Chapter 1
Tidak seperti biasanya, pagi ini tampaknya pria itu tengah disibukkan oleh beberapa urusan. Teo terus berkutat pada laptop di depannya, namun harus teralihkan ketika mendengar suara dering ponselnya yang ada di atas meja. Pria itu awalnya hanya melirik tanpa berniat untuk mengangkatnya, namun setelah beberapa menit telpon itu terus saja berdering membuat Teo akhirnya menghela nafas panjang dan menutup laptopnya.
"Aku lagi kerja, Pa."
Suara dehaman di sebrang telepon terdengar. "Papa mau kasih tau kamu kalau nanti siang ada meeting, kamu dateng ke kantor," suara berat yang terdengar sangat tegas terdengar. Itu adalah panggilan dari ayah Teo.
"Pa," suara Teo terhenti, ia menghela nafasnya lagi. "Papa udah janji sama aku kalau aku bisa bebas fokus di rumah sakit," katanya terdengar sedikit merajuk sambil menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi.
"Papa inget, tapi ini penting," kata ayah Teo kembali dengan suara sedikit memelan. Teo mengernyitkan dahinya, ia tidak berurusan dengan perusahan sang ayah, jadi dia tidak merasa ada hal penting yang harus dilakukan di sana. Tapi sebelum Teo kembali bersuara, ayahnya sudah lebih dulu menyahut. "Rumah sakit tempat kamu kerja itu bakal ada direktur baru."
Teo terkejut setengah mati mendengar penuturan tersebut, hampir saja ia melompat dari kursinya. "Papa jual rumah sakitnya?!"
"Enggak, Teo." Pria di sebrang sana menghela nafas samar, seperti sudah tahu akan reaksi sang anak ketika mendengar kabar ini. "Ada pemilik perusahaan besar dari Inggris mau dateng ke sini, Papa gak ngerti gimana, tapi direktur perusahaan itu nerima kerja sama dengan perusahaan punya Papa. Ini kesempatan bagus buat bikin kerja sama yang besar, Teo. Mereka terkenal dan hebat."
Mendengar suara Papanya yang berubah bersemangat membuat Teo semakin mengernyitkan dahinya. Apa sebesar itu pengaruh yang akan dibawa perusahaan besar yang sedang dibicarakan ini?
"Terus hubungannya sama rumah sakit apa?"
Tanpa Teo ketahui, Papanya tersenyum lebar di sana. "Syarat buat kerja sama ini, dia mau jadi penyumbang sekaligus jadi direktur rumah sakit itu. Dia gak ambil rumah sakit itu sepenuhnya dan cuma ngasih investasi, tapi dia mau mimpin rumah sakit itu. Bukannya ini bagus? Rumah sakit itu bisa aja jadi terkenal dan naik kelas, Teo. Perusahaan bakal untung banyak," tutur sang ayah masih dengan bersemangat. Namun ada kalimat yang membuat Teo tidak nyaman.
"Teo udah pernah bilang Pa, walau pun rumah sakit ini cuma jadi rumah sakit biasa pun aku gak masalah. Gak harus jadi rumah sakit yang naik kelas atau terkenal. Teo cuma mau bantu orang dan nyembuhin orang," kata Teo sambil memijat pelipisnya pelan. Pusing rasanya jika sudah berdebat soal perusahaan dan rumah sakit. Walau sudah membiarkan Teo menjalani rumah sakit ini, tetap saja ayahnya masih suka menariknya ke dalam urusan bisnis perusahaan.
"Teo, tolong Papa."
Oke, kalimat yang satu itu adalah kalimat pamungkas yang selalu berhasil membuat Teo bungkam. Teo tidak tega melihat ayahnya sampai memohon seperti itu.
"Papa cuma mau perusahaan ini bisa jadi semaju mungkin selagi Papa punya kesempatan, kamu satu-satunya anak Papa dan kamu lebih milih ke dunia kedokteran. Jadi Papa mohon, bantu Papa---"
"O-Oke, Pa. Iya, aku setuju. Aku bakal dateng ke perusahaan," potong Teo langsung saat suara ayahnya sedikit memelan. Mau bagaimana pun ia tidak bisa menyakiti hati orang tuanya sendiri, Teo tidak sekejam itu. "Setelah aku meriksa jadwal dan pasien aku, oke?" lanjutnya kembali.
"Kamu emang anak Papa yang paling baik. Papa tunggu, jangan lupa sarapan. Kamu juga bisa makan siang dulu sebelum dateng ke sini nanti," ujar Papa yang kembali terdengar senang. Teo mengangguk tanpa bisa dilihat oleh ayahnya.
"Teo tutup teleponnya ya, Pa."
Setelah mematikan panggilannya, Teo kembali menghela nafas. Walau ia bilang setuju tapi hatinya masih sedikit ragu. Bagaimana jika ayahnya sedang dibohongi? Apa benar ada perusahaan besar yang mau bekerja sama apalagi sampai menarik rumah sakit kecilnya ini.
Rumah sakit tempat Teo bekerja saat ini memang miliknya yang diberikan oleh sang ayah. Tentu tidak mudah, karena ada perjanjian besar yang harus Teo tanggung demi menerima rumah sakit ini. Teo masih ingat bagaimana ia berjuang sangat keras di awal untuk membangun rumah sakit ini agar tetap berdiri, walau sampai sekarang rumah sakitnya tidak terkenal atau memiliki cabang, tapi Teo selalu bekerja sebaik mungkin untuk merawat semua pasiennya tanpa membedakan status kekayaan mereka.
Sekali lagi pria itu menghela nafasnya, berharap semuanya akan baik-baik saja.
***
Masih dengan setelan jas putih khas dokter miliknya, Teo melangkah tanpa ragu masuk ke dalam perusahaan sang ayah. Beberapa karyawan tampaknya sudah mengenali wajahnya, mereka menunduk dan menyapa Teo dan pria itu akan membalasnya dengan senyuman lebar.
Teo sampai di depan pintu ruang kerja ayahnya, sekretaris yang harusnya berjaga di depan pintu tidak terlihat batang hidungnya. Entahlah, Teo juga tidak terlalu memikirkannya. Ia mengetuk pintu ruang kerja ayahnya, sebagai formalitas dan kesopanan. Walau ini perusahaan milik ayahnya, tapi tetap saja Teo harus memberikan etika dan contoh yang baik untuk karyawan yang melihatnya.
"Pa, ini Teo."
Suara Papa yang menyahut dari dalam membuat Teo tanpa ragu membuka pintu, namun hal yang pertama kali dilihatnya adalah Papanya yang sedang duduk di sofa menghadap ke arahnya sedangkan di sebrang ada dua orang berjas biru dongker dan satunya memakai jas berwarna hitam. Teo tidak tahu jika ayahnya tengah mengadakan perjamuan atau mungkin rapat, dengan kikuk ia pun melangkah masuk.
"Sini, Teo!" panggil ayahnya yang tersenyum. Teo pun mendekat dan langsung duduk di sebelah ayahnya. Sekretaris yang tadi tidak Teo lihat rupanya ada di sisi Papanya yang lain, sedang duduk dan mungkin sibuk mencatat? Entahlah.
"Teo, ini direktur perusahaan terkenal yang waktu itu Papa ceritain ke kamu. Pak Zardian," kata Papa mengenalkan sambil menunjuk ke arah pria berjas biru dongker tersebut. Teo menoleh dan tersenyum seadanya.
"Selamat siang, saya Teo. Senang bisa bertemu dengan Anda, Pak Zardian," kata Teo kemudian mencoba sesopan mungkin sambil tersenyum formal. Dia tidak mungkin menjelekkan nama ayahnya jika berlaku semena-mena.
Pria berjas dongker tersebut hanya menatap Teo seperti menilai, lalu tersenyum kecil.
"Doctor?" katanya dengan senyuman yang sulit dimengerti oleh Teo. Teo mengangguk sebagai balasan, jujur saja ia sedikit terkejut ketika mendengar aksen british dari pria tersebut karena jarang sekali mendengar gaya bicara bahasa Inggris yang seperti itu di sekitarnya.
"Iya, Teo salah satu dokter di rumah sakit tempat yang pernah saya bilang kemarin. Dia anak saya," sahut ayah Teo sambil menepuk pundak anaknya sekilas. Pria berjas dongker mengangguk-angguk pelan.
"Jadi---"
"Saya setuju," kata Pak Zardian lebih dulu sebelum ayah Teo berhasil menyelesaikan kalimatnya. Kedua mata semua orang di sana--kecuali Zardian tentunya--melebar, menatap Zardian tidak percaya dengan persetujuan singkat seperti barusan. Bukankah itu terlalu mudah? Bahkan mereka belum membicarakan soal perjanjiannya lebih dulu.
Teo sendiri juga sama terkejutnya dengan yang lain, ia tidak bodoh untuk menyadari situasi. Ini bukan hanya penjamuan tamu biasa, bisa dibilang ini seperti rapat kecil untuk membahas kerja sama mungkin. Tapi bahkan Teo baru datang dan belum membahas soal apapun, namun sudah disetujui begitu saja.
"Pak," bisik pria dengan jas hitam di sebelah Zardian namun tak digubris.
"Bisa langsung dibaca suratnya?"
.
.
.
Selang beberapa waktu kemudian, rapat itu pun berakhir. Direktur perusahaan besar tersebut sudah pergi meninggalkan ruangan ayah Teo, meninggalkan dirinya dengan sang Papa.
"Pa, orang tadi gila?" tanya Teo langsung sambil menatap Papanya dengan wajah kebingungan. Bagaimana tidak, pria itu seperti tidak ada beban membubuhi tanda tangannya di atas kertas perjanjian kerja sama kontrak. Dia sama sekali tidak ragu walau uangnya akan disalurkan ke perusahaan yang bahkan belum tentu bisa diyakini kesuksesan projeknya. Bukannya Teo meragukan kinerja di perusahaan ayahnya, tapi bukankah hal sebesar ini harusnya dibicarakan lebih dalam dulu dan perlu perincian jelas? Biasanya bahkan beberapa perusahaan seringkali menolak walau ada kekurangan kecil. Kenapa bisa semudah ini? Teo tidak habis pikir dengan pria itu. Mungkin dia sudah terlalu kaya.
"Teo." Papa menatap Teo dengan tatapan datar.
"Oke, maafin Teo---tapi, dia beneran? Maksudnya, dia itu---"
"Teo," kata Papa sedikit menekan sambil menatap ke arah Teo yang sepertinya akan terus berbicara.
"Paaa," rajuk pria berumur dua puluh lima tahun tersebut. Tanpa malu ia justru merenggut pada ayahnya sendiri. "Papa serius gak salah orang, dia kayaknya main-main sama kerja sama ini, Pa. Gimana bisa Teo nyerahin rumah sakit ke orang kayak dia."
"Teo kamu mau terus ngomong?"
Mendengar nada geram ayahnya membuat Teo hanya bisa mendesis pelan seperti ular dan pasrah. Memang ucapannya keterlaluan, tapi pria tadi pun sama saja keterlaluannya. Menyetujui kontrak kerja sama seperti hanya membeli barang murah di olshop.
Pria dengan jas dokter tersebut pun bangkit dari duduknya dan pergi keluar dari ruangan sang ayah. "Teo mau balik ke rumah sakit dulu kalau gitu, Pa. Teo pamit." Hanya sahutan pelan yang didapat Teo, pria itu pun langsung melangkah keluar dari perusahaan. Namun di lift ia justru bertemu dengan orang yang baru saja diragukan olehnya beberapa menit yang lalu.
Dengan senyuman seadanya Teo menyapa dan sedikit membungkuk. Pak Zardian sendiri hanya melirik Teo lalu masuk ke dalam lift. Suasana lift yang sepi setelah pintu tertutup membuat keduanya terbawa dalam keheningan. Dalam hati Teo bertanya-tanya keberadaan sekretaris berbaju serba hitam sebelumnya karena saat ini ia hanya melihat pria itu sendirian.
Pintu lift terbuka saat sudah mencapai lantai bawah. Teo melirik sekilas ke arah Zardian yang tampaknya tidak menunjukkan tanda-tanda beranjak dari lift, ia pun maju dan kembali menunduk sopan. "Saya duluan," ucapnya pelan. Namun saat Teo akan melangkah, tangannya ditahan oleh satu-satunya pria yang ada bersamanya di dalam lift. Pintu lift kembali tertutup dan naik ke lantai atas.
Teo berbalik dan menatap ke arah Zardian dengan bingung. "Maaf?"
Bukannya melepaskan, pria itu justru memajukan tubuhnya dan menatap Teo dari dekat. Sangat dekat hingga tersisa satu jengkal saya antara wajah mereka. Teo dibuat terheran-heran.
"Pak...?'
"Nice to meet you," katanya, sekali lagi Teo mendengar aksen british yang sangat indah dan seksi begitu bersatu dengan suara beratnya. Astaga, apa yang Teo pikirkan barusan.
Suara denting pintu lift yang terbuka membuat Teo kembali tersadar ke dunia nyata, pria itu melepaskan tangan Teo lalu pergi meninggalkan sang dokter di dalam lift dengan kebingungan begitu saja. Pintu lift yang kembali tertutup membuat Teo sedikit terkejut. Teo tidak habis pikir, hanya untuk mengatakan satu kalimat sederhana saja sampai harus membuatnya kebingungan dengan tingkahnya yang seperti ini.
"Astaga, dia beneran gila?"
To be continued
Semoga suka?
(o・・o)/
- Anzai Fero
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top