Chapter 6

Harusnya hari ini menjadi hari yang tenang bagi Teo karena sejak pagi tidak ada telepon ataupun pesan masuk dari ayahnya yang menyuruh dia untuk kembali ke kantor. Lagipula perjanjian awalnya Teo hanya disuruh untuk menyetujuinya, bukan untuk mengurus penuh semuanya.

Helaan nafas panjang terdengar, dilihat darimana pun pria itu tampak sangat tidak bersemangat sama sekali.

"Lagi ada masalah?"

Teo menoleh ketika mendengar suara Samuel. "Enggak," jawabnya singkat, ia lalu memaksakan sebuah senyuman agar terlihat lebih baik.

Namun Samuel sama sekali tidak puas dengan jawaban Teo barusan. Pria yang lebih pendek beberapa centi dari Teo itu memincingkan matanya. "Gak usah bohong, kebiasaan," kata Samuel. "Ada apa sih? Perasaan lo akhir-akhir ini aneh banget tau gak?"

Teo melirik ke arah Samuel sekilas kemudian menghela nafasnya lagi, memang sedikit sulit membohongi anak yang satu ini. Rasa penasarannya sangat tinggi.

"Dikit."

"Apanya dikit?" tanya Samuel kembali menuntut untuk jawaban yang lebih lengkap.

"Ada masalah, dikit," kata Teo yang mengulangi kembali jawabannya. "Tapi udah gak apa-apa," tambahnya kembali yang berbohong pada Samuel.

Saat ia akan kembali bertanya, Teo sudah lebih dulu menutup mulut Samuel dengan sebelah tangan. "Ssst, jangan berisik. Mending lo kumpulin ke dokter Hendri rekap yang kemarin deh, keburu diomelin nanti karena kelamaan," kata Teo mencoba untuk mengalihkan pembicaraan. Pembahasan ini sedikit membuatnya pusing jujur saja, apalagi jika mengingat soal Varel.

Dengan begitu Samuel pun akhirnya pergi dari sana tanpa mengajukan pertanyaan lainnya. Teo bisa menghela nafasnya lega sekarang, anak magang yang satu itu rasa ingin tahunya memang terlalu tinggi hingga membuatnya pusing.

***

Bukankah baru saja tadi Teo bilang jika hari ini sangat damai tanpa gangguan apapun? Namun sepertinya kalimat itu sudah tidak berarti lagi sekarang, karena di hadapannya kini tengah berdiri sosok pria dengan jas yang menatap ke arahnya dengan angkuh.

"Kenapa ke sini?" tanya Teo berusaha setenang mungkin berhadapan dengan sosok tersebut. Jujur saja masih ada setitik rasa takut dan cemas setiap melihat wajah pria itu.

Varel menaikkan sebelah alisnya. "Gua yang pegang rumah sakit ini mulai sekarang kalau lo lupa," katanya menjawab. "Gua bisa ada di sini dua puluh empat jam sesuka hati gua." Ingin sekali Teo mencegahnya namun ucapan pria itu tidak ada yang salah, dia memang benar.

Mencoba untuk mengabaikan, Teo pun menunduk sedikit untuk undur diri dari sana. Dua langkah sebelum tangannya dicekal oleh Varel yang menahannya agar tidak pergi.

"Apa?" Teo tahu ini di rumah sakit, dia tidak bisa sembarangan memaki pria di depannya tersebut jadi dia berusaha untuk lebih bersikap sopan.

"Ikut gua."

"Maaf, Pak. Saya gak bisa, masih ada urusan yang harus saya---Varel! Brengsek!" Runtuh sudah pertahanan Teo untuk bertahan tenang ketika dirinya ditarik begitu saja, bahkan tanpa menunggu untuk ia menyelesaikan kalimatnya. "Gue gak mau!" ujarnya menghilangkan bahasa formalnya.

"Teo kalau lo lupa---"

"Jangan ngancem gue!" potong lelaki berjas putih itu menyela ucapan Varel lebih dulu. "Udah cukup gue diem aja dari kemarin karena semua anceman itu, sekarang lo ada di wilayah gue dan gue gak mau dengerin lo. Jadi lepasin sekarang juga!"

Satu hentakan berhasil melepaskan pegangan tangan Varel pada pergelangan tangannya, Teo harus bisa memberontak, dia tidak boleh lemah di bawah semua kuasa yang pria itu miliki. Setidaknya untuk di rumah sakit, Teo ingin mempunyai wilayahnya untuk bebas.

Sayangnya sifat keras kepala juga kasar memang sudah sangat melekat pada diri Varel sejak dahulu, tangannya kembali menarik lengan lelaki itu dan bahkan mencengkramnya sangat kuat hingga membuat Teo meringis.

"Udah balik jadi Teo yang pembangkang, hm?" Nada bicara dan ekspresi wajah Varel ketika mengatakan kalimat itu terlihat setenang air, namun cengkraman di lengan Teo tidak seiras dengan semua itu. "Kayaknya kucing liar kayak lo emang harus selalu dikasarin."

"Sa-kit!"

Padahal baru saja beberapa detik sebelumnya Teo terlihat sangat berani, namun bagaimana bisa sekarang punggungnya bahkan merinding hanya karena bertatapan dengan kedua bola mata kelam milik Varel. Rasanya seperti dikuliti di tempat itu secara langsung, terasa begitu menakutkan hanya melalui kontak mata.

"L-lepas tangan g-gue," ujar Teo agak terbata karena sesak yang tiba-tiba dirasakannya. Dia benci sekali dengan semua ini, dia benci pada dirinya sendiri yang menjadi sangat lemah. Dia membenci Varel.

"Kemana perginya keberanian lo yang tadi, huh? Kenapa sekarang lo gemeteran Teo?"

Harusnya ada perawat, suster, atau siapapun yang lewat untuk dimintai pertolongan. Tapi kemana mereka semua?! Bahkan lorong ini tampak begitu sepi sejak tadi, Teo ingin sekali berteriak dan meminta tolong.

"Ikut gua." Mutlak. Dua kata tersebut kelihatan sederhana namun terdengar penuh dengan penekanan yang tidak terbantahkan.

Teo tidak pernah berhenti menyesali semuanya, sejak awal ia menandatangani surat persetujuan kerja sama kantor ayahnya yang sampai melibatkan rumah sakit, juga pertemuannya dengan Varel. Semuanya terlihat seperti memang jalan takdir, namun tetap saja dirinya menyesali semua yang terjadi kepadanya.

Sekarang tubuhnya didorong hingga terjatuh dan menabrak kaki sofa di ruangan direktur milik Varel yang memang disediakan di rumah sakit ini untuk pria itu. Belum sempat ia menyuarakan kesakitan, kini tangannya sudah kembali ditarik sampai tubuhnya terjatuh dan tertidur di atas sofa.

"Lo mau ngapain?" Teo menatap horor pada Varel yang berdiri menjulang di hadapannya. Cahaya lampu yang terhalang di balik tubuh pria itu memberikan kesan menakutkan baginya.

Senyuman miring Varel menambah ketakutan Teo, ia menunduk dan memenjarakan tubuh sang dokter dengan kedua tangannya. Teo hanya terdiam, di dalam hati ia terus merapalkan doa untuk keselamatannya. Perlakuan kasar pria itu sebelumnya masih terus membayanginya.

"Kenapa gak berontak lagi?" tanya Varel yang melihat keterdiaman Teo, menyadarkan lelaki itu dari lamunannya. "Padahal kalau lo berontak gue makin tertantang."

Bagaimana bisa Teo menantang maut berbentuk manusia seperti Varel. Ya, kecuali dia sudah kehilangan kewarasannya.

"Mau lo apa sebenernya, Varel?" Teo mengernyitkan dahinya, menatap sosok yang hanya berjarak dua jengkal di depan wajahnya dengan tatapan tidak mengerti. "Kenapa lo harus repot ngejar dan nyakitin gue terus dari dulu? Sampe lo bahkan nyeret perusahaan Papa dan rumah sakit ini, maksud lo apa?

"Apa salah gue sebenernya?" tanyanya menatap nanar. Varel diam beberapa saat, wajahnya berubah menjadi sedingin es.

"Gak ada."

"Varel brengsek." Lupakan janjinya pada Dika untuk tidak lagi mengumpat dengan kata kasar, karena Teo benar-benar ingin memaki Varel sekarang. "Bajingan, lo cuma mau ngancurin hidup gue kan!? Kenapa lo gak pergi selamanya aja dari hidup gue? Kenapa lo harus balik lagi ke sini setelah sekian lama kalau cuma buat ngelakuin semua ini ke gue. Gue benci lo.

"Gue benci lo, Varel!" teriak Teo yang lalu melemparkan pukulan ke arah Varel hingga membuatnya terhuyung dan menyingkir dari atas tubuhnya.

Tatapan Varel semakin dingin, ia bangkit dan mencengkram wajah Teo hingga tulang pipinya terasa sakit karena ditekan begitu kuat.

"Lo mau gue pergi selamanya?" tanya Varel dengan suara rendah, menatap kedua netra milik Teo yang sudah bergetar ketakutan. Pria itu mendekatkan wajahnya hingga kedua bibir mereka hampir bersentuhan.

"Sayangnya gua gak akan pergi dari lo—" Smirk yang Varel tunjukkan membuat bulu kuduk Teo meremang merasakan hawa dingin yang sesungguhnya hanya ilusi. "—selamanya."

.

.

.

Teo menutup wajahnya dan menangis. Dia tidak suka mengakui bahwa dirinya lemah, namun kenyataan memaksanya untuk menjadi lemah. Varel sudah pergi dari ruangan itu sejak beberapa menit yang lalu tanpa melakukan apapun, namun Teo masih belum juga beranjak dari sofa. Kakinya seakan lemas hanya untuk sekedar bangkit dari pergi dari sana.

Setelah sekitar sepuluh menit menenangkan diri, lelaki itu akhirnya bangun. Namun langkahnya terhenti ketika melihat sebuah map tergeletak di lantai, dekat tong sampah. Awalnya ia hanya ingin mengambilnya untuk memeriksa apakah itu dokumen penting atau hanya sekedar sampah, namun kedua matanya langsung melebar ketika membacanya.

"Varel ... sakit?" Teo tahu jika tidak sopan membaca tanpa izin, namun rasa penasaran membuatnya nekat hingga membaca keseluruhan isi dokumen tersebut.

Dia tidak pernah tahu jika Varel memiliki suatu masalah sampai-sampai harus pergi ke dokter psikiater. Teo mencoba mencari tahu, namun sama sekali tidak tertulis di sana masalah yang terjadi hingga menyebabkan pria itu harus pergi ke dokter psikiater secara rutin. Apakah dia sakit? Atau sedang memiliki masalah berat? Apa semua sifat kasarnya itu ada hubungannya dengan ini?

Berbagai pemikiran bercabang di otak Teo, tanpa sadar ketika ia membalik kertas tersebut sebuah amplop putih jatuh.

"Amplop apa lagi ini?" monolognya pada diri sendiri.

Ada surat pengadilan luar negeri berbahasa inggris di dalamnya kali ini. Teo mengernyitkan dahinya bingung, tidak mengerti sebenarnya ada masalah apa yang tengah mengelilingi Varel saat ini. Pria itu terlalu misterius apalagi setelah kepergiannya beberapa tahun lalu. Baru akan membaca lebih lanjut, tiba-tiba surat di tangannya direbut begitu saja oleh seseorang yang baru masuk ke sana.

"Lo belom pergi daritadi?" Varel menatap datar ke arah Teo, tangannya sibuk meremas kertas yang sebelumnya ia rebut dan menghancurkannya dengan cepat.

"Itu surat apa?" ujar Teo yang justru balik bertanya. Kedua alisnya saling bertautan, menatap ke remukan kertas di tangan Varel penuh tanda tanya dan sedikit rasa khawatir. "Pengadilan? Psikiater?" Suaranya sangat pelan, bergumam.

"Bukan apa-apa."

"Varel, sebenernya ada apa?" Tidak seharusnya Teo bertanya seperti itu, semua ini bukan haknya untuk tahu. Lagipula dia tidak boleh menyelam terlalu dalam ke kehidupan pria yang bahkan hampir merusak hidupnya tersebut. Tapi hati kecilnya berkata lain, jujur dirinya penasaran dan merasa khawatir saat ini. Bagaimana pun, sebelum mereka menjadi seperti ini dulu mereka sempat berteman.

"Lo sakit...?"

"Bukan urusan lo, Teo," jawab Varel pelan, walau kalimatnya terdengar kejam namun tatapan matanya justru tersirat kesedihan.

"Tapi Varel—"

"Teo," panggil Varel cepat memotong ucapan lelaki itu sebelumnya. Ia melempar kertas yang sudah tak berbentuk di tangannya ke tong sampah tanpa mengalihkan pandangan dari Teo sedikit pun. Pria itu ganti merampas map yang dikirimkan oleh dokter psikiaternya pagi tadi.

"Keluar dari ruangan gua sekarang."

Teo hanya bungkam dan menutup mulutnya rapat, tanpa mengatakan apapun lagi ia pun pergi keluar dari sana meski hatinya belum merasa puas. Dia tidak mengerti mengapa harus merasa seperti ini, namun yang jelas dia butuh pendapat. Teo akan mengunjungi seseorang nanti untuk bertanya.

To be continued

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top