Chapter 14

Varel langsung mengangkat tubuh Teo yang sudah lemas dan membawanya pergi dari sana, menyerahkan Russel untuk dibawa dan diurus oleh pamannya, Daniel. Terlambat beberapa menit saja mungkin saat ini Teo tidak bisa tertolong. Sebelumnya Daniel juga sudah memperingatkannya tentang hal ini, dia tentu akan langsung menolak ide gila Varel untuk membuat Teo yang menggantikannya bertemu Russel. Daniel tahu Russel tidak pernah segan untuk melayangkan tangannya bahkan jika dia harus membunuh seseorang, meminta Teo terjun adalah hal yang beresiko. Namun beruntung mereka bisa menolongnya tepat waktu.

Saat ketika Russel menyebutkan tentang keluarga juga ayahnya, sejujurnya Varel sudah tersulut emosi dan ingin langsung pergi menghampiri Teo tapi emosinya berhasil ditahan oleh Daniel yang meyakinkan bahwa jika mereka ingin berhasil, Varel tidak boleh gegabah.

Merasakan gerakan pada sosok di tangannya membuat Varel menatap ke bawah, memperhatikan Teo di gendongannya tengah menutup mata namun raut wajahnya seperti tidak nyaman. Ia terus bergerak dan membuat Varel agak kesulitan untuk membawanya pergi.

"Jangan banyak gerak, lo bisa jatuh," kata Varel mencoba memberitahu Teo tetapi hal itu sepertinya tidak terlalu didengarkan karena pria itu masih terus bergerak.

Melihat itu Varel pun mengeratkan rahangnya, ini semua akibat obat yang Russel berikan di dalam minuman Teo. Dia tidak tahu jika Russel akan senekat itu untuk membawa minuman seperti itu, bagaimana jika bukan benar-benar Varel yang datang? Orang itu bisa dalam bahaya bersama pria itu.

Daniel bahkan terlihat sudah lebih dulu menyadarinya, dia tampak cemas ketika mengawasi Teo melalui kamera cctv tersembunyi. Berulangkali menyumpahi Varel karena sudah membiarkan Teo menggantikannya, namun nasi sudah menjadi bubur, mau tidak mau mereka hanya bisa memantau dari kejauhan berharap semuanya berjalan dengan baik.

Tarikan pada kerah kemejanya membuat Varel sedikit limbung, beruntung dia bisa menjaga keseimbangannya dengan baik sehingga tidak ada yang jatuh. Melihat sepertinya pria itu tidak bisa diam, Varel yang awalnya akan berniat membawa Teo ke mobil pun langsung berpindah haluan dan pergi ke tempat lain. Ada ruangan yang tadi ia gunakan untuk memantau bersama Daniel, Varel membawa Teo ke sana dan menaruhnya ke atas kasur.

"Lo tunggu di sini, gue panggil Daniel---"

Belum sempat menyelesaikan ucapannya, sekali lagi pakaian Varel ditarik hingga membuatnya ikut terjatuh ke atas kasur. Teo yang setengah sadar mengambil kesempatan itu dan memajukan wajahnya, mencium bibir Varel dengan tidak sabaran seperti ada yang tengah mengejarnya saat ini.

"Teo---" Varel baru saja memundurkan wajahnya, namun Teo langsung menangkupnya dan kembali menciumnya.

Varel bukan pria yang sebaik itu, yang akan melepaskan diri dan tidak melakukan apapun meski tahu Teo sedang di bawah kendali minumannya. Melihat Teo yang berinisiatif lebih dulu justru membuatnya dengan senang hati menyentuhnya, dia akan memanfaatkan keadaan tersebut dengan baik.

Pikiran Teo seketika kosong begitu merasakan tangan dingin yang menyelinap dan menyentuh bagian bawahnya. Badannya semakin memanas dan dia butuh lebih dari sekedar sentuhan ringan. Tanpa sadar kakinya bergerak hingga celananya terlepas seutuhnya. Ketika ia baru saja ingin melepaskan pakaiannya, Varel langsung menahan tangan Teo.

"Kenapa?" protes Teo sambil mengernyitkan dahinya, kesal. "Gue gerah, Varel," rengeknya kemudian berusaha untuk melepaskan jasnya lagi, namun kembali digagalkan oleh Varel.

"Jangan dilepas," kata pria itu kemudian menahan kedua tangan Teo yang tidak bisa diam di atas kepalanya. "Kalau lo mau gue sentuh, jangan lepas. Gue bakal tinggalin lo di sini sendiri kalau lo lepas baju lo."

Teo mengerang tidak senang, namun entah mengapa ia lebih takut jika Varel benar-benar meninggalkannya sendirian di sini jadi mau tidak mau ia pun menurut untuk tidak melepaskan pakaiannya. Teo butuh Varel sekarang, dia ingin disentuh oleh Varel.

"Good boy."

Wajah Teo yang cemberut menggemaskan adalah pemandangan yang sangat langka bagi Varel, selama ini Teo selalu memasang wajah tidak senang tiap bertemu dirinya. Namun liat sekarang lelaki yang sudah bukan remaja lagi itu menatap Varel dan merenggut hanya karena ia larang untuk melepaskan pakaiannya. Dia tidak tahu apakah harus marah atau berterimakasih pada Russel yang sudah membuatnya bisa melihat tingkah Teo sekarang. Bagaimana jika tadi Varel tidak datang? Apakah Teo akan merenggut seperti ini juga di depan Russel? Memikirkan hal tersebut tiba-tiba membuat Varel kesal entah mengapa.

Tidak ada sentuhan lebih lanjut, Teo yang memang sudah menunggu sejak tadi langsung menarik tangannya dari pegangan Varel. Ia mendorong pria itu sekuat tenaga hingga sekarang Teo yang setengah telanjang duduk di atas tubuhnya. Teo menarik kerah Varel dan menciumnya di bibir.

"Nnngh...mnnh ah...."

Teo masih mencium Varel ketika tangan pria itu mulai kembali bergerak menyentuhnya. Varel memasukkan satu persatu jarinya secara perlahan ke lubang Teo, membuat Teo akhirnya melepaskan ciumannya dan mendesah kencang.

"Aah...ngh, Varel!"

"Hm?"

Dua jarinya di dalam bergerak menyilang, keluar masuk semakin cepat mencoba menetrasi dan merangsang Teo. Tangan satunya ia gunakan untuk menyentuh penis Teo. Mereka tidak memiliki pelumas sekarang jadi ia berniat untuk membuat Teo keluar dan memakainya sebagai pengganti.

"Feels good?"

"Ahh! Yes.... huu, please hurry up." Teo mungkin akan menyesali suara rengekannya ketika ia sudah sepenuhnya sadar, tapi dia sama sekali tidak perduli yang ia inginkan saat ini hanya Varel. Kedua matanya mulai mengeluarkan air mata, Teo menangis.

Tidak ingin membuat Teo menunggu lebih lama, Varel pun segera mengeluarkan jarinya dan mengangkat tubuh Teo memposisikan pria itu di pangkuannya dan mulai memasukkan miliknya secara perlahan. Teo mencengkram bahu Varel kuat menahan sakit, namun ini bukan pertama kalinya untuk mereka jadi rasa sakit itu hanya ada sementara karena ketika Varel sudah masuk sepenuhnya dan mulai bergerak, Teo sudah bisa mendesah kembali.

Tidak ada yang tahu berapa lama mereka berdua saling menggerakkan pinggul mereka ke arah yang berlawanan, keduanya sudah mulai hampir mencapai klimaks.

"A-ahh! Varel gue---"

"We came together, okay?" Varel mempercepat gerakannya keluar masuk beberapa detik hingga Teo langsung memeluk lehernya erat dan berteriak kencang bersamaan dengan cairan yang keluar dari miliknya. Begitu pun dengan Varel yang tidak sempat mengeluarkan kejantanannya hingga sekarang lubang Teo terasa penuh dengan cairan putih itu.

Teo jatuh terkulai ke tubuh Varel, keduanya mencoba mengatur nafas yang sempat memburu beberapa menit sebelumnya. Teo pikir itu sudah cukup untuk membuatnya kembali sadar, namun berbeda dengan Varel yang sepertinya masih ingin melanjutkan apa yang sedang mereka lakukan. Ia memindahkan tubuh Teo dan membuatnya menungging, kembali memasukkan miliknya dan sengaja mendorong dirinya kuat berulangkali hingga membuat Teo tidak bisa berhenti mendesah.

"Nngh!!"

"Ah! Mmmn..."

"Aah! Ah! Varel!!"

.

.

.

Sedangkan Daniel di sisi lain masih memakai earphone yang tersambung ke alat perekam suara di pakaian Teo sejak tadi, tidak mau mengambil resiko meninggalkannya sembarangan agar tidak ada yang bisa menyalahgunakan itu, namun justru sekarang dirinya harus mendengar suara dua anak adam yang sedang bersenggama.

"Fuck you, Varel...."

Kuping dan wajahnya memerah. Sejak awal Daniel bisa mendengar percakapan dan aktifitas ranjang yang dilakukan mereka, berusaha sekuat tenaga untuk tidak memaki ketika Varel tidak membiarkan Teo melepaskan pakaiannya. Dia pasti sengaja membiarkan Daniel untuk menguping dan mendengarkan desahan Teo.

Semua permasalahan berakhir sesuai rencana Daniel, tidak ada yang menyalahkan atau pun menyinggung nama Varel maupun Teo sedikitpun, semuanya hanya terfokus pada Russel. Berita tentang Russel yang menggunakan serta mengedarkan obat-obatan langsung tersebar ke berita dan majalah-majalah bisnis hari itu juga, kegiatan gelapnya yang memperdagangkan manusia pun terkuat begitu saja bersamaan dengan bukti yang Daniel kirimkan secara anonim kepada aparat. Identitas Teo sebagai seseorang yang diduga korban berhasil disembunyikan dengan rapat berkat Daniel.

Namun meski begitu, Teo masih belum mendengar kabar tersebut bahkan setelah satu minggu. Tidak ada yang memberitahunya dan dia juga tidak sempat melihat berita apapun. Dia sudah bertanya pada Varel namun jawaban pria itu tidak menjelaskan sama sekali. Seringkali seperti,

"Gimana soal Russel?"

"Lo gak usah pikirin dia."

"Russel ditangkap? Atau dia pulang ke Inggris?"

"Semua udah diurus Daniel."

Varel seperti enggan memberitahunya padahal peran Teo di sini juga penting, dia sudah ikut andil dalam masalah tersebut. Hal itu membuatnya terlihat seperti seseorang yang linglung di tempat kerja, dirinya sering tertangkap sedang melamun seperti tengah memikirkan sesuatu.

"Teo?"

Suara panggilan Dean yang setenang air menyadarkan pria itu dari lamunannya. Teo berkedip dua kali sebelum menyadari bahwa sejak tadi Dean sedang menatapnya dengan senyuman yang lembut.

"Lo gak fokus lagi," ujar Dean kembali bersuara sembari menaruh iPad yang sejak tadi ia pegang ke atas meja, menaruh seluruh perhatiannya pada Teo sekarang.

Saat ini mereka tengah berada di sebuah restoran untuk makan malam bersama sekaligus membahas pekerjaan, seharusnya, tapi kenyataannya itu hanya salah satu alasan yang Teo buat agar bisa bertemu dengan Dean. Dia sudah mendengar beberapa permasalahan Varel dari Russel tempo kemarin dan sekarang Teo merasa dirinya membutuhkan seseorang untuk diajak berbicara namun tentu dia tidak bisa berdiskusi dengan Dika apalagi Samuel, jadi Dean lah satu-satunya opsi terbaik yang dia punya.

Duduk tepat bersebrangan membuat Dean dapat melihat jelas gurat wajah Teo yang tampak memiliki banyak pikiran namun ragu untuk berbicara. Pria itu tersenyum.

"Kayaknya lo ngajak gue ke sini bukan cuma buat makan atau bahas pekerjaan," kata Dean ketika tak mendengar balasan dari sosok di depannya itu. "Lo mau ngomongin apa sama gue, hm?" lanjutnya bertanya membuat wajah Teo merona samar.

"Maaf...."

"It's okay, gue ngerti."

Melihat Dean yang masih tersenyum justru membuat Teo semakin merasa tidak enak. Ia tidak boleh menyia-nyiakan waktu pria itu lebih lama lagi.

"Minggu kemarin gue ketemu sama orang itu lagi," kata Teo yang akhirnya bercerita meski suaranya sedikit pelan seperti bergumam. "Dia bilang gue bisa bantu dia kali ini dan gue nurutin apa yang dia suruh. Tapi bukannya paham gue justru makin ngerasa gak tau apa-apa, dia kayak nyembunyiin banyak hal sejak dia pergi.

"Gue gak ngerti apa maksudnya, tapi gue terus kepikiran soal ucapan mereka...," cerita Teo langsung mengeluarkan semua pikiran yang sempat menumpuk di kepalanya belakangan.

"Mereka?"

Teo mengangguk. "Ada satu orang yang bilang kalau mereka, orang-orang di masa lalunya, anggep dia gila selama ini. Apa mungkin itu yang bikin sifatnya jadi gampang berubah-ubah?"

Dean mencoba memahami gambaran besar yang Teo jelaskan, berdeham beberapa detik sembari mengangguk-angguk pelan. Entah mengapa ia merasa sedikit familiar dengan cerita yang seperti itu.

"Kenapa 'mereka' bisa nganggep temen lo ini gila? Apa menurut lo dia keliatan kayak gitu?" tanya Dean yang langsung dijawab gelengan kencang oleh Teo. Varel tidak terlihat gila sama sekali, Teo yakin semua itu hanya gosip yang tidak benar.

"Dia baik-baik aja, Mas!" Teo memasang wajah serius yang membuat Dean mau tidak mau akhirnya mempercayainya. Baru saja akan kembali bersuara, namun dering ponsel Teo terdengar dan seketika menghentikan percakapan mereka.

Nama Varel tertera di layar, Teo menelan ludahnya gugup. Bagaimana bisa pria itu menelpon tepat ketika mereka tengah membicarakannya? Apakah hidungnya gatal di sana?

"Angkat aja, mungkin penting," kata Dean.

Panggilan pertama sudah berhenti disusul dengan panggilan kedua, Teo pun mau tidak mau akhirnya memilih untuk mengangkat panggilan itu setelah sebelumnya meminta izin pada Dean.

"Lo ada dimana?" Suara datar nan dingin yang sudah sangat ia hafal langsung masuk ke indra pendengaran Teo begitu panggilannya terhubung. "Kenapa gak angkat telpon gue?"

"Gue lagi di luar, gue gak denger ada telpon masuk," balasnya membuat alasan padahal Dean bahkan bisa mendengar suara ponselnya tadi.

"Dimana?"

"Lo mau ngapain---"

"Gue di depan."

"Hah?!" Seketika Teo bangkit dari kursinya, menatap keluar kaca dan menyadari ada satu mobil hitam yang tidak asing terparkir di depan sana. Dean yang melihat Teo tiba-tiba berdiri pun terkejut dan menatapnya penuh tanda tanya. "Gue---ah, Mas maaf gue keluar sebentar, lo makan duluan aja," katanya saat sadar masih ada Dean di sana.

Teo setengah berlari keluar restoran dan langsung menghampiri Varel yang sudah keluar dari mobilnya. Pria itu berdiri tegak dengan wajah datar mengenakan setelan jas berwarna hitam yang membuatnya agak sedikit mencolok di tempat parkir.

"Lo tau darimana gue ada di sini?" tanya Teo begitu sampai di hadapan Varel. Bukannya menjawab pria tinggi itu justru tersenyum miring menatapnya. "Lo kenapa bisa ada di sini?"

"Kenapa?" Varel menarikkan sebelah alisnya. "Gue ke sini buat makan, restoran ini buka untuk umum." Jawabannya memang tidak salah, namun kenapa bisa pas sekali ketika Teo dan Dean juga ada di sini.

"Tapi gue gak tau ternyata malah ketemu sama lo yang lagi makan malem sama orang lain," kata Varel terdengar dangat santai namun Teo terasa seperti sedang disudutkan. Memang apa salahnya pergi makan dengan teman di luar, dia tidak melakukan tindak kriminal.

Teo menghela nafasnya panjang. "Terus kenapa lo nelpon gue?" tanyanya.

Varel melirik ke dalam restoran dan tidak sengaja bertatapan dengan Dean yang juga tengah memperhatikan mereka berdua, Dean mengangguk samar dan tersenyum ramah menyapa dari jauh sedangkan Varel justru langsung membuang wajahnya. Dia tidak menyukai sikap ramah tamah yang menurutnya hanya tipuan sesaat.

"Lo udah kelar makan kan? Kalau gitu sekarang pulang sama gue aja," ajak Varel yang langsung menarik lengan Teo berniat mengajaknya masuk ke dalam mobil, namun ditahan begitu saja.

"Gue gak bisa pulang sama lo, Varel." Teo menarik tangannya yang dipegang, menatap tepat ke wajahnya. "Gue ke sini sama Dean, gue yang ngajak dia jadi gue gak bisa ninggalin dia gitu aja. Dia udah bantuin gue, jadi gue pengen traktir dia makan malam."

"Biar gue yang bayar, lo pulang aja sama gue," kata Varel masih bersikeras, kedua alisnya terlihat saling bertautan. "Gimana kalau efek minuman dari Russel masih ada? Gimana kalau tiba-tiba lo butuh gue lagi dan gue gak ada? Emangnya lo mau nangis minta dia buat nyentuh lo---"

Teo berjinjit dan langsung menutup mulut Varel dengan tangan begitu arah pembicaraan mereka semakin berbahaya. Kenapa tiba-tiba pria itu jadi banyak bicara seperti ini di luar. Demi apapun mereka berdua masih di tempat parkir!

Wajah Teo mulai terasa memanas, topik ini sangat sensitif baginya. Dia sudah berusaha melupakan kelemahan dari tingkah menggelikannya beberapa waktu yang lalu itu namun dengan entengnya Varel kembali mengingatkannya. Teo bahkan tidak yakin jika itu benar-benar dirinya yang menggoda dan merengek pada Varel atau bukan.

"Lo pulang sendiri," kukuhnya yang tetap menggeleng. Teo melepas tangannya pada mulut Varel dan beralih mendorong sosok tinggi itu ke arah mobil. "Gue masih ada urusan."

"Urusan apa?"

"Bukan urusan lo," sahut Teo cepat ketika menjawab. Tidak mungkin dia bilang bahwa urusannya menyangkut masa lalu Varel di depan wajah orang tersebut secara langsung. Varel pasti akan langsung menariknya pergi detik itu juga jika dia tahu, Teo tidak mau merusak hubungannya yang sudah mulai membaik sekarang. Dia bertekad di dalam hati sejak lama akan membantu dan menyelesaikan masalah Varel bersama jika memungkinkan.

To be continued

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top