Chapter 13

Membacanya dengan seksama, Varel berusaha untuk memahami lebih dalam mengenai musuhnya dari masa lalu melalui berkas yang baru saja diserahkan oleh Daniel. Tidak dipungkiri jika Wolix adalah salah satu dari targetnya selama ini yang tersisa, hal itu membuat amarah dalam dirinya semakin meluap begitu mengetahui keberadaan orang tersebut. Rencana Daniel pun tampaknya sudah tersusun dengan sangat rapih, semua latar belakang yang selama ini ia kumpulkan sudah diserahkan kepada Varel ketika mereka berdiskusi di ruangannya.

"Kita cuma butuh satu orang untuk jebak dia," ujar Daniel mengakhiri penjelasan panjangnya kepada Varel yang terlihat sedikit bimbang. Tampaknya pria itu masih sibuk berkelana di pikirannya hingga tidak mau repot untuk merespon.

Pria yang lebih tua itu pun menghela nafasnya panjang, menutup dokumen di tangannya dan menaruhnya di meja lalu menatap lurus ke arah sang ponakan yang duduk tepat di sebrangnya.

"So, you sure?" tanya Daniel yang kini sudah melipat kedua tangannya di depan dada, menatap dengan serius. "Gue gak mau lo nyesel setelah ngelakuin semuanya."

Mendengar keraguan pamannya itu langsung membuat Varel mendengus kesal, ia membuang mukanya dan mundur ke sandaran kursi. Setelah semua masa kelam yang turut dilakukan perusahaan Wolix pada keluarganya dahulu, mana mungkin ia tidak yakin untuk melakukan semua ini. Niatnya untuk membalas dendam tidak pernah luntur barang sedikitpun. Varel tidak lupa dan tidak akan pernah lupa.

"They never even thought before destroying my family, why should I hesitate then?"

Daniel sangat paham, Varel memang tidak bisa dihentikan. Oleh karena itu ia pun dengan sukarela membantu dan mencari jalan teraman tanpa mengambil banyak resiko.

Rencana mereka sangat sederhana, membaca informasi yang ia temukan anak dari perusahaan Wolix yang bernama Russel itu rupanya sempat memiliki bisnis gelap tentang penjualan pelacur, terlebih ia juga dirumorkan menyukai sesama jenis. Meski semua itu hanya dilabeli oleh gosip namun banyak yang percaya bahwa hal itu adalah benar namun tidak ada yang pernah berani untuk membuktikannya. Daniel berencana untuk menjadikan itu titik lemah menyerang mereka dengan menjebaknya. Sejujurnya mudah saja karena Russel juga terobsesi pada Varel sejak lama, alasan dia pindah ke sini pun kabarnya untuk mencari Varel yang sudah lama menghilang namun Daniel tentu saja tidak mau membuat Varel terlibat secara langsung dan mengambil resiko. Mereka kembali ke negara ini bukan tanpa sebab. Untuk sekarang tidak boleh ada yang mengetahui keberadaannya, akan lebih aman jika orang lain yang pergi menyamar menjadi dirinya.

"Kalau gitu kita tinggal cari orang buat gantiin lo temuin dia--"

"Gak perlu," potong Varel lebih dulu sebelum Daniel berhasil menyelesaikan kalimatnya. Daniel mengernyitkan dahinya bingung.

"Gue udah bilang kan lo gak bisa--"

"Gak perlu cari orang lagi." Kembali ucapan Daniel dipotong olehnya, dengan wajah tenang ia menatap sang paman. "Gue udah punya orangnya," ujarnya begitu tenang. Melihat raut wajah bingung yang Daniel tunjukkan, Varel pun bangkit dari kursinya dan pergi. Sebelum benar-benar pergi, ia menoleh sebentar dan tersenyum kecil.

"Siapin tempat dan jadwalnya aja, gue bakal bawa orangnya ke sana nanti," ujar Varel yang kemudian melanjutkan langkahnya dan menghilang dari ruangan itu.

.

.

.

Teo tidak paham ada angin apa yang tiba-tiba membuat Samuel hari ini tidak menempel padanya seperti beberapa hari yang lalu. Meskipun ia merasa cukup lega tidak lagi diikuti seharian penuh oleh anak itu, namun di dalam hati kecilnya yang terdalam Teo juga merasa khawatir.

'Dia baik-baik aja kan?'

Baru saja akan mengecek Samuel, langkah kakinya harus dihentikan karena ada seseorang yang muncul di hadapannya begitu saja. Teo reflek berhenti dan mundur satu langkah, mendongak lalu menatap pria bertinggi mungkin lebih dari 180 centimeter itu dengan tatapan bingung.

"Gue mau ke asrama, gue mau ngecek Samuel di sana. Dia seharian ini belum muncul sama sekali di depan gue," kata Teo yang entah mengapa menjelaskan begitu saja tanpa disuruh. Lagipula Varel juga pasti akan bertanya nantinya, pikir Teo.

"Dia gak ada di asrama," jawab Varel dengan wajah tanpa ekspresinya seperti biasa jika Teo sudah membicarakan tentang Samuel. "Dia pergi bareng anak magang yang lain," lanjutnya lagi menambahkan ketika melihat wajah Teo yang tampak tidak percaya.

"Kemana?"

"Praktik di rumah sakit umum kota, bareng pembimbing mereka. Dokter Hendri juga ikut ke sana lo bisa tanya dia langsung," kata Varel lagi menjawab dengan tenang. Teo tahu soal itu, dokter Hendri memang sudah pernah menunjukkan surat undangan tentang praktik itu kepadanya tempo lalu. Tidak disangka jika Varel juga tahu bahkan lebih tahu tentang jadwal kegiatan itu daripada dirinya.

Akhirnya Teo pun hanya memberikan oh kecil sebagai respon. Setelah merasa lebih tenang sekarang ia berniat untuk kembali ke ruangannya, namun belum sempat pergi pria jangkung yang masih berdiri di depannya ini sudah lebih dulu menariknya pergi entah kemana tanpa persetujuannya.

Mereka tiba di lobby dan terlihat Varel mulai mengeluarkan ponselnya, Teo ingin bertanya namun melihat Varel yang menaruh ponsel ke telinga membuatnya mengurungkan niat, tidak sopan jika dia menyela pembicaraan orang lain.

"Gue udah siap," kata Varel yang tidak tahu sedang bicara dengan siapa. "Dia ada sama gue," katanya lagi sambil melirik ke arah Teo membuat yang dilirik langsung mengerutkan dahinya, kebingungan.

"Hotel Alexis nomor 118? Oke."

Setelah mengatakan itu Varel pun langsung menaruh lagi ponselnya ke saku dan kembali menarik Teo ke basement sekarang. Meskipun Teo tadi tidak bisa mendengar pembicaraan mereka sepenuhnya, tapi pria itu tidak bisa untuk tidak curiga. Dia merasakan perasaan tidak enak seketika.

"Tunggu, lo mau bawa gue kemana?" tanya Teo yang panik berusaha menahan dirinya ketika Varel menyuruhnya untuk masuk ke dalam mobil.

Varel menaikkan sebelah alisnya. "Bukannya tadi lo udah denger sendiri? Hotel Alexis nomor 118." Jawaban ini sama sekali tidak membantu Teo, dia tetap tidak yakin apa yang berusaha Varel lakukan kepadanya.

"Maksud gue ngapain kita ke hotel? Gue masih ada kerjaan, ini belum jam pulang," ujar Teo beralasan. Mendengar alasan itu membuat Varel tertawa meremehkan.

"Lo yang punya rumah sakit ini kenapa harus khawatir sama jam pulang?" Sebelum Teo kembali bersuara Varel sudah lebih dulu menyelak. "Gue direkturnya dan gue ngizinin lo buat pulang lebih cepet, sekarang masuk ke mobil."

Pria itu kini maju, menunduk hingga wajah mereka hanya tersisa beberapa centi saja. "Lo bilang mau bantu gue kan, Teo?" bisik Varel dengan suara rendah tepat di depan wajahnya sambil tersenyum tipis. "Sekarang waktunya lo buat bantu gue, lo yang mau gue sembuh."

Seperti tersihir oleh kalimat itu Teo tidak lagi memberontak dan hanya menurut, bahkan ketika mereka berhenti di sebuah tempat untuk mengganti pakaian dia tetap tidak banyak berkomentar. Dia tidak tahu akan melakukan apa namun mendengar bahwa ia bisa membantu perasaannya langsung berubah. Setelan jas berwarna biru gelap dan kemeja putih gading sudah terpasang rapih di tubuhnya. Tidak butuh waktu yang lama untuk sampai di tempat tujuan, sebelum benar-benar masuk Varel memasangkan sesuatu ke dalam kerah kemejanya.

"Alat perekam suara," ujar Varel setelah selesai memasangkan benda kecil itu dengan sangat baik tanpa terlihat dari luar. Ia lalu menatap Teo. "Biar gue tetep bisa denger suara kalian dari jauh," katanya lagi yang seketika membuat Teo tersadar.

"Tunggu dulu, maksudnya?" Teo menahan pergelangan tangan Varel. "Suara kalian, gue bakal ketemu siapa emangnya? Lo gak ikut ke dalem?" tanya pria itu agak panik ketika tahu dirinya harus masuk ke dalam sendirian.

"Lo harus masuk sendiri," balasnya. Varel melirik tangan Teo yang menahan lengannya sekilas, kemudian melepaskannya. "Kita gak bisa masuk bareng karena lo harus nyamar jadi gue," tambahnya lagi.

"Nyamar jadi lo...?"

Varel mengangguk kecil. "Jangan pernah sebut nama lo, Teo. Cukup masuk ke dalam dan ikutin semua alurnya, turutin semua yang dia lakuin. Gue bakal tetep mantau lo dari tempat lain," jelas pria itu kemudian menepuk-nepuk pelan kepala Teo.

Pada akhirnya Varel pun meninggalkannya sendirian di sana, dia sudah memberitahu letak ruangannya jadi Teo bisa langsung pergi ke sana. Tanpa tahu dengan siapa ia akan bertemu Teo tetap pergi dan masuk ke kamar nomor 118 tersebut.

Tidak terlihat ada tanda-tanda orang di dalam kamar yang ternyata luasnya di luar perkiraan Teo. Dia baru sadar jika ini adalah hotel mewah yang bahkan satu ruangannya bisa seukuran apartemen sederhana. Biasanya hotel seperti ini suka dijadikan tempat pertemuan pribadi orang-orang penting kaya raya yang tidak mau percakapannya terdengar sembarangan orang.

Terlalu banyak melamun membuat Teo tidak menyadari jika ada seseorang yang muncul begitu saja dari balik pintu, menatapnya yang sedaritadi memperhatikan sekitar dengan tatapan yang mencurigakan.

"Gak nyangka lo beneran dateng, Varel."

Suara itu berhasil mengejutkan Teo dari lamunannya, segera ia berbalik dan menatap pria tinggi berkulit putih yang memakai setelan jas berwarna cream itu. Melihat raut kewaspadaan yang terpancar di wajah Teo membuat pria itu tertawa geli, ia pun melangkah maju dan mendekat.

"Ternyata lo lebih tampan dari yang orang-orang bilang," katanya dengan nada menjijikkan. Teo rasanya ingin sekali muntah mendengarnya.

"Kenapa lo diem aja? Oh, apa gue harus ngomong pake bahasa inggris biar lo paham?"

Teo berdeham kecil sebelum menjawab. "Gak perlu bahasa inggris, gue paham," katanya agak kikuk. Mendengar suara Teo pria itu pun langsung tersenyum lebar.

"Suara lo bagus," pujinya kembali dengan wajah menyebalkannya, namun Teo sama sekali tidak memerlukan pujian itu.

"Nama gue Russel kalau lo lupa."

"Gue tau," jawab Teo cepat dengan wajah kalem. Mendengar celotehan pria bernama Russel itu sejak tadi, tampaknya mereka seharusnya memang sudah saling mengenal jadi dia berusaha untuk mengikuti permainannya saja.

Pria bernama Russel itu kembali tersenyum kemudian menyuruh Teo untuk duduk di sofa bersamanya sebelum melanjutkan pembicaraan. Tadinya Teo akan mengambil tempat di seberang, namun dengan kurang ajarnya pria berjas cream itu justru menarik pinggangnya dan membawanya duduk bersebelahan. Teo ingin sekali mengumpat tapi ia teringat dengan pesan Varel sebelumnya.

Cukup masuk ke dalam dan ikutin semua alurnya, turutin semua yang dia lakuin.

Teo menarik nafasnya panjang, dia tidak boleh emosi ini masih awal. Varel pasti juga sedang memantau mereka, jika dia macam-macam Varel pasti menolongnya. Itu yang ia percaya.

"Gue udah nyari lo dari lama di Inggris, Varel. Tapi gak disangka kita bisa ketemu setelah lo balik ke sini," kata Russel yang kembali memulai pembicaraan. Sebelah tangannya masih berada di pinggang Teo dan membuatnya merasa risih, Teo sangat yakin pria itu pasti menyadari gelagat tidak nyamannya namun ia tetap tidak bergeming.

"Lo tau, semua orang di Inggris bilang lo dirawat di rumah sakit jiwa makanya mereka gak pernah ngeliat lo selama ini. Ya termasuk gue, tapi gue tau semua itu cuma gosip." Russel tertawa kemudian, entah menertawakan apa. "Buktinya sekarang lo keliatan baik-baik aja, betul kan?" katanya sambil menyentuh dagu Teo dengan tangan satunya yang bebas. Posisi mereka jadi terlihat sangat mencurigakan dan wajah mereka terlalu dekat.

Teo sejujurnya tidak mengerti apa yang dibicarakan oleh Russel sejak tadi, tapi tidak bisa dipungkiri jika dia sangat penasaran. Semua itu pasti ada sangkut pautnya dengan masa lalu Varel yang selama ini ingin ia tahu. Jadi dengan menahan segala perasaan kesal dan risihnya, Teo mencoba menguatkan diri menatap wajah Russel yang sekarang hanya berjarak beberapa centimeter di depan wajahnya dengan tatapan tenang.

"Gue gak gila," kata Teo yang berhasil memainkan peran dengan meniru nada suara serta gaya Varel.

Russel tersenyum puas. Pria itu sudah mengenal Varel sejak lama, namun belum pernah bertemu secara langsung dengannya. Dia hanya mendengar kabar burung soal sifat dan bentuk rupa Varel selama ini, hal itulah yang menjadi pemicu ketertarikannya untuk menaklukkan Varel. Lelaki berparas tampan yang selalu menatap ke depan tanpa takut, dia selalu ingin bertemu dengan Varel. Tidak disangka jika semua yang orang-orang jelaskan di sekitarnya sangat tepat.

Russel ingin sekali menyerang Varel yang ada di dekapannya saat ini.

Tidak mau mengambil resiko terlalu cepat, pria berkulit putih itu pun akhirnya melepaskan Teo. Teo bisa bernafas lega sekarang, dia sudah tidak lagi harus berada di jarak yang sangat dekat dengan bajingan itu. Ia harus berterimakasih pada Dika, karena jika bukan karena Dika yang selalu melatih kesabarannya sejak awal kuliah, sudah pasti dirinya akan mengamuk dan memaki di detik Russel menarik pinggangnya tadi.

"Kita belum minum daritadi," kata Russel yang kini menyerahkan segelas minuman yang memang sudah tersedia di gelas kaca bening sejak awal kepada Teo.

Teo memincing sekilas, dia tidak pernah meminum minuman beralkohol sebelumnya. Tapi mau tidak mau akhirnya dia harus meminumnya sekarang. Russel melihat Teo yang mulai mengangkat gelas dan minum perlahan dengan tatapan yang aneh.

'Ngapain dia natap gue kayak gitu?' Teo yang terus ditatap jadi merasa ragu untuk menelan minumannya.

Rasa minuman yang asing membuat Teo mengernyitkan dahinya, dia pada akhirnya menghabiskan setengah gelas minuman itu dalam sekali teguk. Pria itu menaruh kembali gelasnya di atas meja dan menatap Russel yang rupanya masih setia memperhatikannya sejak tadi.

"Gimana rasanya, Varel?"

"Pahit."

Jawaban Teo langsung membuat Russel tertawa kencang, Teo tidak mengerti apa yang membuatnya tertawa. Apakah pria itu memang suka tertawa? Sejak tadi dia terus tertawa pada hal-hal kecil yang bahkan menurut Teo tidak ada yang lucu.

"Lo kayak anak kecil yang belum pernah coba minum alkohol."

'Gue emang gak pernah minum minuman beralkohol, sialan!' ujar Teo yang hanya bisa membalas dari dalam hatinya.

"Sekarang lo tinggal sendiri, hm?" tanya Russel kembali. Teo tidak tahu harus menjawab apa, dia tidak pernah tahu Varel tinggal dengan siapa. Terakhir kali dia pergi ke rumah Varel tidak ada siapapun, mungkin dia memang tinggal sendiri.

"Atau sekarang lo tinggal sama paman lo yang masih muda itu, siapa? Gue pernah ketemu dia sekali di pengadilan pas ayah lo—oh, my bad, gue malah bahas itu. Lo pasti marah kalau inget kelakuan ayah lo ya." Russel terus mengoceh dan membicarakan hal-hal yang tidak Teo mengerti soal rumah sakit jiwa, pengadilan, bahkan sekarang masalah ayahnya. Teo ingin sekali bertanya namun dia urungkan mengingat Varel bisa saja mendengar mereka sekarang.

Russel kembali menuangkan minuman pada gelasnya yang kosong, demi apapun yang ada di dunia ini, Teo sama sekali tidak mau minum itu lagi. Hanya setengah gelas saja tenggorokannya sudah terasa panas dan kepalanya seperti ditimpa beban berat, sangat pusing. Namun demi mengurangi kecurigaan Teo pun kembali menenggak habis minuman itu dengan terpaksa.

"Lo gak banyak omong sama kayak yang mereka bilang ya, Varel." Suara Russel mulai terdengar mengganggu di telinga Teo sekarang, pria itu sangat berisik bahkan lebih berisik ketimbang Samuel.

Setelah melihat gelas Teo yang sudah kosong, Russel kemudian ganti menuangkan minuman pada gelasnya sendiri dan itu adalah minuman yang berbeda!

Teo ingin protes namun pandangannya mulai sedikit kabur. Dia tidak mengerti ada apa dengan dirinya sendiri, padahal Teo tidak minum sampai dua gelas penuh. Apakah kadar toleransi alkohol di tubuhnya begitu rendah? Teo sendiri tidak tahu karena dia tidak pernah mabuk sebelumnya.

"Udah mulai?" tanya Russel sangat ambigu begitu melihat Teo mulai menyandarkan tubuhnya ke sandaran sofa sambil menutup mata dengan tangan kiri. Ia membantu Teo dan menariknya ke pundaknya, Teo mau menarik tubuhnya mundur namun pandangannya semakin kabur hingga membuatnya jatuh kelimpungan ke depan, tepat ke tubuh Russel.

"Varel."

Teo tidak bisa berpikir jernih, kepalanya pusing dan tubuhnya mulai terasa sangat aneh seperti ada sesuatu yang mengganjal. Dia bahkan mengabaikan semua ucapan Russel yang berusaha mengajaknya berbicara sejak tadi, dia tidak bisa mendengarnya dengan jelas.

Seperti setengah berhalusinasi, Teo tidak tahu sejak kapan tubuhnya diangkat oleh Russel hingga dibawa ke atas kasur berukuran besar yang ada di sana. Pria itu bahkan tanpa ragu memanjat ke atas tubuhnya dan memaksa Teo untuk mengangkat kedua tangannya. Russel menyelusupkan wajahnya ke leher Teo dan menciumnya di sana, pria itu juga menjulurkan lidahnya hingga membuat Teo menggeliat merasakan geli.

"Ah..."

"Russel," katanya menyebutkan nama. "Panggil nama gue, Varel. Panggil Russel."

Tidak ada sahutan apapun dari Teo, ia hanya fokus pada sentuhan yang Russel lakukan di tubuhnya. Seharusnya dia bisa mendorong pria itu, harusnya Teo cukup kuat untuk sekedar menendang selangkangannya dan kabur. Tapi yang ia lakukan justru diam menikmati semua perlakuan pria itu.

"Varel...nnh...."

"Varel?" Russel berhenti ketika ia sedang sibuk memberikan tanda dan gigitan pada bahu Teo. Pria itu mengerutkan dahinya, tidak mengerti mengapa 'Varel' mendesahkan namanya sendiri.

"Varel, sebut nama gue," perintah Russel yang mulai sedikit emosi. "Kalau lo gak manggil nama gue, gue gak bakal ngelanjutin apapun." Ia benar-benar mundur, berhenti menyentuh Teo sepenuhnya dan menatap kekacauan yang terjadi di bawah kukungannya tersebut.

Sepertinya Teo mulai gila, dia merasa kepanasan bahkan hanya karena ditatap. Tanpa mendengarkan perintah Russel sebelumnya dia mulai melepaskan kancing pakaiannya sendiri, berada di bawah tubuh Russel membuat udara di sekitarnya terasa terbatas dan semakin membuatnya gerah. Dia ingin pergi ke tempat yang lebih luas namun Russel menahannya.

"Varel, panggil nama gue."

Teo masih tidak menjawab.

"Varel, lo denger gue kan?" Russel terus mencoba untuk membuat Teo menyebutkan namanya, dia kembali menahan kedua tangan Teo hingga ia tidak bisa lagi menyentuh tubuhnya sendiri. "Varel panggil nama gue sekarang.

"Varel."

"Berisik, brengsek! Gue bukan Varel!" teriak Teo yang kelepasan karena kesal tangannya terus ditahan. Dia lupa bahwa saat ini dirinya harus menyamar, Teo seperti keluar dari akal sehatnya.

Mendengar pengakuan Teo membuat Russel langsung mengamuk, dia mencengram leher Teo dan menatapnya tajam.

"Kalau lo bukan Varel, terus siapa? Ada yang ngirim lo ke sini buat nipu gue HAH?!" tanya Russel yang meninggikan suaranya di akhir kalimat membuat Teo terkejut bukan main.

"JAWAB SIAPA YANG NGIRIM LO!" bentaknya di depan wajah Teo. Dia ingin menjawab namun cekikan Russel pada lehernya semakin kuat hingga rasanya Teo sangat sulit untuk berbicara. Teo memejamkan matanya, mulai berdoa untuk keselamatan dirinya. Ia tidak tahu harus apa selain berdoa, tenaganya hilang sejak meminum minuman tadi.

Sebelum sempat kehilangan kesadaran tiba-tiba pintu didobrak dan terlihat segerombolan orang datang, Teo tidak tahu siapa mereka tapi yang jelas ia melihat mereka semua langsung menangkap Russel dan membawanya pergi. Teo terbatuk begitu cekikannya terlepas, meraup oksigen sebanyak mungkin namun ketika ia mencoba untuk bangkit tubuhnya langsung limbung, beruntung seseorang segera menangkapnya sebelum ia jatuh ke lantai. Teo mendongak, tersenyum tipis begitu melihat wajah familiar yang baru saja menolongnya. Teo tahu dia pasti akan menyelamatkannya.

To be continued

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top