Chapter 3
Teo menatap pantulan dirinya di depan cermin. Ini sudah hari ketiga, namun bekas kemerahan di lehernya masih terlihat dengan jelas membuatnya hanya bisa menghela nafasnya panjang. Hari ini terpaksa Teo akan berangkat ke tempat kerja dengan turtleneck lagi, dia tidak mungkin menunjukkan bekas kemerahan itu secara terang-terangan selama di rumah sakit.
"Pak dokter!"
Merasa namanya disebut, Teo pun menoleh ke sumber suara. "Pagi, Samuel," sapanya dengan senyuman. "Tumben jam segini udah di rumah sakit duluan? Biasanya ngaret."
Samuel mencibir ketika mendengar ucapan Teo. "Baru ngaret tiga kali padahal, serasa udah ngaret setiap hari!" Samuel berjalan beriringan bersama Teo dan masuk ke dalam lift.
"Belakangan ini kayaknya lo pake daleman itu terus?" Samuel menoleh ke arah Teo dan melirik ke arah turtleneck yang dikenakan oleh pria itu. "Lo sakit beneran ya?!" terkanya yang langsung berpindah dan berdiri di depan Teo.
Teo tersenyum kikuk dan mengangguk kecil. Mau beralasan apalagi memangnya selain sakit? Hanya itu yang paling logis dan mudah dipercaya.
Kedua bola mata Samuel langsung membulat. "HAH! Kok malah masuk kalau sakit sih lu?!" omel Samuel yang berubah cemas. "Gue periksa sini!"
"Apaan sih," balas Teo sambil mendorong dahi Samuel yang baru saja ingin mendekat dengan jari telunjuknya. "Gue juga dokter, gue bisa cek kondisi gue sendiri," katanya lagi kemudian.
TING!
Pintu lift akhirnya terbuka dan Teo segera pergi keluar dari sana sebelum Samuel mengintrogasinya lebih lanjut. "Sana ke tempat anak magang, gue mau ngurus berkas pasien!" katanya kemudian berjalan meninggalkan Samuel yang masih di dalam lift begitu saja.
Ia bisa bernafas lega ketika melihat Samuel benar-benar tidak mengikutinya sampai ruangan. Teo harus segera menghilangkan bekas itu atau akan makin banyak orang yang sadar lalu bertanya lagi kepadanya.
Begitu sampai di ruangannya, Teo langsung duduk di kursi miliknya dan bersandar. Kepalanya tiba-tiba terasa pening, apa ini karena sejak kemarin ia terus berbohong? Dia jadi sakit sungguhan? Astaga, Teo tidak ingin sakit untuk sekarang. Masih banyak pasien dan pekerjaan lainnya yang harus ia urus.
Suara ketukan di pintu terdengar ketika Teo baru saja membuka laptopnya.
"Iya, silahkan masuk!"
Sosok Dika muncul dari balik sana begitu pintu dibuka. "Selamat pagi, Pak Dokter," katanya kemudian masuk ke dalam dan menutup pintu kembali. Dika datang seorang diri dengan membawa tas tenteng kecil. "Lagi sibuk, Pak?"
"Astaga, Dika! Gue kira siapa." Teo langsung bangkit dari kursi dan menghampiri Dika, ia memeluk sahabatnya dengan singkat. "Lo kok dateng tiba-tiba, tumben banget. Ada apaan nih? Kangen gue ya?" tanya pria itu secara beruntun lalu tertawa. Dika memutar bola matanya malas.
"Ya siapa coba yang dihubungin gak pernah bales?" tanya Dika balik. "Gue ke sini karena mikir lo sibuk banget sampe gak bales pesan gue sama sekali dari beberapa hari yang lalu. Gue khawatir lah."
Benar juga. Teo seperti lupa bahwa dirinya memiliki ponsel belakangan ini, padahal waktu itu Samuel sudah memberitahunya jika Dika mencoba menghubungi tapi dia lagi-lagi lupa untuk mengecek ponsel. Kegunaan ponselnya kini hanya untuk menerima panggilan dari ayahnya mengenai pekerjaan kantor---astaga Teo langsung teringat dengan Varel jika sudah menyebut 'kantor'.
"Teo?" Dika menyentuh lengan Teo, mencoba menyadarkan pria itu dari lamunannya. "Lo kok diem? Lagi sakit?" tanyanya sambil mengernyitkan dahi. Tatapan Dika lalu tertuju pada pakaian yang Teo kenakan.
Teo tersentak dari lamunannya, dengan wajah tanpa dosa ia terkekeh geli. "Duduk dulu kek, capek nih berdiri terus," katanya yang langsung menarik tangan Dika untuk duduk di sofa yang ada di dalam ruangannya tersebut.
"Bawa apaan tuh?" tanya Teo sambil melirik ke tas tenteng yang dibawa oleh Dika.
"Oh?" Dika baru sadar jika ia membawa sesuatu untuk Teo sebelum kemari. "Ini sarapan, gue tadi masak. Lo udah sarapan belom?"
Teo menggeleng.
"Dih, udah gede masih aja lupa sarapan," omel Dika sambil memukul lengan Teo pelan dan menggeleng-geleng kecil. "Yaudah gih ini, buruan makan dulu sebelum kerja."
"Iya sayang," balas Teo sambil mengedipkan sebelah matanya lalu tertawa.
"Teo! Gue aduin ke Reno nih," ancam Dika yang kesal karena Teo justru bercanda, padahal dia sudah sangat khawatir sampai rela datang ke rumah sakit pagi-pagi seperti ini.
Teo hanya mencebik ketika mendengar ucapan Dika barusan. "Galak banget lu, mentang-mentang ada yang belain sekarang," kata Teo yang membuat Dika kembali memukul lengannya.
"Makan buruan."
"Iya, iya. Ini makan."
Setelah itu mereka pun mengobrol seperti biasa, membahas hal apapun seperti bertanya soal hubungan Dika dengan Reno, juga soal pekerjaan Teo saat ini. Teo memakan masakan Dika dengan nikmat, rindu sekali rasanya ia merasakan masakan sahabatnya ini. Sejak Dika pindah ke apartemen Reno, Teo sudah jarang merasakannya.
"Teo, lo sakit?" tanya Dika. Oh tidak, pertanyaan yang sedang dihindari oleh Teo. Sekarang Dika justru bertanya tentang itu kepadanya.
Senyuman kecil terlihat di wajah Teo. "Gue sehat, gak liat ini gue ngabisin makanan dari lo?" jawabnya. Dalam hati ia sangat berharap Dika tidak bertanya soal itu kembali, tapi nyatanya Dika tetap kembali bertanya.
"Lo gak bohong?"
Teo menelan ludahnya. Benar sekali, mereka sudah bersahabat sejak beberapa tahun yang lalu dan itu bukan waktu yang sebentar untuk bisa mengenali satu sama lain. Dika bisa sadar jika ada sesuatu yang sedang mengganggu pikiran Teo.
"Gue gak bohong, gue beneran sehat," katanya jujur. Memang Teo tidak sakit, hanya saja ada sesuatu yang sedang membuatnya tidak tenang. "Gue cuma, lagi ada yang dipikirin."
Dika menatap Teo serius, seakan paham tentang sesuatu. "Terus kenapa lo pake baju kayak gini? Buat nutupin kissmark-nya?" tanya Dika terus terang membuat Teo langsung menoleh dan menatapnya terkejut.
"L-lo tau darimana?"
"Keliatan," balas Dika. Ia menunjuk ke bagian tempat bekas kemerahan itu berada. "Pas lo nunduk buat makan tadi keliatan jelas," katanya lagi kemudian menghela nafasnya.
"Siapa yang ngelakuin?"
Teo menatap ke arah Dika dengan tatapan yang sulit untuk diartikan, sejujurnya ia ragu untuk memberitahu Dika, tapi sudah kepalang tanggung. Dika juga sudah melihatnya. "Lo gak bakal percaya kalau gue bilang," jawab Teo.
"Kenapa gitu?"
Helaan nafas panjang terdengar di sebelah Dika, Teo mengalihkan pandangannya dan menatap ke depan. "Dia udah balik, Dik."
Dika tidak mengerti kemana arah pembicaraan Teo, dia tidak mengerti siapa yang pria itu maksud. "Dia siapa maksudnya?" tanyanya.
"Varel," kata Teo agak pelan. Teo menoleh kembali ke arah Dika untuk melihat reaksi sahabatnya. "Varel udah balik, dan gue gak bisa kabur lagi sekarang kayaknya.
"Dia ... ngikat gue lagi, kali ini Varel juga nyeret pekerjaan gue dan kantor Papa. Gue bener-bener gak bisa kabur, Dika."
***
Setelah menceritakan semuanya kepada Dika, Teo merasa sedikit lega. Dika sangat terkejut saat mendengarnya tadi, hanya saja sebisa mungkin dia tidak membuat Teo semakin merasa takut dan berakhir dengan Dika yang memberikan semangat dan beberapa peringatan untuk Teo kemarin.
Hari ini Teo harus bisa kembali bersemangat seperti kata Dika, datangnya Varel bukan berarti akhir bagi hidupnya. Dia harus tetap fokus pada rumah sakitnya, pada pasiennya, pada keluarga dan temannya juga. Hidupnya tidak bisa hanya dihabiskan dengan meratapi nasib oleh datangnya Varel.
Sudah lima hari sejak Dika datang ke rumah sakit dan rasanya Teo sudah lebih baik sekarang, hari ini Teo juga sudah menjalankan shift malamnya. Ia juga sudah tidak memakai dalaman panjang seperti sebelumnya karena akhirnya bekas di lehernya sudah menghilang, berkat bantuan obat salep pemberian Dika.
"Dokter, ada panggilan!"
Seorang wanita berpakaian suster berlarian ke arah Teo ketika melihatnya melewati meja resepsionis.
"Ya? Ada apa?" Teo menatap wajah panik sang suster. "Tunggu, tenang dulu."
"Ada telepon, ada pasien yang butuh pertolongan dokter!"
"Dimana?!"
Suster tersebut langsung mengarahkan Teo ke telepon rumah sakit yang ada di meja resepsionis, Teo mengangkat gagang telepon yang masih terhubung di dalam panggilan.
Begitu telepon sudah menyentuh telinganya, suara seorang pria dengan nafas yang berat terdengar di seberang sana. "T-Tolong saya, Dokter...hah...dada saya...sesak... s-saya gak kuat ke rumah sakit... tolong saya...."
Teo panik sekali ketika mendengar suara orang tersebut. "Pak?! Tunggu, bapak harus tahan. Saya akan segera ke sana sekarang! Bapak harus berusaha tetep sadar sampai saya datang ya, Pak?!" katanya mencoba untuk membuat si pasien tetap sadar.
"Tolong sebut alamat bapak sekarang, saya akan datang segera," katanya kemudian mengambil notes dan pulpen untuk mencatat alamat. "Tolong tetap sadar sampai saya datang!" Teo pun langsung mematikan telepon dan bergegas mengambil tas dokternya dan berangkat langsung seorang diri.
Karena kebetulan ia ada jadwal jaga malam ini dan sepertinya sudah banyak dokter yang pulang, dia tidak bisa diam saja untuk menunggu dokter yang lain. Sebelum pergi ia menyempatkan untuk menghampiri suster di resepsionis sebelumnya.
"Tolong tetap stay di sini, saya bakal berangkat sendiri sekarang untuk kasih penanganan pertama. Kalau saya butuh tim medis lainnya saya bakal langsung telepon!" Pesan Teo yang langsung diangguki oleh si suster.
Teo pun segera pergi untuk menolong pria itu tanpa membuang banyak waktu lagi. Dia memilih untuk naik ojek pangkalan ketimbang mobilnya, karena takut jika akan ada macet di tengah jalan. Teo hanya ingin mengantisipasi, karena keselamatan pasiennya adalah hal paling penting baginya. Tidak perduli jika angin malam akan membuatnya kedinginan sekalipun.
Setelah membayar ongkos, Teo membaca notesnya sekali lagi untuk mengecek apakah alamatnya sesuai sebelum akhirnya masuk ke dalam rumah tersebut. Pintu gerbang depan tidak dikunci, bahkan tidak ada yang menjaga. Bukankah ini sangat berbahaya? Kenapa dibiarkan seperti ini gitu saja.
Mengesampingkan hal tersebut, Teo juga sejujurnya bersyukur karena hal itu ia bisa langsung masuk ke dalam tanpa membuang waktu. Dia membuka pintu depan yang ternyata juga sama sekali tidak terkunci, Teo bisa masuk dengan mudahnya.
Ruangan luas yang sangat sepi menyambutnya begitu ia masuk ke dalam rumah itu. Teo melangkah masuk dengan nafas sedikit terengah sebab terburu-buru dan cemas, ia menoleh ke sekitar tapi seperti tidak ada tanda akan kehadiran seseorang di sini. Sangat sepi.
"Pak!" Teriaknya mencoba untuk mengetahui dimana posisi pria yang menelepon sebelumnya. Suara langkah kaki yang turun dari lantai atas langsung menarik atensinya dan membuatnya menoleh, matanya terbuka lebar ketika melihat orang tersebut.
"Gua gak nyangka lo bisa dipancing cuma dengan panggilan palsu?"
"Lo---lo bohongin gue? Dimana bapak yang telepon gue tadi---"
"Dia? Dia udah pergi setelah berhasil nyuruh lo ke sini," kata Varel langsung memotong ucapan Teo. Ia tertawa ketika melihat wajah syok Teo, sangat menyenangkan sekali menurutnya.
"Apa?"
Varel tersenyum, menunjukkan smirk evil miliknya. Ketika sampai di bawah Varel langsung menghampiri Teo dan berdiri tepat di hadapannya, ia sedikit menunduk dan berbisik di telinga Teo.
"Lo dateng ke tempat yang salah."
To be continued
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top