Chapter 8

"Mas tau gak alasan kenapa sifat orang bisa berubah kasar?"

Dean yang tadinya tengah mengecek email di ponselnya setelah mereka memesan makanan, sedikit terkejut mendengar pertanyaan yang datang tiba-tiba dari Teo, ia langsung menutup kembali ponselnya dan kini menatap ke arah sosok di hadapannya sepenuhnya. Mencoba mendengarkan sebaik mungkin masalah yang ingin dibicarakan oleh Teo dengannya.

"Kasar gimana?"

Teo meremat kedua tangannya yang saling bertautan di atas meja, sedikit ragu untuk memberitahu pada Dean tapi dia memang harus memberitahunya jika ingin mendapatkan solusi.

"Semacam memaksa? Kasar atau bahkan sampai berani mukul...." Teo meringis di dalam hati ketika menyebutkan semua hal yang pernah dilakukan Varel kepadanya saat itu. Trauma kecilnya kembali muncul dan membuatnya terlihat agak gelisah di tempatnya duduk. Dean yang memang bekerja dalam bidang penyakit mental pun langsung sadar melihat perubahan ekspresi serta gerak-gerik aneh Teo. Ia sadar jika saat ini ada sesuatu yang mengganggu atau bahkan mungkin menakuti adik tingkatnya tersebut.

"Dia emang udah kasar dari dulu?"

Teo menggeleng lemah. "Dulu dia gak separah itu...," gumamnya agak pelan sambil menunduk. Ketika tersadar dengan ucapannya barusan, pria itu langsung mendongak dan dengan gugup menimpali ucapannya sendiri. "M-maksudnya, ya, orang yang berubah kasar pasti ada alasannya kan?"

Dean menganggukkan kepalanya pelan, setuju dengan ucapan Teo. "Pasti ada faktor yang ngebuat dia jadi kasar kalau emang sebelumnya dia gak pernah kayak gitu," katanya sembari menopang dagu dan mengetuk-ngetuk bibirnya dengan jari telunjuk.

"Lo gak coba tanya langsung ke orangnya? Dia ada masalah apa, barangkali orang itu butuh bantuan."

Teo tertegun sesaat ketika ditanya seperti itu. Padahal niat awalnya dia sama sekali tidak mau menyebutkan bahwa masalah ini bersangkutan dengan dirinya sendiri, dia tidak mau Dean tahu soal itu. Namun sayangnya sepertinya Dean justru sudah lebih peka tentang masalahnya jauh sebelum ia beritahu, Teo menghela nafasnya panjang. Sudah kepalang tanggung, lebih baik sekalian saja dia ceritakan untuk lalu meminta pencerahan setelahnya.

"Dia berubah sejak balik, Mas," ucapnya pelan mengawali ceritanya. Kilasan balik beberapa tahun lalu saat mereka masih SMA pun langsung muncul di pikirannya, bagaimana sikap Varel yang terus berubah menjadi pribadi yang lebih baik namun tiba-tiba menghilang dan menjadi seperti sekarang. Teo menarik nafas samar sebelum melanjutkan. "Gue juga gak tau ada apa, dia sama sekali gak cerita apa-apa. Ditanya pun pasti gak akan mau jawab...." Atau lebih tepatnya, Teo takut untuk bertanya lebih jauh. Ia tidak mau ikut campur dan dia cukup takut berada lebih dekat dengan Varel yang sekarang. Tujuannya bertanya pada Dean bukan untuk itu, ia hanya ingin mencari solusi yang barangkali dapat mengubah Varel seperti dulu.

"Kalian deket?"

"Mungkin? Tapi enggak juga," ujarnya yang ragu dengan jawabannya sendiri. Teo kembali kebingungan harus menjelaskan hubungannya dengan Varel seperti apa, tidak mungkin dia bilang bahwa dulu dirinya adalah 'tawanan' Varel. Teo bisa dipandang aneh jika dia berbicara ambigu seperti itu. "Udah beberapa tahun sejak terakhir kita ketemu, gue cuma sekedar kenal dia aja," timpalnya lagi memberi penjelasan.

Dean tersenyum penuh makna. "Sekedar kenal sampai penasaran kenapa sikapnya bisa berubah, hm?" Mendengar pertanyaan seniornya barusan membuat Teo langsung menunduk, malu karena dirinya ketahuan.

"Jangan terlalu dipikirin, Teo." Suara Dean lagi yang terdengar begitu lembut dan setenang air ketika melihat Teo tetap menunduk dan menghindari kontak mata dengannya. "Di sini sejujurnya gue gak tau siapa yang lagi lo omongin, tapi kalau kalian emang cuma kenalan dan gak sedeket yang gue pikir, rasanya lebih baik gak usah diperduliin. Bukan begitu?

"Ya kecuali kalau kalian emang sedeket itu."

Teo sangat bodoh, kenapa juga dia memberikan jawaban tidak jelas dan berbohong di depan Dean. Pria itu sangat peka terhadap segala hal.

Wajah Teo merona samar-samar, ia masih tidak mau mendongak namun Dean dapat melihat rona kemerahan itu di pipi putihnya. Pria yang lebih tua pun tersenyum kembali.

Makanan mereka datang di waktu yang tepat, segera Teo mengangkat kepalanya dan mengucapkan terima kasih pada pelayan. Begitu juga dengan Dean yang senyumannya masih juga tidak luntur, sepertinya tiada hari tanpa pria itu untuk tersenyum.

"Mas bisa jaga rahasia kan?" tanya Teo yang akhirnya mau bersuara lagi saat mereka sudah selesai menghabiskan setengah makanan mereka.

Dean mengangguk dengan sangat yakin. Sebagai seorang dokter psikolog sudah sepantasnya dia untuk selalu menjaga cerita klien maupun temannya yang tengah membutuhkan bantuannya.

"Gue gak akan bilang ke siapa-siapa kok."

"Makasih banyak, Mas." Teo bisa merasa lebih lega sekarang. Ia pun menghabiskan sisa makanan di piringnya dengan cepat, dia tidak mau kembali ke rumah sakit terlambat karena sudah berjanji pada Samuel. "Biar gue yang bayar," kata Teo ketika melihat Dean yang juga sudah menyelesaikan makanannya baru akan bangkit membayar makan siangnya. Tanpa menunggu jawaban dari Dean ia sudah lebih dulu bangun dan pergi.

"Padahal gue bisa bayar sendiri," kata Dean saat Teo sudah kembali dengan struk pembayaran di tangannya. Teo menggeleng cepat.

"Gue kan yang nyuruh Mas ke sini buat cerita, jadi biar gue bales pake traktiran makan siang," kata Teo yang akhirnya membuat Dean hanya bisa tersenyum pasrah. Padahal pada kenyataannya, meski dia tidak memintanya untuk datang pun sejak dulu Teo memang tipikal orang yang suka mentraktir siapapun.

"Mau langsung balik?"

"Iya, gue takut terlambat ke rumah sakit. Lo tau kan tadi gue udah janji sama Samuel, gue gak mau terlambat."

"Lo gak mau makan malem sama dia ya?" tanya Dean yang menatap ke arah Teo yang ada di sebelahnya sangat penasaran.

Teo mendengus pelan. "Bukan gak mau, tapi gue kenal dia dengan baik. Samuel gak bakal cuma minta makan malem bareng kalau sampe gue telat balik ke rumah sakit, dia pasti bakal minta yang lain juga," balasnya terdengar seperti curhatan kecil, raut wajahnya berubah begitu bercerita soal Samuel. Anak magang yang satu itu memang sedikit heboh dan suka membuatnya kesusahan.

Dean tampak sangat tertarik dengan cerita Teo. "Emangnya dia bakal minta apa?" tanyanya penasaran.

"Dia bisa aja sampe minta nginep di tempat gue," jawab Teo sambil menggeleng-geleng pelan.

Dia jadi ingat awal tahun kemarin ketika Teo yang sudah berjanji mengajaknya bertemu di ruang radiologi untuk menemaninya melihat para pekerja di ruangan tersebut akan melakukan MRI (magnetic resonance imaging)* dan MRA (magnetic resonance angiography)* namun ia tidak bisa menepati janjinya untuk datang karena sedang bertemu dengan dokter anestesi. Hari itu Teo sangat ingat bagaimana seorang dokter berumur dua puluh lima tahun bertingkah seperti anak kecil berumur lima tahun. Samuel merajuk padanya dan meminta berbagai macam hal, dari makan siang, memaksa ditemani ketika sedang melakukan tugasnya, sampai meminta menginap.

Bukannya Teo tidak bisa, hanya saja dia kurang suka ada yang datang ke tempatnya. Selama ini hanya Dika yang benar-benar pernah tinggal di sana, juga orang tua dan Reno yang memang sesekali suka datang berkunjung. Selain itu tidak pernah ada yang menginjakkan kaki di apartemen pribadi tempatnya tinggal.

"Wow, ternyata dia lebih dari yang gue bayangin," kata Dean sambil mengulum senyumannya. Aneh sekali dirinya sekarang, kenapa juga dia jadi tertarik dengan cerita soal Samuel padahal lelaki itu sama sekali tidak menyukainya.

"Emangnya lo bayangin apa?"

"Gue pikir dia sekedar anak magang yang rajin dan periang, sama kayak lo. Kalian mirip kalau diliat sekilas," jawab Dean yang langsung dibalas dengan gelengan kencang oleh Teo.

"Gue sama dia beda banget astaga!"

"Tapi kalian sama-sama periang dan gampang bergaul sama siapa pun," balas Dean yang setengah tertawa melihat respon Teo yang mengelak dengan cepat barusan. "Terkecuali buat gue mungkin, haha. Samuel kayaknya gak suka sama gue."

Teo langsung menoleh ke Dean yang tengah menyetir mobil di sebelahnya. "Gue juga penasaran, kenapa ya dia gak suka sama lo? Padahal kalian gak pernah berantem sebelumnya."

Ingin sekali Dean tertawa kencang mendengar pertanyaan Teo barusan. Bagaimana mungkin dia sendiri bahkan tidak menyadari ada kabut pertarungan diantara dirinya dengan Samuel setiap kali mereka bertemu, dan alasan dari itu adalah Teo sendiri. Jika Samuel tahu dia pasti sudah membuka mulutnya lebar.

"Lo gak tau?"

Teo menggeleng dengan alis yang saling bertautan, masih menatap Dean.

"Kita sebenernya lagi bersaing," jawab Dean sambil melirik ke arah Teo sekilas. Pria itu tersenyum, dengan santai ia melanjutkan ucapannya.  "Kita lagi ngerebutin sesuatu yang special."

"Apa?"

"Rahasia."

Teo menatap Dean penasaran, ia pun mendengus setelah tak mendapatkan jawaban dan kembali menyenderkan punggungnya ke kursi mobil.

"Kalian tuh aneh-aneh aja, segala berantem cuma karena lagi berebutan. Kayak anak kecil," sahut Teo yang kemudian menatap ke luar jendela. Sebentar lagi mereka akan sampai di rumah sakit, Teo sudah sangat familiar dengan jalanan di daerah sini. Sekitar lima menit lagi mereka sudah bisa menghentikan mobil.

"Samuel emang masih kecil."

Teo memutar bola matanya malas. "Anak kecil dengan badan bongsor, iya," katanya dengan menggerutu kecil. Pria itu melipat tangannya di depan dada, tiba-tiba merasa kesal ketika mengingat tubuh Samuel yang sudah mulai tumbuh melewati tingginya. "Gimana coba dia bisa lebih tinggi dari gue, padahal lebih tua gue."

"Lo emang pendek sih," sahut Dean yang mengangguk-angguk setuju.

"Mas!"

Dean tertawa setelah berhasil menggoda Teo. Lucu juga ternyata meledek balik Teo, padahal biasanya pria itu yang lebih sering bercanda dan meledek orang-orang, bahkan Teo pernah mengerjainya.

Mobil berhenti tepat di depan rumah sakit, Dean tidak repot untuk memarkirkan mobilnya sama sekali.

"Mas mau langsung pulang juga?"

Dean mengangguk. "Gue mau balik ke rumah terus ke kantor, masih ada urusan sedikit," katanya.

"Tuh kan gue ngerepotin lo, kenapa gak bilang aja kalau lo sibuk."

"Enggak, Teo." Dean terkekeh pelan. "Gue beneran lagi senggang, gak ada jadwal terapi atau janji temu hari ini di rumah sakit makanya gue mau ke kantor lagi," jelasnya kepada Teo untuk mengurangi kesalahpahaman.

"Yaudah kalau gitu," kata Teo sambil menghela nafasnya samar. "Makasih banyak udah mau dateng, Mas. Gue balik ke dalem dulu," lanjutnya lagi yang lalu membuka pintu mobil dan keluar dari mobil. Dean menurunkan kaca jendela dan melambai sebelum akhirnya menyalakan kembali mesin mobilnya dan pergi.

Teo melirik jam di tangannya sebelum masuk, masih jam setengah dua siang dia bisa tenang karena tidak terlambat sama sekali. Dengan santai ia melangkah masuk ke dalam rumah sakit, tanpa ia sadari sudah ada seseorang yang langsung berlarian ke arahnya begitu sudah melewati meja resepsionis.

"Teo!"

Merasa namanya terpanggil, pria itu pun menoleh dan terkejut ketika melihat Samuel sudah berada di hadapannya sekarang.

"Kok lo di sini?" tanya Teo bingung.

"Pertanyaan lo aneh banget," kata Samuel sambil menaikkan sebelah alisnya. "Gue magang di sini, ya tentu aja gue ada di sini," tambahnya lagi.

Teo menggeleng cepat. "Bukan itu maksud gue," ujarnya. Teo lalu menunjuk ke arah Samuel dengan jari telunjuk kanannya dan berkacak pinggang. "Kenapa lo malah di sini? Emangnya lo gak kerja? Gak dikasih tugas? Jangan bilang daritadi lo emang cuma nungguin gue di lobby?" Tuding Teo yang memincing curiga menatap Samuel, namun respon lelaki itu hanya mengangkat bahunya sekilas.

"Gak boleh?"

"Lo serius nungguin gue di sini?!"

"Enggak lah!" Samuel pergi ke samping Teo dan merangkul bahu pria itu tanpa beban sama sekali. Mereka mengobrol sambil berjalan memasuki lift untuk pergi ke lantai atas. "Dikira gue pengangguran apa."

"Lo emang keliatan kayak pengangguran yang kerjaannya gangguin gue terus," sahut Teo sangat ringan yang membuat Samuel berdecih kesal.

Pria yang lebih dua satu tahun darinya itu langsung melepaskan rangkulan Samuel begitu mereka sudah sampai di depan pintu ruangannya. Ia masuk lebih dulu dan Samuel akan mengekorinya di belakang.

"Tadi lo sama Dean bicarain apa?"

"Gue udah bilang kan itu rahasia," jawab Teo tanpa menoleh sama sekali ke arahnya. Namun Samuel tampak sangat tidak puas dengan jawaban tersebut.

"Lo bilang bakal jawab semua pertanyaan gue pas balik."

"Tapi bukan ini maksud gue astaga," kata Teo yang memijit pelipisnya lelah, dia ingin mengerjakan tugasnya yang sempat tertunda tadi tapi tampaknya Samuel tidak akan mau pergi semudah itu dari sini. Baru akan kembali bicara, pintu ruangan Teo kembali terbuka dan kini sosok Varel yang sudah cukup lama tidak ia lihat belakangan ini pun muncul.

Masih dengan wajah yang dingin pria itu tanpa permisi melangkah masuk dan langsung menghampiri Teo yang masih berdiri di dekat meja, ia melirik Samuel yang juga ada di sini.

"Anak magang?" tanya Varel dengan suara beratnya yang membuat Teo terkejut meski ia sudah sering mendengarnya, bahkan Varel tidak bicara padanya tapi tetap saja mendengar suara pria itu cukup membuatnya terkejut.

"Iya." Samuel sedikit canggung ketika menjawabnya, ini pertama kali ia melihat direktur baru di rumah sakit ini dan berbicara secara langsung sedekat ini. "Siang, Pak Direktur," sapanya kemudian sambil setengah menunduk.

"Kenapa di sini?" tanya Varel lagi.

"Saya ada urusan sama Teo, Pak---"

"Teo?"

"Maksud saya, kak Teo, dokter Teo," ralat Samuel sambil tersenyum kikuk. Aneh sekali atmoster di sekitar mereka saat ini, kedatangan Varel seperti membawa bongkahan balok es besar yang membuat semuanya kedinginan juga merinding.

"Saya juga ada urusan sama Teo, jadi bisa keluar?" Suara Varel lagi seakan bergema di ruangan yang sempat hening beberapa saat. Teo menatap Samuel harap-harap-cemas, kali ini ia berubah pikiran dan berharap Samuel tidak akan pergi dan menemaninya di sini. Teo tidak mau ditinggal berdua dengan Varel demi apapun.

"Saya yakin kamu punya tugas yang bisa kamu kerjain sekarang, ah, atau belum?"

"S-saya punya, Pak," jawabnya cepat hingga sedikit tergagap. Teo meringis samar, bahkan anak seperti Samuel yang biasanya akan keras kepala dan kurang ajar pun tetap saja akan kalah dengan Varel. Samuel menunduk sekilas sebelum akhirnya pergi meninggalkan mereka berdua.

Suasana kembali hening begitu Samuel pergi dari sana, Teo langsung mengalihkan pandangannya ketika Varel kini ganti menatap ke arahnya.

"Kenapa ke sini?"

"Gue direktur di sini sekarang."

Jawaban itu lagi, pikir Teo yang akhirnya hanya bisa kembali pasrah karena tidak ada yang salah dengan ucapan Varel barusan.

"Ada urusan apa sampe direktur rumah sakit mau ketemu sama gue?" tanya Teo kembali yang mengubah kalimat pertanyaannya. Pria itu menelan ludah pahit, bisa-bisanya ia merasa posisinya seakan tergeser padahal rumah sakit ini adalah miliknya.

"Lo udah gak pake bahasa formal lo lagi," jawab Varel yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan pertanyaan Teo sebelumnya. Pria itu terlalu berputar-putar hanya untuk menyampaikan tujuannya datang ke sini.

"Lo juga sama, gue cuma ngikutin lo," kata Teo membalas seadanya yang kini sudah berani menatap sosok di hadapannya, sudut bibir Varel terangkat ketika melihat pria itu terlihat lebih rileks dari sebelumnya.

"Kita mau ngobrol sambil berdiri?"

Teo mengernyitkan dahinya beberapa detik. "Emangnya kita mau ngobrol soal apa?" tanyanya kebingungan, pasalnya ia tak merasa mempunyai urusan soal apapun dengan Varel sekarang. "Maaf, tapi gue punya kerjaan yang harus gue selesaiin sekarang, Pak."

"Terus kenapa tadi lo makan siang di luar sampe jam segini sama orang itu?" tanya Varel yang menaikkan sebelah alisnya, meminta jawaban pada Teo.

Mendengar pertanyaan Varel membuat Teo sedikit terkejut, bagaimana bisa pria itu bisa tahu bahwa dirinya baru saja kembali setelah makan siang bersama Dean? Tunggu, tidak mungkin kan Varel juga tahu apa yang mereka bicarakan tadi?

Dengan gugup Teo menelan ludahnya. "Gue cuma ada urusan sebentar tadi dan kita ngobrol soal pekerjaan," jawabnya. Dalam hati ia terus merapalkan doa agar Varel percaya dan tidak ingin tau lebih jauh lagi, dia tidak mau tertangkap sedang mengurusi urusannya. Tidak ada yang tahu apa bisa dilakukan pria itu jika sampai mengetahuinya.

Varel menaikkan sebelah alisnya, raut wajahnya sama sekali tidak percaya. "Terus kenapa anak magang tadi juga tanya soal itu kalau emang cuma sekedar obrolan pekerjaan?" Pertanyaan kembali ia lontarkan, Teo rasanya seperti sedang berada di ruang introgasi.

"Jadi ada urusan apa sebenernya lo dateng ke sini?" tanya Teo balik yang mencoba mengalihkan pembicaraan yang tidak bisa ia lanjutkan. "Gue beneran masih punya kerjaan yang belum selesai, Varel," katanya lagi menambahkan kemudian menghela nafasnya panjang.

Sepertinya teknik berpura-pura lelah yang satu ini berhasil meluluhkan Varel, karena pria itu sudah tidak lagi menuntutnya dengan pertanyaan seperti sebelumnya. Namun itu masih belum cukup untuk membuatnya pergi dari sini, Varel justru berjalan lebih dekat ke arah Teo. Ketika tangannya baru akan menyentuh puncuk kepalanya, Teo sudah lebih dulu menghindar dan mundur selangkah. Mau tidak mau Varel menarik kembali tangannya.

Namun ia tidak menyerah. Karena setelah tidak berhasil untuk menyentuh kepala, sekarang tangan Varel justru menarik jas Teo hingga tubuh mereka berdekatan satu sama lain. Belum sempat untuk mencoba melepaskan diri, Teo sudah lebih dulu dibungkam dengan satu ciuman di bibirnya.

"Gue cuma mau liat lo," kata Varel setelah ciumannya berakhir. Ia langsung melepaskan Teo tanpa melakukan apapun lagi, pria itu juga pergi keluar dari ruangan setelah selesai mengucapkan satu kalimat yang berhasil membuat Teo terkejut dan membeku di tempat.

To be continued

Catatan kecil:

* Magnetic resonance imaging adalah pemeriksaan yang digunakan untuk menghasilkan gambar organ, tulang, atau jaringan lunak tubuh, termasuk sistem saraf. Dokter menjalankan pemeriksaan MRI guna mendiagnosis penyakit atau luka. Dokter juga bisa menilai seberapa baik pengobatan yang tengah berjalan.

* Magnetic resonance angiography adalah sekelompok teknik yang didasarkan pada pencitraan resonansi magnetik untuk pembuluh darah gambar. MRA digunakan untuk menghasilkan gambar arteri untuk mengevaluasi mereka untuk stenosis, oklusi, aneurisma atau kelainan lainnya.

[ Correct me if I'm wrong please.
Data source from google. ]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top