Chapter 7
Jarum jam di dinding masih menunjukkan pukul enam lewat tiga menit, namun tampaknya pagi itu adalah hari yang sibuk untuk Teo. Ia sudah rapih dengan setelan kemeja biru dongker dan celana hitam panjangnya.
Suara dering telepon pada ponselnya memecahkan keheningan ruang kamarnya pagi itu, dengan sedikit tergesa ia mengambil ponsel miliknya yang tadi tergeletak di atas nakas dan mengangkat panggilan tersebut.
"Halo, Mas?"
Orang di seberang sana tersenyum tanpa Teo ketahui karena mendengar sapaannya yang terdengar begitu lembut di telinga pria itu barusan. Orang yang dipanggil 'mas' itu pun menyahut dengan dehaman pelan.
"Mas jadi ke rumah sakit hari ini, kan?"
"Iya, Teo." Mendengar jawaban tersebut langsung membuatnya bisa bernafas lega. "Tapi gue ada urusan sebentar sebelum ke sana, jadi mungkin sekitar jam sebelas? Gak masalah?"
Teo mengangguk spontan. "Gak apa, Mas," jawabnya cepat bahkan terkesan sangat menggebu-gebu.
Sebenarnya orang yang tengah berbicara dengannya di telepon adalah salah satu senior kenalannya di bidang kedokteran. Namanya Dean, pria berusia 32 tahun yang berprofesi sama sepertinya bedanya Teo berada di bidang dokter bedah sedangkan Dean di bagian psikologi. Mereka cukup dekat untuk disebut hanya sebatas kenalan, beberapa kali Teo dan Dean sering keluar bersama atau membahas masalah pekerjaan bersama. Selain menjadi dokter, Dean juga tengah memegang sebuah perusahaan keluarga milik ayahnya dan urusan yang baru saja ia sebutkan adalah masalah perusahaan. Teo bisa memahami hal tersebut, ia tahu bahwa seniornya tersebut pasti sangat sibuk menggarap pekerjaan kantor sekaligus pasien di rumah sakit, tapi saat ini dia benar-benar butuh bantuan Dean.
Sudah lewat tiga minggu sejak Teo menemukan berkas-berkas milik Varel tempo lalu, namun hingga detik ini bahkan pikirannya tidak pernah teralihkan barang sedikit pun dari hal tersebut. Seberapa kuat ia mencoba untuk mengabaikan, tetap saja ada sesuatu yang mengganggu hati kecilnya. Maka dari itu akhirnya ia memutuskan untuk berbicara dengan Dean yang notabenenya bekerja sebagai dokter psikolog.
"Ada lagi yang mau diomongin, Teo?" tanya Dean yang membuat Teo kembali tersadar bahwa panggilan telepon mereka belum terputus.
"Gak ada, Mas." Seperti sudah reflek ia menggeleng pelan meski kenyataannya Dean sama sekali tidak mengetahui hal tersebut. "Kalau gitu nanti gue tunggu di rumah sakit. Makasih banyak."
"It's okay. Sampai ketemu nanti."
Dengan begitu panggilan telepon mereka pun berakhir. Teo menghela nafasnya panjang, ia tahu mencampuri urusan orang itu sama sekali bukan hal yang bagus. Jika Varel mengetahuinya pasti dia akan marah, tapi Teo meyakinkan hatinya bahwa semua ini ia lakukan untuk dirinya sendiri.
Untuk kenyamanan hatinya sendiri, bukan untuk Varel.
Tidak ada yang berubah sejauh ini, semua tampak sangat normal seperti hari sebelum Varel datang di hidupnya kembali. Teo menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi yang ada di ruangan kerjanya dan menghela nafas panjang, sudah tidak bisa dihitung lagi dengan jari seberapa banyak ia telah menghela nafas hari ini. Rasanya sudah banyak sekali.
Beberapa kali matanya melirik ke arah jam dinding untuk memastikan kapan Dean akan datang, tapi waktu seakan berjalan sangat lambat hari ini.
Pukul 10:46.
Teo merasa sedikit letih, ia memutuskan untuk menghentikan semua pekerjaan dan menundanya sementara karena Dean juga akan datang sebentar lagi.
"Kayaknya mendingan gue ke kantin dan cari kopi dulu," monolognya yang berbicara sendiri. Teo pun bangkit dari kursi kerja dan mencari kopi untuk membuatnya lebih baik.
***
Di lain tempat, Samuel yang memang tengah melaksanakan tugas magangnya hari itu pun tengah berjalan di lorong lantai satu. Lelaki itu baru akan memasuki lift sebelum dirinya tersadar akan kehadiran sosok yang cukup sering dilihatnya, namun sayang hubungan mereka tampaknya sedikit kurang baik.
"Ngapain ke sini?" Nada suara Samuel sama sekali tidak bersahabat ketika bertanya pada sosok itu. Wajahnya bahkan sudah menunjukkan ketidaksukaan secara terang-terangan.
Dean yang merasa diajak berbicara awalnya terkejut melihat kedatangan Samuel, namun senyuman langsung muncul ketika melihat wajah lelaki tersebut. Sudah lama sekali rasanya mereka tidak bertemu.
"Ketemu Teo, dia ada kan?"
"Ngapain cari Teo?" Masih dengan nada yang sama ia kembali bertanya membuat Dean menaikkan sebelah alisnya, tidak bisa lagi menahan tawanya, pria itu tertawa geli melihat Samuel terlihat sangat, eum, judes? Namun juga sangat lucu di mata Dean. Samuel mendengus, terlihat dengan jelas jika ia tak suka akan kehadiran Dean.
"Ada urusan yang gak bisa gue kasih tau ke anak kecil," bisik Dean yang sedikit memajukan tubuhnya agar lebih mendekat pada si anak magang. Kepalanya sedikit menunduk untuk menyamakan wajah mereka, hei, Samuel jadi tampak sangat kecil ketika Dean sudah berada dalam jarak sedekat ini. Padahal tinggi mereka hanya berbeda enam centi.
Samuel yang didekati tiba-tiba pun reflek mendongak dan mengerutkan dahinya, kesal harus berada di jarak sedekat ini dengan om-om yang satu ini. Dean tersenyum samar, tangannya kemudian mengacak rambut Samuel gemas membuat si pemilik rambut semakin kesal dan langsung menepis tangannya kasar.
Dean tentu tidak bodoh, ia sangat tahu apa yang membuat anak magang di rumah sakit milik temannya ini begitu membencinya. Awalnya memang Dean tidak perduli, bahkan ia mengabaikan semua tatapan tajam Samuel setiap ia datang menemui Teo.
Oh, tentu.
Alasan Samuel membencinya karena satu kesalahpahaman yang sempat terjadi diantara keduanya, dan semua ini berhubungan dengan Teo. Dalam sekali lihat Dean sudah bisa menebak jika Samuel menyukai pemilik rumah sakit tempatnya magang dan cemburu pada dirinya yang seringkali menghabiskan waktu berdua dengan Teo jika tengah berkunjung. Bahkan sempat suatu ketika saat Teo sedang mengajarkan sesuatu pada Samuel dan Dean datang, Teo lebih memilih meninggalkannya dan pergi bersama Dean---meski semua itu hanya untuk urusan pekerjaan. Tapi gelora muda di diri Samuel membuatnya terlihat seakan mengibarkan bendera perang.
Perang yang sesungguhnya sama sekali tidak pernah terjadi.
Jika boleh jujur Dean memang sedikit tertarik pada Teo, namun hanya sebatas mengagumi kerja keras dan kegigihan serta sikap ramah ceria yang pemuda itu miliki. Tapi setelah Samuel bersikap seperti itu dan seakan mengajaknya bersaing Dean justru jadi tertarik untuk merebut Teo, sungguh kekanak-kanakan bukan?
"Kalau urusan kita udah selesai nanti, mau makan siang bareng hm, Pak dokter kecil?" suara Dean lagi ketika tak mendapatkan sahutan apapun. Ia sama sekalj tidak berniat meledek, namun sepertinya Samuel lagi-lagi salah paham padanya. Wajahnya berubah merah, lelaki yang lebih muda itu berdecih kemudian berbalik pergi begitu saja meninggalkan Dean tanpa kata-kata.
"Saya ditolak?"
"Makan aja sana sendiri! Gue gak perduli!" jawab Samuel yang sudah kepalang kesal dan langsung berjalan cepat ke arah lift, namun sebelum ia sempat masuk ke dalam lift suara teriakan Dean di belakang tubuhnya langsung membuatnya menoleh dan melotot.
"Ah, padahal niat gue mau makan bareng. Kalau gitu gue makan siang berdua sama Teo aja, kayaknya ada restoran makanan Jepang kesukaan dia di deket sini---"
Sebelum Dean menyelesaikan ucapannya, Samuel sudah lebih dulu berlari ke arahnya dan langsung menarik jas dokter milik Dean. Dia bahkan melupakan fakta bahwa mereka berdua masih di dalam rumah sakit dan siapa saja bisa melihat mereka.
"Lo mau ngapain sebenernya?!" ujar Samuel kembali tersulut emosi membuat Dean terkekeh pelan, dia mencoba untuk melepaskan cengkraman tangan Samuel pada jasnya. Hei, siapa sangka jika anak magang ini memiliki lengan yang kuat.
"Saya lebih tua tujuh tahun kalau kamu lupa, Samuel," balasnya dengan nada setenang air setelah berhasil melepaskan tangan Samuel. Lelaki itu bergeming dan tidak perduli sama sekali dengan perbedaan umur mereka, dengan wajah datar Samuel mundur dan pergi kembali menuju lift. Namun sebelum itu ia menoleh sekilas ke arah Dean.
"Gue yang ajak Teo makan bareng."
"Kita harus bersaing secara sehat, jadi liat aja siapa yang duluan berhasil ngajak," kata Dean yang terlihat acuh tak acuh sambil mengangkat bahunya sekilas. Melihat Samuel yang akhirnya benar-benar sudah pergi tanpa membalas ucapannya barusan, ia pun hanya bisa tersenyum kecil.
"Ah ya, gue harus ke ruangan Teo."
Hampir saja ia melupakan tujuan awalnya datang ke sini karena bertemu dengan Samuel barusan, baginya kedatangan anak itu sungguh menghibur hingga dirinya ketagihan untuk terus meledeknya.
Dua ketukan pada pintu ruangan milik Teo dan langsung terdengar suara sahutan dari dalam tanpa perlu menunggu lama.
"Selamat siang, Teo," sapanya pertama kali ketika pintu sudah terbuka lebar sambil menatap sosok dengan segelas es kopi di tangan kanannya.
"Siang juga, ayo masuk, Mas!"
Teo membuka lebih lebar lagi pintunya, mempersilahkan sang tamu untuk masuk. Mereka berjalan beriringan menuju sofa abu-abu yang memang ada di ruangan tersebut.
"Tadi gue baru abis dari bawah dan beli kopi, tapi karena gue gak tau apa yang biasanya lo minum jadi gue beliin yang sama," jelas Teo yang menyuguhkan segelas kopi panas ke hadapan Dean.
Dengan senyum sopan pria itu menolak. "Gue belum sarapan jadi gak bisa minum kopi," katanya yang membuat kedua mata Teo terbuka lebar.
"Loh, Mas ke sini gak makan dulu?"
"Iya, belum sempet," jawab Dean. "Soalnya tadi gue denger suara lo di telpon kayaknya lagi ada hal yang penting banget mau diomongin, jadi gue langsung ke sini aja," lanjutnya lagi dengan santai sambil tersenyum simpul. Teo jadi merasa bersalah karena sudah menyuruh Dean datang dan seakan menyuruhnya untuk cepat ke sini.
"Aduh, Mas, kok gak bilang sih? Kan gue bisa aja nunggu sebentar," kata Teo yang kini mengernyitkan dahinya.
Dean tertawa pelan. "Santai aja kali, lo kayak sama siapa aja deh sebegitunya."
"Tapi lo jadi gak makan karena gue."
"Bukan karena lo juga," katanya membalas cepat. Dean kembali tersenyum ramah khasnya ketika berbicara. "Gue juga emang gak sempet tadi pagi dan buru-buru ke kantor."
Ucapan Dean barusan sama sekali tidak membuat Teo merasa lebih baik, ia justru semakin tidak nyaman karena sudah merepotkan.
"Kalau gitu kita ngobrol sambil makan aja gimana?" tawar Teo yang akhirnya mencari solusi dan jalan temgah. Dean tampak berpikir sejenak sebelum akhirnya mengangguk-anggukkan kepalanya, tanda setuju. Memang niat awalnya ingin mengajak Teo sekalian makan siang bersama, tadi dia juga sempat bilang itu pada Samuel di bawah, bukan?
"Boleh."
Belum sempat mereka berdua pergi, tiba-tiba pintu ruangan terbuka. Baik Teo maupun Dean kompak menoleh untuk melihat siapa yang baru saja membukanya, namun yang mereka lihat adalah sesosok pemuda berjas putih dengan nametag yang tergantung di lehernya. Pemuda itu adalah seseorang yang baru saja ada di pikiran Dean.
Wajah Samuel yang awalnya tersenyum lebar langsung berubah ketika melihat Dean sudah lebih dulu sampai di sini, ia menatap tak suka pada pria itu tanpa ditutup-tutupi sedikit pun.
"Samuel?"
Suara Teo memutuskan kontak matanya dengan Dean, yang tanpa disadari ia lakukan sejak awal masuk ke dalam ruangan itu.
"Kenapa?" tanya Teo yang kembali bersuara ketika tidak mendapatkan jawaban apapun dari Samuel. "Lo nih kebiasaan banget ya masuk gak pake salam atau ketuk pintu dulu, gue lagi ada tamu," katanya sambil menghela nafasnya samar. Samuel berdecih ketika melirik ke arah Dean yang sekarang sedang tersenyum padanya.
"Tamu apanya."
"Dean ini senior gue, dia juga senior lo kalau lo lupa."
"Gue gak pernah anggep dia senior gue," balas Samuel tak mau mengakui Dean sama sekali. Memang terlihat sangat kurang ajar, tapi bukannya merasa tersinggung Dean justru tertawa geli melihatnya.
"Udah, biarin aja," kata Dean yang menengahi perdebatan kecil diantata keduanya. "Samuel emang suka malu kalau sama gue," katanya lagi dengan percaya diri membuat Samuel ingin sekali menonjok wajah sok tampannya itu barang sekali saja.
"Tetep aja dia gak sopan, padahal Mas lebih tua dari dia," ujar Teo kembali merasa tidak enak. Ia berpikir bahwa ini kebiasaan buruk Samuel karena ketika bersamanya mereka memang tidak pernah memandang senioritas, jadi lah pemuda itu kini berbuat kurang sopan pada Dean. Padahal bukan itu masalahnya!
"Cih, Mas."
"Samuel!"
Samuel mengernyitkan dahinya sekilas, mencoba untuk mengabaikan Dean ia kembali berbicara pada Teo. Padahal niatnya kemari itu untuk mengajak sang pemilik rumah sakit untuk makan siang bersama, seperti perjanjian yang sudah dilakukan oleh mereka berdua sebelumnya.
"Lo udah makan siang?" tanya Samuel, mengalihkan pembicaraan. Teo menghela nafas melihat Samuel tampaknya benar-benar tidak perduli dengan Dean sekarang.
"Belum."
"Kalau gitu ayo makan siang bareng gue," ajaknya langsung masih dengan mengabaikan keberadaan Dean. "Gue mau makan bareng lo, sekalian mau nanya sesuatu soal tugas magang gue.
"Lo bisa kan?" Samuel menatap penuh harap ke arah Teo, membuat yang ditatap sedikit kebingungan. Tingkah Samuel sekarang ini baginya sangat aneh, barusan dia memasang wajah kesal tapi sekarang sudah bisa tersenyum lebar seperti biasanya.
"Maaf, tapi gue mau---"
"Biasanya juga kita makan bareng," timpal Samuel lebih dulu yang memotong ucapan Teo. Dia sedikit menekan kata terakhir sembari melirik Dean dengan ujung matanya, mencoba memberitahu bahwa dirinya akan menang. "Lo mau makan apa?"
Teo jadi bingung memikirkan cara untuk menolak ajaran Samuel barusan, dirinya ingin bicara berdua dengan Dean secara privasi karena tidak mau akan lebih banyak orang lagi yang tahu soal Varel. Tapi wajah Samuel yang seperti anak anjing menggemaskan ketika memintanya makan bersama ini jadi membuatnya tidak tega.
"Maaf tapi gue ada urusan sama Dean, lo makan di kantin sama yang lain aja hari ini," tolaknya membuat senyuman di wajah Samuel menghilang seketika dan tergantikan raut wajah tidak terima.
Tanpa disadari keduanya, sejak tadi masih ada satu orang yang tengah duduk di sofa memperhatikan interaksi keduanya. Dean tampak sangat menikmati bagaimana cara Samuel mengajak Teo bahkan sampai ke ekspresi kecewanya. Kalau boleh jujur, sebenarnya sejak awal Dean sendiri juga sudah sadar jika Teo akan menolak pemuda itu. Tidak mungkin Teo sampai mengajaknya bertemu tiba-tiba setelah sekian lama jika bukan karena ada hal yang penting yang ingin ditanyakan, hubungan mereka biasanya hanya akan sebatas bertanya lewat chat.
Kejam memang, tapi sesungguhnya Dean sengaja membuat 'persaingan' tadi dengan Samuel karena ingin membuat lelaki itu kembali bergerak melawannya. Setiap melihat ekspresi wajah kekalahan Samuel ada rasa senang tersendiri di dirinya.
Tanpa sadar Dean pun tersenyum miring dan melipat kedua tangannya, memamerkan kemenangannya. Sungguh kekanak-kanakan sekali dirinya itu meski sudah berumur kepala tiga.
"Kenapa gue gak boleh ikut?" Samuel menatap Teo tidak terima. "Gue gak akan ganggu obrolan kalian," katanya kembali mencoba meyakinkan Teo agar memperbolehkannya ikut. Namun sayang Teo tetap pada pendiriannya, dia tidak mau Samuel tahu pembicaraan mereka nanti.
"Come on, Sam." Helaan nafas panjang Teo terdengar. "Oke gini aja, kalau lo butuh bantuan gue bakal bantu nanti setelah gue selesai sama Dean. Gue bakal jawab semua pertanyaan lo, jadi tunggu gue oke?" katanya panjang lebar memberikan penawaran yang lain agar Samuel tidak lagi memaksa untuk ikut. Baru saja pemuda itu akan menjawab, namun Teo sudah lebih dulu kembali bersuara.
"Paling lambat gue bakal balik ke rumah sakit sore ini, kalau gue terlambat nanti gue bakal traktir lo makan malem."
Meski awalnya Samuel tampak tidak setuju, namun mendengar kalimat yang terakhir membuatnya jadi sedikit melunak.
"Gue pegang janji lo."
Akhirnya Teo bisa bernafas lega ketika melihat Samuel yang tanpa perlawanan lagi sudah melangkah pergi keluar dengan sendirinya, tentu saja tanpa berpamitan dengan Dean. Dia masih mengabaikan Dean hingga akhir.
"Anak magang di tempat lo lumayan enerjik ya," sahut Dean yang baru mengeluarkan suaranya kembali. Teo hanya tersenyum canggung sebagai balasan. Karena drama singkat di ruangan ini sudah selesai, pria itu pun bangkit dari sofa dan melangkah mendekat ke arah Teo. Dengan senyuman manis yang menenangkan di wajahnya ia kembali bersuara,
"Ayo kita cari tempat buat makan siang."
To be continued
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top