jadi—dia itu benar-benar dirimu?" Dia menunjuk foto itu sekali lagi, aku mengangguk. "Heol, daebak. Kau mendahuluiku rupanya."

Aku hanya tersenyum malu sambil menggigit bibir. Sebenarnya, dia ini adalah cinta pertamaku. Hanya cinta monyet anak smp biasa tentu saja, tapi ini pertemuan pertama kami setelah ia memutuskan untuk kuliah di luar negeri.

"Wah ... seharusnya aku datang ke pernikahan kalian," ujarnya dengan raut bahagia. Mataku melotot saat ia meraih tanganku dan menyalaminya, "Ini memang terlambat, tapi selamat! semoga pernikahan kalian bahagia."

Aku mengangguk cepat dan melepaskan genggamannya, tanganku menggaruk tengkuk dengan merona. Ini gila, apa ia barusan menggodaku atau apa, kenapa ia mengecup tanganku setelah mengucap selamat.

"Ah ... oppa, yeogisseo mwohae? " tanyaku mengalihkan perhatian—sekaligus menghilangkan rasa canggung yang menyiksa ini.

"Aku hanya ingin melihat kondisi Jimin, tapi dia masih tidur." Dia melangkahkan kakinya dan duduk di sofa begitu saja, aku mengikutinya dan duduk di hadapannya.

"Jadi... Dokter Juan itu—apa kau orangnya, oppa? "

Dia mengangguk, "Kau harus senang, karena kau telah mengenalku sebelum aku terkenal. Kau tahu, aku begitu terkenal di Amerika sana." Ia menyombongkan diri, aku hanya terkekeh pelan menanggapinya.

"Emm ... sejak kapan oppa jadi psikiaternya?" tanyaku setelah beberapa saat. Dia menatap langit-langit dengan dahi berkerut, "Mungkin dua tahun yang lalu? aku menggantikan psikiater sebelumnya yang telah lansia."

Mulutku hanya mengucap, "oh" tanpa suara. Perhatianku tertarik pada sebuah koper milik Jimin yang bertengger manis di sebelahnya.

"Oppa ... apa itu milikmu?" tanyaku memastikan sambil menunjuk koper itu dengan dagu.

"Oh ini? ini milik suamimu. Aku akan membawanya ke rumahku."

Alisku bertaut bingung. "Untuk apa?"

Dia melipat kedua tangannya di dada, dan menatapku serius sambil bersidekap. "Kupikir kau sudah tahu, kalau Jimin itu pengidap alter ego?"

Aku mengangguk pelan. Dia menatapku penuh selidik, "Apa dia pernah melakukan sesuatu padamu? seperti berteriak, mencekik atau menyakiti dirinya sendiri di depanmu?"

Sebenarnya, aku masih belum mengerti, kemana arah perkataan Juan saat ini, tapi aku hanya mengangguk saja karena ya, Jimin pernah melakukannya sekali.

Dia menatapku khawatir. "Kapan?"

"Dua hari sebelum hari pernikahan."

Dia mendengus tidak percaya, "Dan kau masih mau menikahinya? wah ... sepertinya kau benar-benar menyukainya. Jimin benar-benar beruntung."

Aku hanya tersenyum canggung dan menggaruk tengkuk dengan malu. Sial, sejak kapan Juan berubah jadi menyebalkan seperti ini.

"Kau ingin tahu apa isi koper ini?" tanyanya, memegang koper itu seolah barangnya yang paling berharga. Aku mengangguk dan mengatakan 'ya'.

"Semua ini berisi senjata, kau tahu alat-alat seperti pisau lipat, gergaji besi dan pistol? semuanya ada disini."

Apa?

Jangan bilang....

"Jimin berusaha menyembunyikannya dariku, makanya aku datang kesini pagi-pagi sekali supaya bisa leluasa mencari benda-benda berbahaya seperti ini."

Aku masih terdiam dengan mata kosong. Pikiranku kembali memutar saat Jimin mengiris tangannya tepat di depan wajahku. Buluku meremang saat membayangkan kalau hal-hal seperti itu sering ia lakukan dulu.

"Kau tidak usah takut, asalkan kau tidak membuatnya marah, kau dan Jimin akan baik-baik saja."

Dia tersenyum menenangkanku. Tapi tatapannya langsung berubah heran saat mendapati meja yang masih kosong melompong.

"Kau tidak memberiku makan? atau air? aku tamu disini, omong-omong," ucapnya dengan nada mengejek.

Aku menggerutu, lantas berdiri dan berjalan kearah dapur. Terkadang, Juan bisa berubah menjadi orang yang sangat menyebalkan, tapi justru itulah pesonanya.

Dahyun, ingat kau sudah bersuami, dewi batinku berteriak.

Aku hanya mendengus, mulai menuangkan sirup ke dalam gelas berisi air. Omong-omong, kenapa Jimin belum bangun, padahal ini sudah pukul enam lewat tujuh menit.

Entah aku yang melamun, atau kurang berhati-hati, tanganku tiba-tiba tergelincir hingga gelas itu pecah dan melukai kakiku.

"Ahh! Sakit!" jeritku tertahan.

Juan bergerak cepat, ia membersihkan kakiku dari beberapa pecahan gelas yang menempel di kakiku. Mati-matian aku menahan rasa sakut, tanpa melihat ke arah kakiku. Aku tidak ingin kalau fobiaku tiba-tiba kumat saat melihat darah yang mengalir di kakiku.

"Kau bisa berjalan?"

Aku menggeleng, "Tidak, oppa. Aku bahkan tidak bisa melihat ke bawah. Aku fobia darah."

"Ini harus segera dibersihkan, maaf jika aku lancang tapi aku harus melakukan ini." Tanpa aba-aba, ia menggendong tubuhku ala bridal. Aku sempat kaget, tapi tanganku refleks memeluk lehernya. Dia membawaku ke kamar mandi.

Namun sebelum dia berhasil membawaku kesana, Jimin telah berdiri di depan pintu kamar dengan tatapan datar yang menusuk kearah kami, "Ada apa ini?"

•🍒•

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top