Chapter 5

Hari ini seperti biasa Teo masuk dan menjalani aktifitasnya seperti biasa di rumah sakit, yang berbeda adalah kakinya yang berubah menjadi sangat lemas sejak dua hari yang lalu setelah ia 'melakukan itu'. Teo sempat tidak masuk sehari karena syok dan tubuhnya pun terasa sakit di hampir seluruh bagian, namun yang bisa ia lakukan hanya diam.

Ucapan Varel terngiang di kepalanya, sebuah ancaman yang menakutkan bagi Teo sendiri. "Gue bisa hancurin rumah sakit ini. Karir rumah sakit dan perusahaan ayah lo ada di tangan lo sendiri, Teo. Orang-orang miskin yang lo tolong gak akan bisa lagi.

"Buat rumah sakit untuk nolong mereka? Ngebiarin mereka bayar seadanya dan dapat perawatan yang baik? How kind of you, Teo," ucapan panjang Varel tersebut membuat Teo benar-benar takut akan ancaman tersebut.

Kepalanya terasa sakit setiap mengingat hal tersebut. Teo menaruh kepalanya di atas meja dan menghela nafas panjang, berharap bahwa semua ini hanyalah bunga tidur yang menyeramkan di hidupnya. Namun sayangnya ketika Teo sudah kembali mengangkat kepala, semua masih tampak sama tidak ada yang berbeda.

Ada email masuk ketika ia mengecek laptop, Teo langsung menelan ludahnya susah payah ketika melihat nama pengirim email tersebut. Ia tidak ingin membukanya, Teo masih sedikit trauma dengan pria itu.

Klik!

Begitu ia buka, sebuah email tanpa pesan apapun terlihat olehnya dikirim oleh Varel. Ada satu file yang dikirim oleh orang tersebut, Teo pun mengunduhnya dan membukanya dengan hati-hati.

Matanya terbuka lebar ketika melihat isi file tersebut, ia reflek menutup mulutnya. Ada dua video yang menampilkan dirinya yang hanya memakai kemeja putih---video tersebut membuat memori menakutkan Teo kembali terangkat.

Bodohnya Teo, ia justru memutar video itu. Saat itu ia tidak menyadari jika Varel merekamnya, matanya bahkan sedang terpejam di video itu. Tubuh Teo merinding ketika melihat lubangnya sendiri padahal waktu itu ia sama sekali tidak bisa melihatnya, cairan putih keluar dari sana membuatnya langsung menutup laptop cukup kuat. Jantungnya berdetak cepat.

"Sial, sial, sial." Teo menjambak rambutnya dengan kedua tangan, ia ingin sekali berteriak namun sadar akan tempatnya sekarang. "Kenapa waktu itu gue gak berontak sekuat tenaga?" Teo mengomeli dirinya dengan frustasi. Ia juga menyesali bagaimana dirinya sempat menikmati semua itu.

"Teo bego!"

Jika Dika ada di sana, pasti Teo tidak akan bisa berkata kasar seperti itu. Dika pasti akan memarahinya, namun tidak ada Dika sekarang dan Teo ingin memaki dirinya.

Suara pesan masuk mengalihkan perhatian Teo, namun begitu membaca pesan yang dikirimkan oleh Varel ia kembali mengumpat.

"Varel brengsek."

***

Seharian ini Teo jadi seperti orang linglung, pikirannya tidak bisa fokus pada apapun. Bahkan pekerjaannya jadi tidak ada yang selesai sama sekali, semua berantakan.

Pikirannya masih tertuju pada video yang diberikan oleh Varel sebelumnya. Entah kerasukan apa tiba-tiba Teo merinding, ada hal yang mengganjal di bagian selatannya.

"Apa yg salah sama lo, Teo?! Kenapa---agh, kenapa lo bangun...," kata Teo yang bicara pada dirinya sendiri. Ia menepuk kedua pipinya kuat, mencoba untuk menyadarkan dirinya.

Ada telepon masuk, bukan dari ayahnya tapi nomor yang tidak dikenal. Nomor siapa lagi ini?

"Dateng ke tempat gue sekarang," kata suara itu. Suara orang yang sedang dipikirkan oleh Teo, Varel. Mengapa ada nomor lain lagi sekarang? Apakah pria itu memiliki banyak nomor?

"Teo."

"M-mau apa?" tanya Teo dengan suara gugup. Jujur saja ia masih takut untuk berhadapan dengan Varel sekarang. "Gue masih ada kerjaan di rumah sakit."

Varel tertawa mengejek. "Gua tau semua jadwal lo, Teo. Gak usah kasih alasan konyol. Just come to my house, now," kata pria itu menekankan akhir katanya.

"Kalau lo berani kabur, gue pastiin video itu udah kesebar di detik itu juga. Lo tau itu bakal berefek besar sama perusahaan ayah lo dan juga rumah sakit lo. Gak mungkin ada pasien yang mau dirawat sama dokter mesum kayak lo, Teo."

Rentetan kalimat bernada ancaman itu membuat Teo menelan ludahnya kasar, ancamannya kali ini terdengar sangat serius.

"I-iya." Teo merutuki dirinya yang tergagap ketika berbicara dengan Varel walau hanya melalui sambungan telepon. Dia jadi terlihat sangat lemah, tidak, Teo tidak boleh seperti itu di depan Varel. "Gue ke sana."

Sambungan telepon terputus begitu saja setelah itu, Teo mendesis pelan dan langsung mengacak rambutnya. Tidak tahu apa yang akan terjadi padanya setelah ini, namun Teo harus mempersiapkan diri dan mentalnya untuk bertemu dengan Varel lagi.

***

Teo menatap bangunan di hadapannya dan menelan ludahnya, bayangan kejadian sebelumnya langsung memenuhi otaknya dan membuatnya merinding sekilas. Padahal dia sudah meyakinkan diri sebelumnya bahwa semua akan baik-baik saja, tapi saat sudah berada di depan pintu masuk rasanya trauma kecilnya langsung muncul.

Ia mengirim pesan pada Varel, menyebutkan bahwa dirinya sudah berada di depan. Tanpa mau repot untuk menemuinya di depan pintu, Varel menyuruh Teo untuk masuk seoeang diri.

Ketika pintu dibuka Teo bisa melihat seorang pelayan lewat dan menatapnya terkejut.

"Ah, selamat sore...," ujarnya dengan senyuman sopan. "Ada Varel?" tanya Teo kemudian yang urung masuk begitu saja.

Sang pelayan menunduk sedikit pada Teo, hanya orang terdekat yang bisa memanggil Tuannya dengan nama depan, maka dari itu pasti Teo adalah orang dekat. "Tuan ada di ruang kerja, mari saya antar," katanya sambil mempersilahkan Teo masuk.

Pria itu diantar ke sebuah pintu di arah barat, setelah mengucapkan terima kasih Teo pun langsung mengetuk pintu itu. Dari dalam hati ia terus merapalkan doa dan kata-kata penenang untuk dirinya sendiri.

"Masuk."

Teo membuka pintu perlahan, ada Varel di dalam sana tengah duduk di sofa dengan laptop dan banyak berkas di hadapannya. Jantung Teo berdetak lebih cepat ketika tatapan mereka berdua bertemu.

"Ngapain diri doang di situ?" tanya Varel dengan sebelah alis yang terangkat. Teo pun langsung segera melangkah masuk dan menutup pintunya.

Sekarang Teo bingung harus apa.

"Kenapa lo suruh gue ke sini?" tanya Teo. Sebisa mungkin untuk terlihat santai walau pikirannya sudah waspada.

Varel melirik Teo sekilas lalu fokus pada laptopnya kembali. "Duduk sini," perintahnya sambil menepuk tempat di sebelahnya. "Gua nyuruh lo ke sini buat bantu kerjaan gua."

Mulut Teo terbuka sedikit. Kenapa juga Varel harus meminta bantuannya sedangkan Teo bekerja di rumah sakit bukan di perusahaan. "Tapi itu tugas sekretaris lo?"

"Terus?"

"Gue dokter kalau lo lupa," kata Teo sambil mengernyitkan dahinya. "Gue gak kerja di perusahaan, gue cuma bantu bokap gue."

Tubuh Varel mundur hingga bersandar pada belakang sofa. "Kalau gitu bantu gua kayak lo bantu bokap lo itu," jawabnya tidak mau kalah dengan Teo. "Gak usah banyak omong dan duduk aja di sini." Tangan pria itu menarik Teo hingga terjatuh dan akhirnya duduk di sebelahnya.

Beberapa waktu kemudian semuanya tampak sangat normal, tidak ada tanda-tanda Varel akan melakukan itu kembali kepadanya. Bahkan pria itu seperti tidak menggubris kehadirannya, lalu untuk apa Teo berada di sini jika hanya disuruh untuk menonton Varel yang tengah bekerja.

Teo melirik ke samping dan melihat bagaimana wajah Varel yang sangat serius dan sesekali mengernyit samar, ia lalu melirik ke arah laptop namun sejujurnya Teo sama sekali tidak paham apa yang tengah dikerjakan oleh Varel. Dia tidak terlalu mengerti soal urusan kantor seperti ini.

Makin lama Teo merasa mengantuk hingga tanpa sadar ia menguap kecil dan memejamkan mata, namun tidak tidur sepenuhnya. Hanya duduk dan memejamkan mata untuk meredakan rasa kantuknya, tapi sebuah ciuman tiba-tiba mendarat di bibirnya membuatnya reflek dan langsung membuka mata.

"Sleepy, huh?"

Teo mundur dan menutup mulutnya. Rasa kantuknya hilang begitu saja setelah Varel berhasil mencuri satu ciuman pada bibirnya.

Sialan, umpat Teo dari dalam hati.

Varel kembali fokus pada pekerjaannya setelah itu, meninggalkan Teo yang dilanda kebingungan. Tidak tahu harus apa, Varel bertingkah sangat aneh namun di satu sisi ia terlihat sangat ... soft padanya?

"Sebenernya gue di sini buat apa?" tanya Teo yang akhirnya kembali bersuara. "Gue gak bantu lo apa-apa dan cuma duduk di sini." Mendengar suara Teo, Varel menoleh kembali ke arahnya.

"Lo bantu gua," jeda sejenak, Varel menegakkan punggungnya. "Buat nemenin kerjain ini semua," lanjutnya. Sebelum Teo akan menjawab suara Varel sudah kembali terdengar, pria itu memajukan tubuhnya ke arah Teo. "Kalau gue mulai capek ada lo di sini buat hibur."

Teo sama sekali tidak paham maksudnya, menghibur apanya jika dia hanya duduk diam seperti patung sedaritadi.

Seperti dapat membaca raut wajah kebingungan Teo, Varel terkekeh pelan. Ia makin mendekat dan satu ciuman kembali didapatkan oleh Teo, kali ini agak berbeda karena Varel semakin menekan tubuh Teo dan melumatnya dengan lihai.

Kedua tangan Teo reflek berada pada bahu Varel, berencana untuk mendorong tubuh itu namun justru tubuhnya yang terjatuh ke sofa karena dorongan tubuh Varel. Posisinya terkukung oleh tubuh besar Varel di atasnya, Teo langsung merasakan adanya bahaya.

Varel menghisap bibir bagian bawah Teo dengan kuat hingga membuat pria di bawahnya ini melenguh pelan dan membuka mulut, di saat itu pula ia mengambil kesempatan untuk menelusupkan lidahnya dan menginvasi seluruh isi mulut Teo, mengajak lidahnya beradu. Lagi-lagi Teo tidak bisa mengimbangi permainan Varel dan kewalahan.

Ciuman itu terlepas beberapa menit kemudian ketika Varel merasakan tidak ada balasan atau perlawanan apapun dari Teo yang sudah terengah-engah. Senyuman kecil muncul di wajah Varel ketika melihat Teo yang tidak berdaya seperti sekarang, rasanya seperti ada rasa puas tersendiri saat ia berhasil menaklukan pria yang dikenalnya sebagai orang yang keras kepala dan keras.

"Begitu cara lo jadi hiburan gue," bisik Varel di depan wajah Teo ketika pria itu sudah membuka matanya.

Varel bangkit dan berdiri, ia merapihkan jasnya dan melangkah ke meja kerjanya yang ada di dalam ruangan itu. Teo pun bangun dengan wajah yang memerah karena sempat kehabisan nafas.

"Lo boleh pulang," kata Varel tanpa menatap ke arah Teo sedikit pun. Pria itu kembali sibuk dengan berkas yang ada di atas meja kerjanya.

Tanpa harus diperintah dua kali Teo segera mengambil tasnya dan pergi dari sana. Ia ingin sekali memaki Varel tapi lebih baik jika dirinya pergi dari sini secepatnya, Teo tidak mau berada di dekat Varel lebih lama lagi.

To be continued

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top