28

**
 
     Manusia manusia di dalam ruangan itu tampak sibuk sama seperti biasa, nyaris melupakan gadis yang beberapa hari terakhir ini membuat kerusuhan yang kini sedang berjongkok di depan ruang ganti milik Sean. Menggambar entah apa diatas lantai dengan gulungan kertas di jemari lentiknya.

   Gadis bermata bulat keemasan itu terlihat jelas sedang memikirkan sesuatu hingga ia sama sekali tidak menyadari pria yang sejak tadi berpose di bawah sorotan lampu kilat kamera terus mengawasinya.

Menatapnya dengan tajam seolah Tori akan menghilang jika ia memalingkan wajahnya sekali saja dari gadis aneh itu hingga jemari jemari lentik dua orang model cantik menggerayangi tubuhnya.

"Focus, Sean."
    Suara yang terdengar begitu datar itu membuat ia melemparkan delikan tajam  pada pria yang sedang membidiknya di tepi set berlatar putih, mengambil gambar dirinya yang duduk diatas kotak abu abu sementara model yang entah bernama siapa itu melakukan pose sensual di sisi tubuhnya.

"Kau baik baik saja Tori?"
     Suara Helen menghampiri indra pendengaran Ben dan Sean, seperti magnet yang tertarik untuk menoleh dengan cepat saat menyebut nama gadis yang masih berada di posisinya sejak beberapa saat lalu.

"Aku?"

"Kau baik baik saja?"
     Ben menjauh dari kameranya, mendekati Tori dengan kening berkerut saat gadis itu hanya mengangguk pelan seolah tatapan membunuh milik Sean dibalik punggungnya tidak pernah ada.

"Aku tidak apa apa."
 
"Kau ingin ice cream?"
      Tori tampak menimbang, memiringkan wajahnya menatap Sean yang masih berdiri di dalam set tanpa menggunakan atasan sedang menatapnya dengan tajam.

"Jika Sean membiarkanku."

"Tentu saja."

"Apa yang tentu saja?"
     Sean keluar dari set membuat Tori bergegas bangkit, mengambilkan Bathrobe dan sebotol air untuk Sean yang sudah ia siapkan sejak tadi.

"Aku akan keluar bersama Tori."

"Tapi dia Asistenku."
     Sahut Sean dengan dingin, Ben mengangkat alisnya dan tersenyum sinis.

"Aku akan membayar waktuku dengan Tori jika itu perlu Sean."

"Dia-"
    Sean mulai mengeraskan rahangnya membuat Ben tertawa kecil menyadari sesuatu disini.

"Nah Tori, Ayo."

"Ben!"
   Tori menahan lengan Ben yang akan berlutut memunggunginya, gadis itu menatapnya dengan memelas hingga mereka menyadari Helen yang berdiri salah tingkah di antara mereka dan puluhan manusia yang juga sedang menyaksikan perdebatan mereka.

"Persetan, Tori."

"Tapi Ben-"

"Baiklah, Ayo."
    Ben menarik Tori dalam dekapannya, merangkul gadis yang  menoleh sekali lagi pada Sean yang hanya menatapnya dengan dingin sebelum berbalik.

Melangkah lebar memasuki ruang gantinya dengan suara bedebum keras memekakkan telinga.

Apa Sean marah?

Atau..

Tidak mungkin.

**

     Sean mesih mengepalkan jemarinya saat Dev memasuki ruang gantinya dengan setelan jas rapihnya seperti biasa, tersenyum sebelum menghampiri Sean dengan sebuah tas kerja yang ia letakkan dia atas meja.

"Aku harap kau tidak mengecewakanku kali ini Dev."
   Sean memperingati dengan tajam namun Dev hanya tersenyum tipis dan mengeluarkan amplop dan sebuah Laptop di atas meja.

"Lihat ini."
    Sean bergegas membuka amplop coklat tersebut sementara Dev menyalakan laptopnya, sesuatu dalam dirinya jelas sedang berharap banyak dengan apa yang Dev bawa padanya saat ini.

"Ah yah, dimana Tori? Aku tidak melihatnya di luar."

"Entah."
  Sahut Sean sekenanya, keningnya mengkerut dalam saat menatap gambar gambar ditangannya.

Kecelakaan hebat 20 tahun yang lalu hingga merenggut nyawa orang tua Tori.

Gadis kecil yang menangis di lorong rumah sakit dengan pakaian kotor menghitam.

Seorang wanita paruh baya yang tampak memeluk gadis kecil yang tampak tersenyum dengan pakaian yang lebih baik.

"Tori memanggilnya Bunda Tesa, dia yang mengadopsi Tori karna semua identitasnya terbakar saat kecelakaan."
    Dev menjelaskan, Sean kembali menatap gambar yang lain yang kini menunjukkan wanita paruh baya yang terbaring pucat dengan remaja yang menunduk dalam di sisi ranjang rumah sakitnya.

"Saat Tori berumur 15 tahun, Bunda Tesa terkena Kanker dan ia menghilang beberapa tahun lalu kembali dua bulan sebelum Bunda Tesa meninggal."
    Sean mendengarkan dengan baik, menatap lekat lekat gadis cantik dengan rambut terurai berdiri ditengah pemakaman.

"Yang terlihat mencurigakan adalah, uang pengobatan Bunda Tesa yang selalu terpenuhi sementara ia hanya memiliki Tori mengingat ia sendiri tidak memiliki keluarga."

"Kau sudah mencari tahu dari mana uang itu?"
     Tanya Sean  mengalihkan tatapannya pada sebuah gambar yang masih berada dalam genggaman jemarinya.

"Ya, tapi orang kepercayaanku baru bisa mendapatkannya sore ini."

"Kau terlalu lamban."

"Bisa aku melanjutkan penjelasanku, Tuan muda?"
    Sean mendengus seraya bersidekap, menatap Dev yang tak kalah seriusnya dengannya"

"Lalu, beberapa waktu kemudian seseorang melelangnya di sebuah Bar."

"Apa?"
    Sean mengangkat wajahnya, menatap Dev tajam yang hanya menoleh sekilas sebelum kembali terpaku pada layar datar dihadapannya.

"Dia di lecehkan lalu seseorang memberi tawaran besar, pemilik Bar yang menyadari sesuatu juga ikut memberi tawaran dan memenangkan pelelangan itu. "
   Kerutan di kening Sean semakin dalam, tangannya terkepal diatas pahanya saat Dev memutar layar datar Laptopnya ke arahnya.

"Apa ini?"
    

"Gadis bertopeng yang sedang menari itu adalah Tori."

"Oh shit!"
    Sean mengumpat, menggeram kasar dengan rahang yang mengeras melihat bagaimana tubuh molek itu meliuk begitu menggoda disana hingga pria pria di Bar sana sulit mengalihkan tatapannya.

Brengsek!

Apa apaan ini?

"Itu pertunjukan pertama dan terakhir Tori sebelum ia melarikan diri dan membuat beberapa Bar juga semakin tertarik mendapatkannya."

"Lalu bagaimana hidupnya tujuh tahun terakhir ini?"
   Tanya Sean dengan serius, Dev tersenyum dan kembali mengambil alih laptopnya.

"Terus bersembunyi, dari satu tempat ketempat lain. Bekerja paruh waktu di kedai kopi atau di beberapa toko"

Yatuhan.

Siapa yang mengira gadis bernama aneh Tori itu memiliki kehidupan mengerikan ini?

    Sean mengusap wajahnya dengan frustasi, menghela nafasnya berusaha menenangkan denyut mengerikan dikepalanya hanya karna memikirkan Tori yang tanpa ia sadari semakin mempengaruhi hidupnya.

"Lalu, apa lagi?"
    Dev membereskan barang barangnya, menoleh kearah Sean dan tersenyum menyadari ucapan Kendra beberapa saat yang lalu mungkin memang benar adanya.

"Sepertinya cukup, informasi lebih detailnya bisa kau lihat di email mu."
    Sahut Dave dengan mantap, Sean menajamkan tatapannya hingga membuat pria dengan senyum manis itu mengangkat alisnya.

"Kau belum menjelaskan semuanya."

"Tentang apa?"

"Tentang Tori yang menghilang saat Bunda Tesanya sekarat."
    Ucap Sean dengan tajam, Dev menghela nafasnya dan bergegas bangkit dengan tas kerja ditangannya. Sama sekali tidak melepaskan tatapannya pada Sean yang masih menatapnya serius dengan mata tajamnya.

"Bersabarlah, Sean."

"Aku tidak bisa bersabar."
  Dev berdecak pelan, melirik jam yang melingkar dipergelangan tangannya.

"Aku harus kembali ke kantor sebelum Ayahmu mengamuk dan membunuhku."

"Persetan Devian."
    Dev menggumam, berbalik dan melangkah menuju pintu sebelum umpatan Sean membuatnya menoleh dan menemukan pria itu tampak gusar mengingat sesuatu.

"Ada apa?"

"Satu lagi."

"Apa?"

"Ben dan Nando "

**

*

*
Jangan Lupa Vomment
Maaf Typo

Siera.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top