Take 9. The Acting
Aku sudah mematuhi perkataan Reca supaya tidak menyerobot percakapan, bertanya, atau bahkan menyengir. Karena Eden sudah keluar dengan dengusan tak puas, meninggalkan kami bertiga di dalam ruangan, sudah waktunya untuk menyerang dua makhluk itu.
Tapi, kumpulan pertanyaan yang kusiapkan di kepala beberapa menit lalu, menguap begitu saja. Yang justru kutanyakan adalah...
"Kenapa anda tidak membiarkan saya mencoba melakukan yang dia suruh?"
Purum menoleh perlahan, tersenyum geli. "Kupikir kamu akan menanyakan kenapa Reca membawamu kemari atau kenapa aku melibatkanmu tanpa persetujuanmu. Ternyata diam-diam kamu juga tertarik."
Aku menggaruk kepala. Aku juga tidak tahu mengapa aku malah menanyakan itu ketimbang menuntut penjelasan. Sepertinya aku sedikit tertantang tanpa kusadari.
"Saya kepeleset lidah barusan," jawabku asal.
"Kamu takkan bisa melakukannya."
Aku memiringkan kepala, bingung sekaligus tersinggung. "Lalu kenapa anda memilih saya jika anda sendiri tidak yakin saya bisa?"
"Dengar, Ebe, kamu adalah tipe yang akan bergerak jika ada script atau diperintah. Eden menyuruhmu berakting tiba-tiba tanpa persiapan, aku yakin kamu akan kalang-kabut karena tidak tahu harus memperagakan apa."
Reca tiba-tiba menepuk tangan, menyergah. "Oh! Maksudmu Ebe tipe aktor yang hanya bertindak jika diberi arahan eksplisit??"
"Benar. Aktor seperti itu akan mudah panik jika diminta bertindak spontan. Tidak ada naluri untuk berinisiatif tanpa perintah."
Ib 1St merupakan tokoh yang terjebak di terowongan waktu selama satu dekade. Purum menjelaskan, dari sekian banyaknya karakter di INYERS, dia lah yang paling digemari. Para pembaca menyukai development-nya.
Namun, bagi para aktor, Ib adalah mimpi buruk. Tokoh ini dianggap sulit diperankan karena dia memiliki berbagai kepribadian penuh emosi. Agresif, lancang, kasar, pemarah, dan sarkastik. Tapi di balik semua itu, terdapat backstory tragis yang membentuknya menjadi seorang mesin pembunuh yang manis.
Disebut mimpi buruk karena karakter ini harus diperankan oleh aktor muda. Kepribadiannya rumit dan multilayered. Aktor cilik seperti Hangrim yang sudah berpengalaman sekalipun akan kesulitan memahami atau menyampaikan kedalaman emosi dan kompleksitas Ib.
"Dan anda ingin orang yang bukan aktor memerankannya," ucapku terkekeh masam. "Are you nuts?! Mana mungkin aku bisa!"
"Buktinya kamu bisa melakukannya di kafe."
"Tsk, itu lain lagi. Aku tidak menganggap diriku sedang berakting karena adegan yang disuruh sangat sesuai dengan suasananya-"
"Nah, itu dia poinnya!" sela Purum semangat. "Kamu masuk ke dalam karakter dengan mulus. Persis seperti seorang pembunuh bayaran profesional yang hanya bergerak begitu diberi tugas. Diberi perintah membunuh target."
"Aku... tidak paham."
Purum membenarkan posisi berdirinya, menjelaskan lebih baik. "Para aktor itu ya, mereka harus membuat penonton melihat karakter bukan aktornya. Kamu punya bakat alami untuk menyatu dengan karakter tanpa menyadari kamu sedang berperan."
Bakat katanya. Aku mendengus. Satu-satunya bakat mengerikan yang kupunya adalah membaca pikiran. Dan itu lebih seperti kutukan daripada prestasi yang bisa kubanggakan.
"Ayolah, Phoebe. Nggak ada salahnya mencoba, kan? Akting itu menyenangkan. Aku tidak mau Hangrim memainkan Ib. Aku maunya kamu."
Pfft! Reca menahan tawanya. Nada suara Purum benar-benar terdengar seperti bujukan seorang pedagang di pasar malam, ringan, lemah gemulai, tapi penuh tekad.
Aku bersedekap. "Perkataan anda kayak mau melamar saya," jawabku datar, mendadak kembali ke bahasa sopan. Rasanya sedikit canggung mengingat sepanjang diskusi tadi aku berbicara informal, terlanjur terbawa emosi.
Purum tersenyum kecil. Amat menikmatinya. "Jadi bagaimana jawabanmu? Yes or no?"
"Saya butuh waktu memikirkannya."
***
Reca membawaku pulang saat jam makan siang berakhir, meninggalkanku dengan pikiran yang kusut. Purum hanya memberiku waktu sehari untuk memutuskan, mengingat waktu casting hampir habis. Sehari terasa cukup lama untuk hal remeh, tapi untuk keputusan besar seperti ini? Rasanya terlalu singkat.
Suster Viola sedang membersihkan meja ketika aku masuk. Dia menoleh, tersenyum ramah seperti biasa. "Kamu sudah pulang," ucapnya lembut, lalu mengernyit. "Ada yang ingin diceritakan? Wajahmu tampak lelah."
Aku menggeleng cepat, melangkah menuju rak piring. "Tidak, Suster. Hanya lapar."
"Mereka tidak membelikanmu makanan?"
"Mereka tidak tahu kesukaanku."
Dia menyendok sup ke mangkuk, menaruhnya di meja. "Kalian pergi ke mana tadi?"
Aku ragu sejenak. Suster Viola tidak suka kalau aku terlibat hal-hal aneh, terutama kalau itu menyangkut keselamatan. Tapi aku juga tidak bisa membohonginya. Jadi aku bicara jujur.
"Yah, dia mengajakku bertemu seseorang. Mereka menawarkan sesuatu."
"Tawaran apa?"
Aku menceritakannya dari awal. Sejak aku tidak sengaja dipergoki oleh Purum membuang poster audisi demi menempelkan brosur. Tapi Purum salah paham dan masalah merembet ke mana-mana. Entah apa yang dia nilai dariku, wanita itu memilihku memerankan 'anaknya'.
Suster Viola mendengarkan dengan penuh perhatian, tidak berkomentar sekalipun. Tapi begitu aku selesai bercerita, aku melihat mimik wajahnya berubah. Matanya melebar.
"Kamu mau jadi aktor, Ebe??"
Aku langsung menggeleng. "Ayolah, Suster, anda tahu aku tidak sepadan," kataku sambil memainkan sendok di dalam mangkuk sup. "Aku tidak pernah mencoba hal-hal seperti akting. Itu bukan dunia untuk orang kumuh sepertiku. Lagipula, aktor itu minimal harus ganteng."
Aku tidak punya satu pun pengalaman. Purum hanya melebih-lebihkan saja. Bagaimana mungkin aku bisa memainkan karakter sehebat itu? Terlebih lagi tokoh populer yang dicintai pembaca. Yang ada aku akan dihina karena memburukkan karakter favoritnya.
"Ebe, kamu tidak sadar ya?"
Suster Viola beranjak dari dapur. Tiga menit menunggu, isi piring dan mangkuk sudah tandas, dia kembali lagi membawa cermin. Dia letakkan benda itu ke hadapanku membuatku menatap pantulan wajahku sendiri.
"Kamu itu tampan tahu. Saat kamu pertama kali diperkenalkan oleh Suster Kimi, aku saja heran mengapa ada orangtua yang tega meninggalkan anak semanis ini. Kupikir mereka bodoh. Gen Amerika milikmu sangat kental."
"Fyi, i'm born in Lost Angeles."
"Sama saja," kekehnya, memutar kursi yang kududuki agar menghadapnya. "Dengarkan aku, Ebe, jika kamu tertarik berakting, jangan melepas kesempatan karena itu belum tentu datang mengetuk pintu rumah yang sama dua kali. Aku ikut senang kalau kamu menemukan hal yang membuatmu senang."
Aku menunduk. "Tapi aku awam..."
"Kalau kamu takut tidak punya pengalaman, tidak mengapa, dokter pun pernah ceroboh di operasi pertamanya. Pengalaman itu dicari, bukan ditunggu datang dengan sendirinya."
Apakah aku benar-benar tertarik pada akting? Ataukah ini hanya rasa penasaran sesaat?
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top