Chapter 12
Sudah tiga hari sejak Teo tinggal di tempat Reno dan Dika, pria itu sudah terlihat lebih baik sekarang. Luka di tubuhnya sudah memudar berkat perawatan yang baik dari Dika, Teo juga sudah terlihat baik-baik saja. Buktinya dia sudah bisa bertengkar dengan Reno, seperti sekarang.
"Lo ngapain sih ganggu gue terus?"
Teo berdecih. "Siapa yang ganggu lo? Orang gue ke sini nyari Dika," balasnya. Teo berlari masuk ke dalam kamar dan menghampiri Dika yang tengah sibuk mengerjakan pekerjaannya di meja.
"Dika lagi kerja."
"Gue bisa bantu."
Reno menggeleng dengan dramatis. "Gak mungkin, yang ada lo malah jadi beban gangguin dia mulu sampai gak bisa fokus."
Mereka kembali bertengkar kemudian, Dika menatap keduanya dan tersenyum kecil. Kalau begini ceritanya mereka berdua sama saja, sama-sama menganggu konsentrasinya. Dika tidak bisa fokus sama sekali dan berakhir mengalihkan perhatiannya untuk mendengarkan Reno dan Teo yang terus berdebat.
"Lo sampai kapan mau cuti?" Pertanyaan Reno berhasil membuat Teo terbungkam. Ini adalah topik paling sensitif untuknya sekarang.
Sejak Teo bersembunyi di tempat Reno, banyak hal yang sudah ia tinggalkan. Pekerjaannya sedang menumpuk di mejanya menunggu untuk diselesaikan. Samuel bahkan sudah mengirim banyak sekali pesan menanyakan keberadaannya, anak magang itu bilang ia pergi ke apartemen Teo namun tidak menemukan apapun. Beruntunglah ia karena Samuel tidak tahu alamat apartemen Reno jadi dia bisa bersembunyi dengan tenang.
"Kemarin ayah lo nelpon kan?" tanya Dika sembari menatap Teo. Dia sempat mendengar suara Teo yang berbicara dengan ayahnya ketika mau memanggil untuk makan malam. "Gue gak sengaja denger semalem."
"Iya, bokap gue tanya karena gue udah gak masuk tiga hari." Teo menjawab dengan nada lemah, mendesah kemudian menghela nafasnya. Dia tidak tahu apa ada yang mengadukan ini ke ayahnya atau memang Papa Teo tahu sendiri.
"Lo sampai kapan mau kabur kayak gini?"
"Gue gak tau, Dik."
Melihat Teo yang menatap ke bawah membuat Dika jadi tidak tega mendesaknya lagi, tapi sebagai seorang teman ini yang harus ia lakukan. Dia tidak bisa membiarkan Teo terus bersembunyi dari masalahnya.
"Lo gak bisa begini terus."
Teo tahu itu. Dia memang tidak mungkin terus bungkam dan menghindari semuanya. Teo hanya perlu waktu sedikit untuk menyiapkan hatinya, sebentar saja.
"Masih gak mau cerita?" Kali ini Dika sudah duduk lebih dekat pada Teo, bahkan Reno yang tadinya berada di atas kasur pun langsung turun untuk membicarakannya bersama.
"Gue diem aja dari kemarin bukan berarti gue gak mau tau," kata Dika lagi sambil menatap ke arah Teo dengan lembut. "Gue nunggu lo buat cerita sendiri."
"...."
"Kita bisa bantu lo, Teo. Lo ke sini juga artinya emang cuma kita yang bisa bantu lo sekarang, kan?" Reno ikut bersuara ketika melihat Teo yang hanya terdiam tidak menyahut sama sekali.
Teo bukan tidak mau cerita, hanya saja untuk mengingat rasanya hatinya terasa sakit. Dia tidak tahu bagaimana caranya menjelaskan, Teo juga tidak mau membuat khawatir lebih dari ini. Sejak dulu dia memang biasa untuk menanggungnya sendiri.
Namun begitu ia mendongak, melihat tatapan sedih Dika dan cemas Reno akhirnya membuatnya tidak bisa menolak untuk bercerita. Semua yang terjadi padanya beberapa hari yang lalu ia ceritakan. Dari awal saat ia berkonsultasi dengan Dean bahkan sampai ia nekat datang ke kantor Varel. Masih sangat jelas diingatannya bagaimana dirinya dicekik hanya karena ingin berusaha menolong, juga dirinya yang dihajar hingga sudut bibirnya terkoyak. Melihat keadaan lebamnya tempo hari mereka pasti bisa tahu seberapa kuat Varel yang memukulnya.
Teo melewatkan satu bagian penting yang juga sama menyakitkannya, dia tidak menceritakan bagaimana Varel yang bahkan sampai memaksa dirinya masuk tanpa persiapan hingga rasanya Teo seperti tersobek. Dia tidak memberitahu seperti apa ia menangis meminta berhenti namun justru ditampar, ia tidak menceritakan bagian menyedihkan itu. Setelah semuanya Varel bahkan langsung meninggalkannya tanpa memerdulikan Teo yang kesakitan. Tidak hanya badan yang sakit, namun hatinya juga terasa kelu dan sesak di dadanya. Varel sama sekali tidak berbalik waktu itu.
"Varel kayak gitu sama lo?" Ekspresi Reno berubah marah begitu selesai mendengar cerita Teo, apalagi ketika mendengar bahwa Varel meninggalkannya di akhir tanpa meminta maaf atau pun bertanggung jawab.
"Kenapa bisa-bisanya dia ngehajar lo separah itu cuma karena pengen bantu masalahnya, dia udah gila?"
Teo hanya mengangkat bahunya lemah, tidak tahu harus menjawab apa.
Melihat itu Dika pun langsung menepuk-nepuk punggung Teo dan mengelusnya lembut.
"Kenapa lo sampai nekat sejauh itu untuk ngebantu Varel?"
"Gue juga gak ngerti sama diri gue sendiri, No." Teo sudah pernah mencoba mencari jawaban tentang pertanyaan ini, tapi sampai sekarang dia sendiri juga bingung kenapa juga ia harus perduli dengan urusan Varel. Memangnya mereka apa selain hanya teman bahkan mainan masa lalu.
"Dulu kita pernah deket sama dia, wajar kalau lo khawatir saat tau Varel sakit. Lo tanpa sadar pasti merasa dia juga salah satu dari temen lo kan, Teo?"
Teo langsung mengangkat kepalanya begitu mendengar suara Dika, pemuda itu tersenyum begitu bertatapan dengan Teo.
"Gak ada temen yang ngehajar habis-habisan cuma karena temennya khawatir tentang masalahnya, Sayang."
Dika menggeleng samar. "Kita gak tau ada apa sama dia, Teo juga bilang ngeliat surat dari psikolog. Apa kamu bisa mastiin apa yang terjadi sama dirinya?" tanyanya sambil menatap Reno dengan tatapan tegas. "Varel emang salah dan di sini aku gak bela dia tapi aku juga gak mau nyalahin dia."
Melihat pertengkaran kedua temannya itu membuat Teo jadi merasa tidak enak, ini masalahnya, ia segera menengahi dan mengatakan bahwa dirinya sudah tidak apa-apa sekarang. Namun tampaknya Reno masih tersulut emosi, pria itu bangkit dan langsung pergi dari sana tanpa sepatah kalimat pun.
Dika menghela nafasnya panjang, tersenyum lemah pada Teo. "Biarin aja. Kalau emosi Reno emang suka menjauh, gak usah dipikirin. Dia cuma gak mau nyakitin kita." Teo pun mau tidak mau hanya bisa tersenyum paksa.
***
Di sisi ibukota yang lain, seorang pria tengah kalut mencari Teo dengan wajah paniknya bahkan sejak hari pertama Teo menghilang. Ia sudah menelepon semua bawahannya untuk segera mencari keberadaan pria itu sampai akhirnya menemukan jawaban bahwa saat ini Teo berada di tempat Reno, bersama dengan Dika juga. Wajahnya melunak begitu mendengar kabar tersebut namun tidak mengurangi rasa resahnya.
"Dia aman sama Dika sekarang," ujar Daniel yang mencoba untuk membuat bosnya lebih tenang. "Teo gak kabur dia cuma sembunyi, lo gak usah panik." Daniel kembali bersuara seakan bisa membaca pikiran pria itu dari tatapannya.
Varel berdecih.
"Dia bakal balik sendiri kalau dia mau, Teo gak mungkin ninggalin rumah sakitnya gitu aja. Dia gak sebodoh itu," jelas Daniel lagi.
Sudah cukup mendengarkan laporan dari Daniel, Varel pun ingin pergi. Namun saat dirinya baru akan bangkit dari kursi Daniel sudah lebih dulu menahan pundaknya, menatapnya dengan tatapan yang sangat datar.
"Mau kemana?"
"Bukan urusan lo."
Pria yang lebih tua itu menghela nafasnya samar. "Percuma kalau lo samperin dia sekarang, lo gak mikir kalau temennya mungkin bakal ngehajar lo?" katanya yang terlihat mengerutkan keningnya.
"Gue gak takut sama Reno."
Varel mencoba untuk kembali bangun namun sekali lagi Daniel menahannya dan menggeleng. "Stop, kalau lo gak mau bikin Teo beneran pergi. Gue serius Varel." Gertakan Daniel barusan berhasil membuat Varel terdiam tidak ada perlawanan.
Selama itu dia benar-benar tidak mencoba untuk menghampiri tempat Teo bersembunyi. Dia hanya memantau lewat orang lain dan terus memastikan bahwa Teo tidak pergi kemanapun tanpa sepengetahuannya. Nyatanya Teo tidak akan bisa pergi dan tidak akan pernah.
Hari keempat akhirnya Teo kembali memunculkan wajahnya di rumah sakit, beberapa orang tampak menyadari ketidakhadirannya beberapa waktu lalu dan bertanya. Namun seperti tidak ada masalah apapun ia akan menjawab dengan senyum lebar bahwa dirinya tidak apa-apa. Samuel sebagai orang pertama yang paling khawatir di rumah sakit, begitu mendapat kabar bahwa Teo sudah masuk, langsung berlarian seperti dikejar sesuatu ke ruangan Teo.
"Lo kemana aja?! Gue telpon gak diangkat, gue ke apartemen lo juga gak ada," omel Samuel yang tampak khawatir sambil mengguncang-guncang tubuh Teo agresif.
"Aduh sakit!" Teo mencoba melepaskan tangan Samuel. "Kayak yang bisa lo liat, gue gak apa-apa. Gak usah lebay deh."
Samuel tidak terima dengan jawaban itu. Ia segera membanjiri Teo dengan berbagai macam pertanyaan seharian penuh hingga rasanya kepala Teo hampir meledak, beruntungnya di sore hari Samuel mendapatkan tugas jaga membuatnya mau tidak mau harus berpisah dengan Teo lagi. Akhirnya sore hari itu bisa dilalui Teo dengan tenang di ruangannya.
Banyak sekali pekerjaan dan laporan yang tertinggal, semua langsung ia kerjakan hari itu juga. Teo tidak boleh mengecewakan ayahnya yang sudah memberikannya tanggung jawab, dia tidak bisa menyepelekan hanya karena masalah pribadinya. Setidaknya itulah motivasi Teo untuk bisa menyelesaikan semua pekerjaannya hingga tepat pukul sebelas malam.
Teo baru sadar dia belum makan apapun selain sarapan yang dibuat Dika pagi tadi, sekarang perutnya terasa seperti berdemo. Namun dia tidak mau makan di luar dan memilih untuk langsung pulang ke apartemennya saja. Dia bisa masak sesuatu yang simpel untuk makan malam nanti.
Jalanan malam itu tidak terlalu ramai membuatnya hanya memerlukan waktu sebentar untuk sampai ke apartemen. Teo sudah tiga hari meninggalkan tempat ini, terakhir kali dia pulang pria itu belum sempat membersihkan ruang tengah jadi sudah dapat dipastikan di dalam sana akan sedikit berantakan. Mungkin sebelum membuat makan malam dia akan membersihkan apartemennya sebentar.
Teo tidak ingat apa terakhir kali dia lupa mematikan lampu ruang tamu atau tidak, tapi begitu ia masuk apartemen itu tampak sangat bersih dan lampunya menyala. Bahkan ruang tengah yang sebelumnya dia ingat dengan jelas masih berantakan kini sudah bersih dan rapih. Ketika pikirannya tengah berkelana tanpa sadar seseorang keluar dari dalam ruangan dan berdiri di hadapannya.
"Udah pulang, hm?"
"Kenapa lo bisa ada di rumah gue?" tanya Teo langsung sambil menatap Varel yang ada di hadapannya dengan tatapan takut seperti baru saja melihat hantu. Tidak menjawab pertanyaan Teo, pria itu justru balik bertanya dengan kedua tangan terlipat di depan dada.
"Lo kabur?"
Teo tidak menjawabnya membuat Varel langsung tersenyum sinis. "Lo tau gue bisa ngelakuin apa aja kalau sampe lo kabur kan, Teo?"
Pertanyaan Varel seperti sedang meledeknya dengan kenyataan pahit. Teo memang tidak pernah bisa pergi ia sudah tahu tanpa perlu ditekankan seperti itu, ia sangat tahu.
"Gue tau dan gue gak kabur."
Teo terlihat pasrah ketika menjawabnya, suaranya juga mulai terdengar sedikit parau, pria itu mengalihkan pandangannya ia tidak mau menatap Varel lebih lama lagi. Varel menyadari perubahan pada suara Teo dan mulai melunakkan ekspresinya yang sejak tadi kaku. Ia menatap lelaki yang tengah menunduk di depannya dengan wajah lesu dan bibir yang sedikit pucat karena Teo belum makan apapun sejak pagi dan terus bekerja hingga tengah malam.
Varel merasa aneh, ia tidak biasa melihat Teo yang selemah ini. Seharusnya Teo masih tetap menatapnya meski dengan tatapan benci sekali pun.
"Sorry."
Teo yang sejak tadi tidak mau menatap Varel pun terkejut ketika mendengar pria itu baru saja mengatakan kata maaf. Padahal sejak tadi pikirannya tidak bisa tenang karena takut Varel akan menyakitinya lagi, namun tidak disangka ketika Teo mengangkat wajahnya hal yang pertama ia lihat adalah wajah menyesal Varel. Teo sedikit tersentuh melihatnya, namun sebisa mungkin ia tetap memasang wajah biasa.
"Untuk?"
"Gue minta maaf udah kasar sama lo," katanya masih dengan tatapan menyesal. Teo tidak tahu apa yang membuat pria dingin dan keras kepala itu akhirnya meminta maaf padanya. "Gue emosi waktu itu dan sialnya justru gue lampiasin ke lo tanpa mikirin perasaan lo."
Tidak ada balasan apapun, Teo masih terdiam berdiri di tempatnya bahkan saat Varel mulai mendekatinya pun ia tetap diam seolah membeku. Raganya seakan terlepas, dirinya tidak mengerti mengapa ia tidak bergerak meski kini Varel mulai menciumnya dengan perlahan. Gerakannya begitu pelan seakan takut melukai bibir itu jika ia bergerak cepat. Teo memejamkan matanya, membiarkan Varel menciumnya tanpa perlawanan apapun. Rasa lelah yang sejak tadi ia tahan pun keluar dan membuat tubuhnya terasa mulai lemas hingga Teo pun akhirnya kehilangan kesadarannya.
Beberapa hari kemudian semua kembali menjadi normal seperti sediakala, Teo sudah kembali aktif bekerja di rumah sakit. Hanya ada satu hal yang berbeda di sini, anak magang yang paling dekat dengannya semakin menempel pada Teo semenjak kejadian itu.
Samuel seperti tidak mau lepas sedikitpun dari Teo barang sedetikpun. Ia sering terlihat di sekitar Teo berada, tidak di rumah sakit, di kantin ataupun di kafe. Lelaki itu bagai perangko yang selalu lengket kepadanya. Bahkan ia sudah beberapa hari belakangan sering menginap di tempat Teo, alasannya karena takut Teo menghilang lagi seperti kemarin. Tentu saja Teo sudah melarangnya dan beralasan Samuel tidak akan bisa karna harus berjaga di asrama rumah sakit. Tetapi entah bagaimana kepala rumah sakit di sana justru mengizinkan dan membiarkan Samuel untuk tinggal di rumahnya, katanya ayah Teo pun khawatir jikalau ia sakit lagi tidak ada yang bisa merawatnya. Teo akhirnya hanya bisa pasrah membiarkan anak magang yang cerewet itu menginap.
"Lo sampe kapan mau numpang di tempat gue?" Pertanyaan yang Teo lontarkan barusan membuat Samuel yang baru saja akan menggigit kentangnya jadi terurungkan. Pria berkepala dua itu memberenggut.
"Lo ngusir gue?"
"Iya," jawab Teo enteng tanpa jeda ataupun raut wajah ragu sedikitpun. Samuel berdecih.
"Gue di sini tuh buat jagain lo tau gak."
Mendengar alasan itu untuk yang kesekian kalinya, Teo memutar bola matanya malas. "Gue bukan anak kecil tau gak?" balasnya dengan nada yang sama persis seperti Samuel.
Pria itu mendelik. "Gue takut lo hilang lagi, emangnya dipikir gue gak panik apa pas tau lo tanpa kabar ilang dan muncul gitu aja? Gue sampe nyamperin apartemen lo tiap hari tapi ternyata kosong."
Teo meringis kemudian menghela nafasnya panjang, ini memang salahnya yang menghilang tiba-tiba tanpa jejak. Sejujurnya Teo sedikit heran, kenapa Samuel bisa sampai selebay ini hanya karena dirinya pernah izin dan menghilang selama tiga hari. Itu hal yang cukup wajar, dia tidak seperti hilang satu tahun penuh.
Di sisi lain terlihat Daniel yang tengah sibuk di mejanya tiba-tiba melihat sang atasan yang baru saja keluar dari ruangan dengan wajah kesal terlihat akan pergi entah kemana, pria itu bahkan tidak mau repot menatap ke arahnya meski baru saja melewatinya.
"Varel, lo mau kemana?" tanyanya sedikit berteriak karena langkah Varel tidak berhenti dan semakin menjauh.
"Rumah sakit."
Kini Daniel sudah berada di depannya, menghalangi pintu lift agar Varel tidak bisa lewat membuat pria itu langsung mengernyitkan dahinya ingin protes.
"Minggir," perintah Varel singkat namun penuh penekanan. "Gue lagi gak mau berantem sama lo." Tanpa merasa takut pekerjaannya akan hilang, Daniel memutar bola matanya di depan bosnya tersebut.
"Mau ngapain lagi lo ke sana? Bukannya dokter itu udah balik, mau cari apalagi sekarang?" Baru saja Varel akan menjawab, namun suara Daniel sudah kembali terdengar memotong ucapannya. "Jangan jawab 'bukan urusan lo' lagi gue udah muak."
Varel berdecih, mau tidak mau ia pun mengalah dan mundur selangkah lalu melipat kedua tangan di depan dada dengan angkuh. "Gue mau kasih pelajaran ke anak magang yang ada di sana," katanya pada akhirnya memberitahu niatnya, namun Daniel tampaknya sama sekali tidak mengerti.
"Anak magang?"
"Ya," balas Varel. "Ada anak magang kurang ajar yang ganggu dan bahkan sampai tinggal di rumahnya. Gue mau buat dia punya banyak kerjaan di rumah sakit ketimbang harus ganggu Teo gak jelas kayak gitu, dia selalu ngurusin urusan Teo," gerutunya dengan wajah yang sangat menyeramkan namun hal itu justru membuat Daniel melongo dan tertawa geli.
"Gak ada yang lucu." Varel menatap Daniel dengan kedua alis yang bertautan, ia tidak mengerti kenapa pamannya harus tertawa padahal ia sedang kesal.
"Lo gak sadar diri ya."
"Maksud lo?"
Tidak mau menjelaskan lebih lanjut, Daniel pun hanya berdeham dan mulai merubah raut wajahnya.
"Daripada ngurusin itu, gue punya berita penting buat lo," ujar Daniel yang terdengar serius. Ia menoleh ke kanan dan kiri untuk memastikan tidak ada orang lain di sana sebelum melanjutkan ucapannya. "Anak direktur perusahaan Wolix yang selama ini lo cari lagi ada di sini."
Mendengar hal itu kerutan di dahi Varel pun menghilang, rahangnya mengatup keras seperti sedang menahan amarah. Orang yang selama ini sudah ia cari sejak berada di Inggris ternyata ada di negara yang sama dengannya sekarang. Orang yang turut andil dalam menghancurkan Varel dahulu kala.
"Dimana?" Daniel sadar jika Varel saat ini mungkin bisa saja membunuh seseorang, oleh karena itu ia langsung menenangkan. Memberitahu bahwa dirinya tidak bisa sembarangan meski sudah berada di puncak, masa lalu di dalam keluarganya bisa terulang jika ia melakukannya dengan gegabah. Tuduhan atas pembunuhan bukan perkara yang sepele.
"Lo gak bisa buru-buru," kata Daniel bersuara. Sebelum Varel sempat protes ia sudah memotong lebih dulu. "Gue punya rencana, kita bahas ini di dalem, oke?" Mau tidak mau akhirnya Varel pun mengurungkan niatnya pergi dan ikut bersama Daniel kembali masuk ke ruangannya. Di dalam hati ia bertekad, semuanya harus berhasil untuk kali ini.
To be continued
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top