Chapter 2
Setelah penat menghampiri dirinya, Teo pun langsung melepas kacamata bacanya dan merenggangkan otot-otot yang terasa kaku. Seharian ini ia menghabiskan waktu membaca buku mengenai kedokteran di ruangannya. Tidak ada jadwal apapun untuk hari ini dan besok, maka dari itu sekarang Teo sangat senggang. Tapi itu sedikit membuatnya menjadi bosan.
Teo memutuskan untuk pergi ke kantin rumah sakit karena jam sudah menunjukkan pukul dua siang. Dia telat makan siang lagi kali ini, jika ayah atau ibunya tahu pasti Teo akan menerima ceramah panjang soal bagaimana seharusnya ia menjaga pola makan dengan benar. Hei, yang benar saja. Teo adalah seorang dokter, dan dia juga sudah cukup dewasa untuk mengerti hal semacam itu. Hanya saja dia sedikit tidak memperdulikan hal yang seperti itu.
Setelah mendapatkan satu piring makanan beserta dengan minuman, Teo memilih tempat untuk duduk. Beberapa rekan kerjanya mengajak untuk makan bersama, tapi dengan sopan Teo menolak dan beralasan sedang ingin sendirian sekalian memikirkan pekerjaannya.
Padahal ia berbohong. Sudah satu minggu penuh Teo tidak bisa fokus hanya karena memikirkan kejadian di lift kantor waktu itu. Bukan karena suara bariton yang seksi itu, bukan. Tapi Teo seperti sedang memikirkan sesuatu yang lain. Tentang tingkah direktur perusahaan terkenal yang aneh itu. Teo seperti teringat akan sesuatu, tapi sayangnya otaknya tidak sampai untuk mengingat hal tersebut. Teo seperti pernah bertemu atau mungkin melihat wajahnya.
Tapi bisa saja, pria itu pengusaha besar yang terkenal. Fotonya pasti banyak dimana-mana, di majalah bisnis contohnya. Teo mungkin familiar karena pernah melihatnya sebelumnya di majalah bisnis. Namun pemikiran sederhana tersebut tidak mampu membuang pemikiran rumit lainnya di otak Teo saat ini.
Rasanya sangat aneh. Teo punya firasat yang rumit tentang semua ini, tapi tidak tahu mengapa alasannya, yang jelas dia memikirkan sesuatu yang sepertinya tak semestinya dipikirkan.
Ketika pikirannya berjelajah kemana-mana, seseorang yang memakai seragam dokter lengkap seperti Teo duduk di hadapan pria itu. Teo sedikit terperanjat dengan kehadiran tiba-tiba lelaki itu, namun keterkejutannya langsung menghilang ketika melihat siapa yang datang.
"Astaga, gak bisa kah datengnya permisi dulu?" Teo memutar bola matanya malas sedangkan orang di depannya hanya terkikik geli.
"Pak dokter bengong mulu, jadinya gue langsung duduk aja," balasnya dengan santai. Teo membuang nafasnya pelan. "Gue makan di sini ya?" tanya Samuel, salah satu dokter di rumah sakit ini. Bisa dibilang Samuel adalah dokter baru di sini, dia satu tahun lebih muda dari Teo dan tengah melanjutkan kuliahnya di kampus yang sama dengan Teo.
"Bahkan kalau pun gue bilang enggak lo udah makan di sini," jawab Teo acuh tak acuh menatap ke arah Samuel yang sudah menyuapkan nasi ke dalam mulutnya. Pria itu kembali terkekeh dengan mulut penuh dengan makanan. "Telen dulu baru ketawa."
Samuel melakukan apa yang Teo suruh, menelan makanannya lalu kembali tertawa pelan. "Kak Teo jangan marah," goda Samuel dengan nada manjanya membuat Teo langsung berdecih.
"Kalau lo manggil kak begitu pasti ada maunya," sindir Teo. Pria itu juga mulai menyuapi dirinya sendiri dengan tenang.
"Gak kok, seriusan."
"Hm, hm. Terserah," balas Teo seadanya. Samuel memajukan bibirnya kesal dengan respon singkat pimpinannya tersebut.
"Kalau sama Dika baru deh manis, sama gue galak banget!" Samuel melirik Teo dengan tatapan sebal, tapi beberapa detik kemudian ia seperti teringat akan sesuatu dan langsung tersenyum lebar. "Oh iya, kemarin Dika telpon gue. Dia bilang pengen ketemu sama lo, tapi takut lo sibuk. Lo gak bales pesan dia?"
Kunyahan di mulut Teo terhenti, ia kemudian mengernyitkan dahinya sekilas. Ah, benar saja. Akhir-akhir ini Teo jarang sekali hanya sekedar untuk mengecek pesan masuk pada ponselnya. Apalagi sejak minggu lalu, pikirannya selalu terfokus pada---ah sudahlah.
"Gue lupa."
"Tumben," sahut Samuel cepat sambil menatap Teo sedikit curiga. "Kalian lagi berantem?"
Teo menggeleng, namun sepertinya Samuel masih tidak mempercayainya. "Kalian kenapa? Lo gak biasanya jadi sok cuek gini sama Dika, biasanya kalau denger nama Dika aja lo semangat," kata Samuel yang setengahnya mencibir dengan wajah masamnya.
Senyuman tipis terpatri di wajah Teo. "Kenapa emangnya, lo cemburu?" tanyanya sekedar ingin balas menggoda Samuel, tapi Samuel justru terlihat malu dan gelagapan seperti salah tingkah.
"Ya a-aneh lah!" Samuel menatap Teo dengan wajah merona tipis. Pria yang satu itu memang mudah sekali menjadi merah ketika digoda, Teo tersenyum.
"Aneh apanya?"
"Ya aneh!" serunya. "Masa gak ada apa-apa tapi lo keliatan kayak lagi jaga jarak sama dia. Kalian beneran berantem kan?"
Tidak disangka bahwa sepertinya Samuel sangat tahu tentang persahabatannya dengan Dika. Teo sampai sedikit terkejut melihat Samuel bahkan menyadari hal kecil seperti ini.
"Lo perhatian banget sama gue."
Lagi-lagi semburat merah terlihat di wajah Samuel, pria itu membuang muka dari Teo, namun mulutnya terlihat mencoba untuk menahan senyuman.
Melihat Samuel yang membuang muka, akhirnya Teo berhenti untuk menggoda lelaki itu. Bisa-bisa dia marah sungguhan jika diteruskan. "Enggak," jawab Teo seraya menggeleng. "Gue gak berantem sama Dika. Gue cuma lagi pusing aja sedikit."
Samuel yang tadinya membuang muka langsung kembali menatap Teo. "Lo sakit?" Sekali lagi Teo menggeleng pelan.
"Cuma pusing."
"Itu sama aja sakit."
"Lo pengen banget gue sakit?" Teo menaikkan sebelah alisnya, Samuel pun langsung menggeleng cepat.
"Bukan gitu maksudnya!"
Teo tidak bisa menahan tawanya ketika berhasil membuat Samuel kalah dalam perdebatan kecil mereka. "Udah ah, gue mau balik lagi. Lo balik kerja juga sana nanti kalau udah selesai makannya," ujar pria itu yang lalu bangkit dari duduknya begitu saja.
"Loh gue ditinggal?!"
"Iya," jawab Teo enteng. "Udah gede, jangan manja makan sendirian doang ngeluh." Samuel hanya mencibir sebal ketika diceramahi oleh Teo barusan, membuat Teo kembali tertawa.
***
Saat Teo baru saja masuk ke dalam ruangannya, ia dikejutkan dengan sosok pria yang sudah mengganggu pikirannya beberapa waktu yang lalu, dan pria itu kini tengah duduk di kursinya sambil memainkan ponsel.
"Pak Zardian?"
Pria itu baru menyadari kehadiran Teo begitu namanya disebut. "Oh, halo Pak Dokter," balasnya.
Suara berat itu lagi, batin Teo yang mencoba untuk tidak berpikiran yang aneh-aneh. Oh astaga, bahkan ketika dia berbicara Bahasa Indonesia pun aksen british itu masih terasa membuat hati Teo ketar-kerir.
Teo berdeham pelan, mencoba terlihat santai dan menutup pintu ruangannya. "Kenapa ke sini, Pak?" Tanyanya kemudian tanpa basa-basi. Merasa sedikit kurang sopan, Teo segera meralat pertanyaannya. "Maksud saya, ada urusan apa Pak Zardian repot ke rumah sakit? Apa ada yang perlu disampein ke saya?"
Orang itu hanya tersenyum, membuat Teo lagi-lagi harus bertanya-tanya di dalam hatinya. Kepribadian orang ini sangat unik dan membingungkan.
"Lo lupa siapa gue?"
Teo berkedip dua kali, mulutnya terbuka sedikit saking terkejutnya. Oke ini memang berlebihan, tapi hei! Apa barusan pria di depan Teo ini baru saja berbicara non-formal kepadanya seakan mereka teman dekat?
"Maaf---?"
"Lo tau nama gue, kan?" Pria itu---Zardian---tersenyum melihat reaksi yang diberikan oleh Teo.
Sedangkan Teo semakin dibuat kebingungan, pasalnya ia hanya tahu bahwa nama rekan kerja Papanya ini adalah Zardian. Teo tidak pernah mencari tau lebih dari itu karena memang ia tidak terlalu penasaran soal itu. Untuk apa juga ia menggali informasi seperti itu, menurutnya.
"Pak Zardian?"
Jawaban Teo berhasil membuatnya tertawa kencang. Namun saat Teo baru akan protes dan kembali bertanya, ucapannya sudah dipotong lebih dulu oleh pria itu.
"Varel Dirga Zardian," kata Zardian, atau bisa disebut Varel sekarang. Sosok masa lalu yang telah menghilang beberapa tahun yang lalu secara tiba-tiba dan membuat Teo akhirnya bisa bebas.
Tidak mendapatkan respon apapun dari Teo yang terlihat masih sangat terkejut, Varel pun berjalan mendekatinya dan sedikit menunduk untuk menyetarakan wajahnya dengan telinga Teo. "Nice to meet you again, Teo."
Teo terperanjat mendengar bisikan Varel di telinga kirinya. Secara reflek ia pun mundur dan menatap Varel tidak percaya. Ia masih sangat syok mengetahui fakta bahwa penyumbang rumah sakit miliknya ini adalah Varel yang notabenenya adalah sosok masa lalu yang dihindari oleh Teo.
Bagaimana bisa Teo tidak mengenalinya! Memang wajah dingin, rahang yang tegas, tubuh yang tinggi, serta suaranya yang telah berubah drastis dengan aksen british yang kental membuat Teo sangat pangling. Teo masih belum mempercayai jika sosok pria di hadapannya ini adalah Varel, bahkan sampai pria itu telah pergi meninggalkannya yang masih mematung di tempat sendirian.
.
.
.
Beberapa hari berikutnya.
Dering telepon di ponsel Teo membuat pria itu mau tidak mau akhirnya bangkit dari kasur. Hari ini sejujurnya ia mengambil libur karena merasa kurang baik setelah mengetahui fakta mengenai Varel, tapi waktu istirahatnya harus terganggu sekarang.
"Halo?"
"Teo, kamu dimana? Tolong dateng ke kantor sekarang, ada meeting jam dua siang dan kamu harus dateng juga." Suara sang Papa menyapa gendang telinganya begitu sambungan telepon tersambung. Teo ingin sekali rasanya menolak itu, apalagi ketika tahu bahwa ia akan bertemu dengan dia lagi untuk meeting kali ini.
"Teo?"
"Ah, oke Pa," jawab Teo sedikit pelan. "Aku ke sana nanti," katanya lagi lebih memperjelas.
"Makasih ya sayang, Papa tunggu di kantor. Jangan lupa buat makan siang!"
Ah benar, Teo bahkan belum sempat makan apapun sejak pagi. Seharian ini dia hanya meringkuk di atas kasur tanpa melakukan apapun, sungguh hari yang terbuang sia-sia.
Setelah meyakinkan dirinya bahwa tidak akan ada masalah apapun, Teo segera bangun untuk bersiap-siap pergi ke kantor.
Tapi mungkin nasibnya memang kurang baik untuk hari ini.
Karena begitu ia sampai di kantor, wajah pertama yang ia temui adalah Varel. Pria itu tidak sempat menyadari kehadiran Teo karena dengan cepat Teo langsung bersembunyi, menunggu sampai Varel masuk ke dalam lift baru ia masuk ke dalam kantor. Teo belum sanggup berhadapan dengan Varel secara langsung di depan umum seperti ini. Ada perasaan takut juga cemas yang menghantuinya sejak tahu mengenai identitas asli Varel.
***
Rapat siang ini berakhir dengan baik seperti yang diharapkan semua orang.
Teo bisa menghela nafasnya lega karena tidak seperti yang ada dibayangannya, justru Varel terlihat seperti sebelumnya---maksudnya, dia tetap dengan wajah dinginnya menatap seluruh parah bawahan, berbicara seperlunya bahkan tidak terlalu mengurusi keberadaan Teo.
Dia merasa sangat lega sekarang.
Namun perasaan itu tidak bertahan lama karena ia baru menyadari semua peserta rapat sudah lebih dulu berhamburan keluar dari ruangan, menyisakan dirinya yang masih sibuk membaca berkas dan Varel yang juga sibuk memperhatikan Teo dari mejanya.
"Teo," panggil Varel ketika hanya ada mereka berdua di dalam sana. Seketika bulu kuduk Teo meremang hanya karena Varel memanggil namanya dengan deep voice miliknya, perasaan ini lagi.
"A-ah! Semuanya udah keluar ya, Pak? Kalau gitu saya juga permisi---" Teo baru saja bangkit dan berniat untuk segera pergi keluar, namun Varel sudah lebih dulu mengejar dan menahannya. Pria itu bahkan mendorong tubuh Teo hingga menabrak tembok di belakangnya dan memposisikan tubuhnya tertutup oleh lemari besar.
Tanpa berbicara apapun Varel langsung mencium Teo tepat di bibirnya, terasa agak dingin karena mereka sudah berada di dalam ruangan ber-AC sejak beberapa jam lalu.
Ketika tubuhnya di dorong ke tembok, semua berkas di tangan Teo jatuh begitu saja ke lantai. Belum sempat berbicara, bibirnya sudah dibungkam lebih dulu oleh Varel. Matanya terbuka lebar saking terkejutnya, mereka masih ada di kantor dan siapapun bisa saja masuk ke dalam.
Teo mencoba mendorong tubuh Varel, namun Varel seperti batu besar yang sulit untuk dipindahkan. Dengan perbandingan tubuh mereka yang sangat jauh sekarang, Teo tidak bisa memberontak.
Ciuman itu terus berlanjut, Varel tidak memperdulikan Teo yang terus berusaha untuk mendorong tubuhnya. Ia tetap menghantam bibir Teo dan melumatnya, bahkan ketika Teo sudah terlihat lemas dan hampir kehabisan nafas Varel tetap menghisap bibir itu dan menggigitnya pula sampai sedikit membengkak.
"Mnn...nghh...."
Teo merutuki dirinya yang masih sempat melenguh ketika Varel melumat bibirnya kembali. Nafasnya sudah hampir di ujung batas, tapi Varel tidak mau melepaskannya sama sekali!
"Ah...."
Bibir Varel berpindah ke leher Teo, membiarkan pria itu untuk mengambil nafas namun bibirnya tetap bekerja menghisap dan menggigiti area tengkuk leher Teo. Varel meninggalkan jejak kemerahan di sana.
"Stop---ja-jangan, please!"
Varel tidak mau mendengarkan Teo. Ia tersenyum licik. "Gue bakal buat semua pasien lo tau kalau dokter yang satu ini mesum," bisik Varel dengan sensual membuat Teo kembali dibuat merinding.
Selesai memberikan kissmark, Varel membawa tubuh Teo hingga ke meja tempat mereka meeting sebelumnya. Membiarkan tubuh Teo tengkurap di atas meja dan menahan kedua tangannya di belakang tubuh. Teo ingin sekali menjerit dan meminta tolong, tapi sayangnya ia tidak bisa. Teo tidak mau memperburuk image keluarganya jika ada yang melihat apa yang sedang terjadi padanya.
"Varel---!"
Resleting celana Teo sudah terbuka, dengan mudahnya sebelah tangan Varel yang bebas menangkap kejantanan milik Teo dan meremasnya cukup kuat hingga membuat Teo meringis pelan menahan sakit. Varel menggerakkan tangannya ke atas dan ke bawah secara cepat hingga membuat penis Teo tegang dan mengeras, sekuat tenaga Teo mencoba untuk menahan desahannya. Ia menggigit bibir bagian bawahnya kuat.
"A-annh...."
Saat Teo baru saja akan mencapai pada klimaksnya, tangan Varel berhenti bergerak dan melepaskan Teo begitu saja. Teo langsung menoleh ke arah Varel dan menatapnya dengan wajah terkejut setengah menahan sakit karena orgasme yang tertahan.
Dengan tidak tahu dirinya Varel nyeringai menatap balik Teo yang tampak frustasi. "Thats hurts?" tanyanya sambil melirik ke arah penis Teo yang masih tegak dan sedikit berkedut. Teo berusaha menahan sekuat tenaga, dia tidak mungkin melakukan solo tangannya di hadapan Varel. Dia masih memiliki rasa malu, demi apapun.
"Kenapa diem? Need some help?" Varel kembali menggoda Teo yang terlihat merintih menahan libidonya sendiri.
"No---!"
Varel kembali menyentuh Teo dan membantunya untuk orgasme, dia sudah cukup puas melihat wajah frustasi Teo menahan orgasme. Varel memeluk Teo dari belakang dan segera membantunya untuk keluar, tangannya bergerak sangat cepat membuat Teo seperti akan hilang akal.
"Ahhhh! Nghh...ha-hah ah...."
Cairan putih itu pun keluar tak lama kemudian, mengotori telapak tangan Varel. Tubuh Teo rasanya sangat lemas, ia sempat limbung dan hampir terjatuh jika saja Varel tidak menahan tubuhnya dari belakang.
"Jangan pernah coba macem-macem, lo gak tau apa aja yang bisa gue lakuin dengan kekayaan dan kekuasaan gue sekarang bukan?" kata Varel yang terdengar mengancam, sebelum akhirnya pergi meninggalkan Teo dan kekacauan yang ada di dalam ruang rapat tersebut.
"Teo sialan, kenapa lo malah desah?!" Teo menarik rambutnya begitu sosok Varel telah menghilang dari pandangannya. Rasanya ia sangat menyesali semua ini, tapi apa yang bisa dilakukan selain menyesal.
Semua ini memang sudah rencana Varel sejak awal, seharusnya ia tahu dan tidak bisa percaya begitu saja pada siapapun. Varel hanya membuat perjanjian kontrak bisnis itu sebagai tali untuk mengingatnya agar tidak bisa kabur. Varel bahkan sudah lebih dulu mengancamnya sebelum ia bisa mencoba untuk kabur.
Sejak dulu ia memang tidak pernah lepas dari Varel. Sejauh apapun ia mencoba kabur, nyatanya ikatan ini tidak akan dengan mudah bisa dilepas begitu saja.
To be continued
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top