Chapter 10

"Pak Zardian darimana?"

Langkah kaki Varel terhenti begitu mendengar suara sekretarisnya menyapa begitu ia masuk ke dalam ruang kerjanya. Setelah sempat berdebat kecil dengan Teo pagi ini di rumah sakit, pada akhirnya Varel memilih untuk kembali ke kantor karena tidak mau sampai harus bertengkar jika dirinya masih tetap di sana. Namun bukannya merasa tenang sekarang ia justru diganggu oleh satu-satunya orang yang berani melawannya, yaitu sekretarisnya sendiri.

"Rumah sakit," jawab Varel singkat tanpa menatap ke arah pria dengan setelan jas rapih itu sama sekali, dia berusaha untuk menghindari kontak mata.

Sosok di sudut ruangan tersebut menaikkan sebelah alisnya. "Ke rumah sakit buat urusan pekerjaan, atau nemuin dokter itu lagi?" tanyanya seraya memincing curiga dari meja tempatnya biasa bekerja. Varel yang mendengar sindiran tersebut langsung melirik dengan pandangan tak suka.

"Kenapa emangnya?"

Si sekretaris bangkit dari kursinya dan mulai berjalan menghampiri Varel, tangannya bahkan sudah terlipat rapih di depan dada, bersiap untuk mengomeli atasannya. "Lo sebenernya kenapa bisa semudah itu ngasih suntikan dana ke rumah sakit kecil kayak gitu?" tanyanya yang sudah tidak memandang lagi status di perusahaan dan berbicara non-formal.

Sekretarisnya yang tak lain adalah pamannya sendiri.

Varel berdecih melihat tingkah Daniel—sekretarisnya—sudah mulai sok menasehatinya kembali. Pria itu memang sering menggunakan kaya 'paman' untuk tameng agar bisa dengan puas mengomeli juga menasehatinya setiap saat dan hal itu tentu saja terkadang membuat dirinya muak melihat tingkah Daniel yang satu itu, padahal umur mereka berdua hanya berbeda tipis bagai kakak dan adik.

"Bukan urusan lo."

"Ini urusan gue, kalau lo lupa gue di sini juga bantu biar perusahaan kakak ipar gue gak ancur gitu aja," tekan Daniel mencoba mengingatkan Varel kembali bahwa dulu perusahaan hampir bangkrut sejak kematian kedua orang tuanya.

Mendengar kalimat barusan membuat mood Varel semakin memburuk. Hal yang paling tidak ingin ia ingat adalah waktu dimana ketika perusahaan yang sudah susah payah keluarganya buat hampir saja hancur dan di ambang batas, dia sama sekali tidak ingin mengingat hari itu namun sepertinya Daniel kurang peka dengan kondisi Varel hingga dengan mudahnya mulut pria itu kembali menyebutkannya dengan gamblang.

"Sekarang lo ngaku ke gue, sebenernya siapa dokter itu?" tanya Daniel lagi yang menyadarkan Varel jika sedaritadi dirinya hanya terdiam sambil meremat kedua tangannya. "Apa hubungan kalian sebenernya?" tambah pria itu lagi semakin mencari tahu membuat Varel langsung memutra bola matanya malas.

"Teman SMA," jawabnya singkat.

"Cuma temen SMA?"

Varel berdecak kesal. Pamannya ini tidak akan mau berhenti mengusiknya jika ia tidak segera memberikan jawaban yang memuaskan, dan Varel sudah sangat lelah. Pria itu menyandarkan punggungnya ke kursi sambil mengusap wajahnya kasar. "Okay, you got it! Lo tau gue gimana pas SMA, and yeah, dia salah satu mainan gue," ujar Varel. Namun Daniel sama sekali tidak merasa puas dengan jawaban itu.

"Cuma mainan?"

"What do you want from me, hah?"

Daniel masih setia pada posisinya berdiri di depan meja sambil bersedekap dada, menatap Varel yang tampak setengah frustasi di kursi kebangsaannya. "Kalau lo lupa, status gue masih your uncle," balas Daniel yang menekan kata uncle pada ucapannya.

"Yes, yea old man." Varel langsung membuang mukanya, dia malas terus ditatap penuh selidik seperti itu oleh Daniel seakan sedang diintrogasi. "Tapi lo cuma lebih tua sembilan bulan dari gue," timpalnya lagi menambahkan.

Daniel yang mendengar perlawanan tersebut pun langsung mengernyit sebal. Ponakannya yang satu ini memang terkenal urakan sejak dulu, tapi siapa sangka jika sifatnya akan semengesalkan ini. "Oke, kembali ke intinya. Jadi lo rela buang banyak uang demi orang yang katanya mainan lo itu?" tanya Daniel sekali lagi, dari raut wajahnya ia terlihat sama sekali tidak percaya kalau Teo hanya sekedar mainan bagi Varel. "Gue tau lo kaya, tapi seriously?"

"Hm."

"Idiot."

Varel yang mendengar dirinya baru saja dihina pun langsung menggeram kesal. "Fuck you."

Melihat Varel yang sudah membuang muka dan tampak kesal, Daniel pun menghela nafasnya. Pria itu lalu memberikan kode dengan mengedikkan dagunya ke arah meja.

"Gue udah nyelesaiin setengah laporannya, sekarang lo tinggal kerjain sisanya. Sebagai paman dan teman yang baik gue udah bantu ngerjain tugas lo," katanya yang menekan kata paman dan juga teman.

"Gue gak minta dibantu."

"Terserah." Daniel pun pergi keluar setelah cukup lelah berdebat dengan Varel. Namun sejujurnya di dalam hatinya yang terdalam, ia juga merasakan khawatir dengan keadaan Varel saat ini.

Ia tentu saja tahu masalah Varel.

"Jangan terlalu maksain diri, kalau ada apa-apa lo bisa bilang ke gue."

.

.

.

Beberapa hari berikutnya rumah sakit tampak sangat damai, tidak ada pasien yang menumpuk dan hanya beberapa yang melakukan check up rutin saja hingga membuat pekerjaan para dokter menjadi sedikit lebih santai dari biasanya.

Kesempatan emas itu tentu saja tidak akan disia-siakan oleh Teo begitu saja. Pria itu bahkan sudah merapihkan mejanya sejak pukul tiga sore tadi, ia berencana untuk pulang lebih cepat hari ini, atau bisa dibilang ia ingin melakunan sesuatu.

Baru saja keluar beberapa langkah, dari arah kamar jaga malam terlihat Samuel yang tampaknya baru selesai mandi—dilihat dari rambutnya yang setengah basah itu. Teo pun melambai ketika anak itu menyadari kehadirannya, dengan cepat ia langsung mendatangi Teo.

"Lo abis mandi?"

Samuel tersenyum lebar. "Kenapa? Wangi ya gue?" tanyanya balik langsung mendapatkan pukulan pelan di kepalanya.

"Rambut lo basah."

"Oh." Samuel menyentuh puncuk kepalanya dan menyadari bahwa ia tadi belum mengeringkan rambutnya dengan benar. "Jadwal hari ini gak terlalu padat, tadi gue disuruh liat operasi yang dipimpin Dokter Hendri. Terus karena gak ada apa-apa lagi abis itu jadi mending gue mandi," jelasnya.

"Lo mau kemana?" Kali ini ganti Samuel yang balik bertanya pada Teo. "Kok udah gak pake jas dokter, mau pulang?"

"Gue ada urusan."

"Urusan apa?"

"Gak usah kepo deh lo," balas Teo yang lalu tersenyum sok misterius. "Ini urusan penting."

"Gak sama Dean kan?"

Teo menaikkan sebelah alisnya, merasa raut wajah Samuel selalu saja berubah jika sudah menyebut nama seniornya itu. Ia jadi semakin penasaran dengan kejadian yang berhasil membuat mereka berdua menjadi bertengkar atau berebut seperti ini.

"Bukan Dean," jawab Teo yang membuat Samuel langsung menghela nafasnya lega. Wajah anak itu bahkan sudah kembali tersenyum cerah lagi.

"Yaudah kalau gitu, selagi bukan sama Dean gue gak masalah."

"Kalau pun sama Dean juga lo harus gak masalah dong."

"Gak bisa! Pengecualian buat dia." Samuel mendesis pelan dengan tatapan yang seperti penuh emosi. "Gue gak suka lo deket-deket sama dia, dia gak baik Teo!"

Ucapan Samuel yang menggebu-gebu membuatnya tidak tahu harus menjawab apa dan pada akhirnya hanya bisa pasrah, Teo pun menghela nafasnya.

Setelah itu pria bertinggi 175 cm tersebut pergi meninggalkan rumah sakit, Teo bilang pada Samuel jika dia memiliki urusan penting tadi, dan urusan itu sejujurnya berhubungan dengan Varel. Pembicaraannya dengan Dean tempo waktu membuatnya memiliki keinginan untuk mencari tahu lebih dalam, bisa dibilang dirinya terlalu nekad mengingat bagaimana sikap Varel yang selalu sulit untuk ditebak, tapi entah mendapat kepercayaan darimana dirinya tidak merasa ragu sama sekali.

Teo percaya Varel bisa berubah kembali menjadi seperti dulu.

Kakinya mendadak membeku di tempat ketika sebuah gedung tinggi di hadapannya terlihat menyapa. Sebelumnya dia sudah mencari tahu keberadaan Varel dari staff di rumah sakit dan pria itu katanya sedang berada di kantornya, tentu saja info alamat kantor Varel bisa ia dapatkan dengan mudah melalui ayahnya.

Mencoba meneguhkan hati sembari merapal doa di dalam hati, Teo pun akhirnya melangkahkan kakinya masuk ke dalam. Tempat ini tampak sedikit sepi dengan hanya segelintir orang yang berlalu-lalang, sangat damai namun juga terasa sangat nyaman. Teo terlena melihat interior kantor dan membuatnya hampir lupa dengan tujuannya datang ke sini.

Varel adalah pemimpin di perusahaan ini, sedikit sulit untuk Teo tadi mendapatkan akses bertemu saat di resepsionis. Namun ketika ia menyebutkan nama lengkapnya akhirnya dia diizinkan setelah wanita di resepsionis itu menelepon Varel langsung.

"Kenapa ke sini?" Suara Varel yang menyapanya pertama kali saat ia masuk. Tidak ada sekretarisnya di ruangan itu.

"Gue...." Teo tidak tahu harus beralasan apa, dia tidak mungkin mengucapkan maksud tujuannya secara to the point, tapi kepalanya tiba-tiba terasa kosong. Padahal sebelumnya dia sudah berlatih merancang pembiacaraan yang akan ia lakukan untuk memancing Varel.

Pria yang tengah terduduk di kursi kebangsaannya itu bersandar, menaikkan sebelah alisnya seakan bertanya melalui tatapan.

Melihat Teo yang tetap bungkam akhirnya membuatnya bangkit, ia membawa sang dokter dan duduk berhadapan di sofa putih yang memang ada di ruangan itu.

"Gue rasa lo gak mau bahas soal rumah sakit."

Tepat sekali, Teo memang datang bukan untuk membahas soal pekerjaan.

Varel menaruh siku di pinggiran sofa dan menopang wajah, tersenyum miring. "Lo selalu ngehindar di rumah sakit selama ini, kenapa sekarang malah dateng sendiri ke hadapan gue, hm?" tanyanya.

"Gue mau tanya soal surat yang gue baca di ruangan lo waktu itu." Akhirnya Teo berhasil mengucapkan satu kalimat yang sejak tadi terus tersangkut di tenggorokannya. "Surat yang bilang kalau lo sakit."

Pria itu mengangkat kepala---saat bicara tadi Teo mengalihkan tatapannya---dan sedikit terkejut melihat tatapan Varel yang langsung berubah menjadi dingin.

"Itu bukan urusan lo."

"Tapi---"

"Mau gue sakit atau enggak, itu bukan urusan lo, Teo." Varel bangkit dan berniat untuk kembali ke meja kerjanya, namun lengannya langsung ditahan oleh Teo. Dia sudah susah payah datang kemari, Teo tidak boleh menyerah begitu saja.

"Tolong dengerin gue dulu sebentar---"

"Lebih baik lo pergi sekarang karena gue gak mau bahas itu, jadi percuma aja." Varel mencoba untuk melepaskan tangan Teo yang masih menahannya, namun pria itu tetap kukuh dan bahkan sudah berdiri di sebelahnya.

"Varel, gue bisa bantu lo! Kalau emang ada yang perlu gue lakuin gue bisa bantu---"

"Oh ya?"

Tangan Teo yang tadinya dipakai untuk menahan digenggam balik oleh tangan Varel yang satunya. Keadaan sudah berbalik sekarang, pria yang lebih tinggi berkuasa dan menarik Teo agar mendekat padanya.

"Bener, ada yang bisa lo lakuin," kata Varel lagi sambil menatap Teo dari jarak yang cukup dekat. Teo menelan ludahnya samar. Varel mencoba untuk menciumnya tetapi berhasil ia hindari dengan mudah. Tidak, bukan seperti ini yang ia maksud.

Teo berusaha melepaskan dirinya, namun Varel justru semakin kuat mencengram tangannya. Semakin keras ia mencoba berontak semakin kasar pula perlakuan Varel kepadanya.

"Gue bisa lebih kasar dari ini kalau lo terus nolak dan berontak lagi." Peringat Varel ketika melihat Teo terus saja melawan.

Ia membanting tubuh Teo hingga terjatuh ke sofa panjang yang sebelumnya ia duduki, sebelah tangannya menekan leher Teo ke sandaran sofa lalu mencekiknya. Teo hampir tidak bisa bernafas ketika sebelah tangan Varel yang lainnya mulai merayap turun ke bagian dada dan semakin turun dengan gerakan perlahan yang sensual. Teo masih mencoba untuk melepaskan diri, wajahnya berubah ketakutan saat cekikan Varel semakin kuat menekan lehernya.

"Vha---rhel!" Dadanya mulai sesak, jika ini diteruskan Teo merasa akan segera mati.

Ketika oksigen di tubuhnya semakin menipis cekikan pada lehernya pun melonggar meski tangan pria itu masih berada di lehernya. Teo terbatuk-batuk, meraup oksigen dengan rakus, dia seperti baru saja merasakan rasanya berada di ujung maut.

"Kenapa ... argh, Varel!" Baru beberapa detik mencoba bersuara, tangan besar yang berada di lehernya itu kembali mencekiknya sampai ia sulit untuk berbicara lagi. Sudut matanya mengeluarkan air mata hingga ia tidak bisa menatap wajah Varel dengan jelas, semuanya buram. Cekikannya kembali terlepas, sekilas Teo dapat melihat pria itu justru tersenyum seakan puas melihat Teo yang tak berdaya dan lemah di bawah kendalinya.

"Kenapa, kenapa lo kayak gini? Gue gak ngerti kenapa lo berubah sampe sejauh ini...."

Varel mendekatkan wajahnya, senyumannya sudah luntur diganti dengan tatapan datar. "Karena gue suka," bisiknya dengan suara pelan tepat di wajah Teo. Senyuman kembali muncul di wajahnya kini lebih lebar dan lebih menakutkan dari sebelumnya sampai tubuh Teo bergetar.

"Gue suka liat lo ketakutan kayak sekarang, Teo." Tangan Varel berpindah mengelus pipi Teo yang basah karena air mata dengan sangat lembut hingga membuatnya merinding. "Gue suka liat lo nangis dan gak punya kekuatan buat ngelawan lagi," katanya dengan jari yang kembali menekan leher Teo.

"Badan lo bergetar sekarang, Teo." Varel tertawa pelan meremehkan. "Lo takut?"

Tidak ada jawaban karena Teo kini sudah memejamkan matanya dan menangis sambil terisak pelan. Jika memang ini waktunya untuk mati ia mungkin sudah siap, meski tubuhnya mulai menggigil begitu membayangkan apa yang akan Varel lakukan selanjutnya kepadanya. Teo sangat takut namun tidak bisa melawan.

"Hiks..."

"Satu hal yang selalu lo cegah dari dulu sekarang bisa gue lakuin kapan pun gue mau." Varel tidak menghiraukan tangisan itu sama sekali. Tangannya turun membuka bajunya, Teo masih mencoba sebisa mungkin menahan tangan itu agar tidak menyentuhnya meski percuma. Tangan pria itu berhasil masuk ke dalam celananya dan bahkan nyentuh milik Teo.

Varel mendekat ke telinga Teo. "Bukannya lo gak mau gue sentuh ini, hm?" Tangannya langsung meremat kuat milik Teo sampai si empunya meringis pelan.

"Please stop..."

"Bahkan meski dulu lo udah setuju buat tunduk di bawah gue, lo tetep gak ngebiarin gue buat sentuh lo."

"Varel tolong---"

"Kali ini permohonan lo gak akan berlaku lagi, Teo." Varel memotong lebih dulu dengan nada yang dingin. "Semuanya udah berubah."

To be continued

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top