#17. Go, if you can

Tiga Jam, pasca kejadian gila,
dihari ke enam puluh.

°|669 words|•

Samar-samar aku melihat langit-langit kamar bernuansa biru laut. Aku mendesis, hendak mendudukan diri tapi kepalaku tiba-tiba berdenyut.

"Sudah sadar?"

Refleks, aku merapatkan diri ke tembok dan memegang selimut dengan erat saat melihat sosoknya. Kali ini, aku tidak dapat menebak siapa dia dan—aku terlalu takut untuk menatap matanya.

"Ini aku, kau bisa tenang sekarang," ujarnya santai, seolah kejadian mengerikan tadi tidak pernah terjadi.

Aku masih mempertahankan posisiku. "Kau siapa? dan aku ada dimana sekarang?"

"Ini aku, Jim, dan kau sedang ada dikamarnya Jimin."

"Kenapa aku bisa ada disini?"

Ia mendesah pelan. "Kau pingsan."

"Aku baru tahu kalau kau phobia darah," lanjutnya sambil duduk di tepi ranjang.

Oh, aku baru ingat. Beberapa saat yang lalu, Jimin mengiris lengannya sendiri di depan wajahku.

"Aku jadi berpikir, bagaimana saat kau—datang bulan, apa kau juga pingsan seperti ini?" tanyanya, membuyarkan lamunanku.

Aku memukul wajahnya dengan bantal. "Tentu saja tidak! Kau mengiris lenganmu tepat didepan wajahku, wajar saja kalau aku syok! "

"Itu bukan aku." Ia memberengut, mengerucutkan bibirnya lucu. "Bagiku, wajah dan tubuhku adalah segalanya. Aku tidak akan sudi melakukan itu." Ia terus menatap perban di pergelangan tangannya.

Aku mendesah lega, sekarang aku yakin, kalau ia Jim. Ia tidak akan berani menatap mataku jika sedang merasa bersalah.

"Kapan terakhir kali kita bertemu?" tanyaku.

"Saat aku mengantarmu pulang dari sini dan kau merengek supaya aku membawamu kesini lagi." Ia mengucapkannya seringan bulu.

Itu berarti Jimin sudah menguasai tubuhnya kembali saat aku mengikutinya tempo lalu. Mataku melotot saat mendengar ucapan aneh Jim tentang diriku diakhir ucapannya.

"Yak! kapan aku merengek!?"

"Ingatanmu sangat payah, kau tidak akan mengingat—Yak! itu sakit! kau mau membuatnya berdarah lagi?"

Aku menatapnya kesal. Kami baru bertemu lagi, tapi ia selalu membuatku ingin menghajarnya.

Aku jadi ingat, kalau aku tidak pernah seakrab ini jika sedang bersama Jimin waktu itu. Jimin cenderung bersikap manis dan—mesum.

"Jadi—kau baru kembali sekarang?" tanyaku setelah beberapa saat.

"Tentu saja, aku sudah bilang untuk menolak saat ia mengajakmu untuk menikah, tapi kau mengabaikan perkataanku."

"Aku tidak mengira kalau semua ini akan terjadi! kupikir kau hanya sedang bercanda saat itu," ujarku membela diri. "Kalian itu sulit ditebak, sulit bagiku untuk membedakannya."

Itu memang benar, mungkin jika aku tidak menemukan tempat rahasia itu, sampai kapanpun aku akan mengira kalau Jimin itu adalah Jim.

Well, mereka memang ada ditubuh yang sama tapi mereka berbeda. Sangat-sangat berbeda. Dan aku bersumpah, tidak ingin lagi menemui Jimin.

"Dahyun-ah, lihatlah mataku." Aku menatapnya takut-takut.

"Tidak usah takut, kemarilah."

Tuh kan, mereka sama-sama bisa menebak apa yang aku pikirkan. Atau—aku memang gampang ditebak?

Dia berdecak. "Ck, lama sekali."

Tak!

"Aww! sakit!" Aku menatapnya berang.

Ia terkekeh, menyebalkan. "Aku akan melakukan itu saat bertemu denganmu."

"Tapi ini sakit!"

"Lantas kau mau apa? mau ku cium?"

Bugh!

"Mesum."

Kutarik ucapanku barusan. Bukan hanya Jimin tapi Jim juga. Dua-duanya juga mesum.

Jim mencebik, merasa tak bersalah. "Sudah tahu begitu kenapa masih mau menikah denganku? apa kau—menyukaiku?"

"Kau pikir aku menerima pernikahan ini hanya untuk main-main? tentu saja, aku menyukaimu!"

"Ck, aku juga sudah memperingatkanmu untuk tidak mencintaiku."

"Kenapa? karena aku bukan tipemu?"

Jim mengangguk. "Sebenarnya itu juga benar, tapi ada yang lebih buruk dari itu."

"Apa itu?"

"Aku tidak ingin kau terluka."

Jim menatapku lamat, meraih tanganku dan mengelus punggung tanganku dengan ibu jarinya.

"Kau masih punya waktu. Pergilah ke suatu tempat yang jauh—keluar negeri kalau perlu—intinya, kau harus meninggalkan kehidupan Jimin, kau tidak akan aman. Sisanya—termasuk pernikahan kalian—biar aku yang urus."

"Apa yang akan terjadi jika aku menolak?"

"Kau tidak akan selamat."

"Lalu kau?"

Jim menunduk, aku melihatnya tersenyum tipis—seperti menanggung beban yang sangat sulit ia pikul.

Dia kembali menatapku, sambil tersenyum lebar, ia berkata.

"Jangan pedulikan aku. Pergilah sejauh mungkin. Supaya kau selamat."

•🍒•


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top