Take 8. The Child Actor

Ib 1St. Siapa lagi dia?

Jangan-jangan itu nama karakter yang mereka bicarakan dari tempo lalu. Astaga, aku hampir kelepasan tersenyum. Itu nama paling freak yang pernah kudengar. Terdengar seperti kode rahasia yang gagal. Apakah Purum terlalu malas mengarang nama untuk tokoh ceritanya?

Tapi aku tidak bisa merespons apa pun-seperti menyanggah atau tertawa. Sesuai permintaan Reca, aku hanya diam walau pertanyaan demi pertanyaan mulai menggunung di kepalaku.

Selain itu ada alasan lain aku belum bisa membuka mulut: atmosfer antara Purum dan pria yang dia panggil Eden sangat panas. Saking panasnya, Reca sampai melangkah mundur.

"Kamu pasti bercanda."

Keberadaan Purum dalam pemilihan pemeran menjadi jaminan bagi kualitas adaptasi dan menambah kepercayaan penggemar setia INYERS. Mengingat skala komiknya universal, tidak heran banyak orang yang menantikannya.

Akan tetapi, sekeras kepala apa pun Purum, dia tetap memiliki batasan. Saat tenggat waktu kian mendekat, Purum tidak bisa lagi melawan keputusan produser eksekutif.

"Apa yang kamu pikirkan, heh? Kamu sudah gila berniat menyerahkan Ib ke amatir. Tidak, mengajak anak kampung ke adaptasi sekelas ini saja sudah tindakan luar biasa gila."

Nah, makanya, aku juga ingin menanyakan itu. Kami hanya bertemu sekali, secara tidak sengaja dan sangat canggung. Bagaimana bisa Purum seberani itu merekrutku ke bidang akting di saat aku saja tidak tahu-menahu soal akting?

"Apa salahnya? Phoebe memenuhi syarat. Target usia minimal 13 tahun, laki-laki, dan wajib menguasai bahasa Inggris. Ib berasal dari Amerika. Akan lebih cocok orang Amerika juga yang memainkannya. Jika kamu menyadarinya, nama mereka bahkan hampir mirip."

"Kita harus memikirkan respon publik. Apalagi Ib adalah karakter maskot. Rata-rata setengah dari jutaan fans menggemarinya. Kesalahan dalam memilih aktor bisa menjadi bencana. Aku tidak bisa mengambil risiko, Purum."

Purum menyipit. "Apa maksudmu?"

"Karena kamu menghentikan audisi secara sepihak, maka kamu harus mendengarkanku. Aku sudah punya kandidat yang menyakinkan. Pimpinan juga menyetujuinya. Kamu pasti tahu Na Hangrim, kan? Dia yang akan bermain."

Aku menepuk pantat Reca yang terperangah begitu Eden menyebut nama itu. Kesal diacuhkan, kutepuk lebih keras. Dia menoleh. "Siapa itu Hangrim?" bisikku kepo.

Reca membuka ponselnya, browsing sejenak sebelum menyerahkannya padaku.

Na Hangrim sudah memulai kariernya di dunia hiburan sejak berusia lima tahun. Dimulai dari model pakaian anak-anak, iklan barang seperti ponsel atau merek minuman dan cemilan, bermain web drama, bahkan membintangi film. Terlebih lagi, Hangrim secara pribadi tertarik dengan Ib dan ini kesempatan untuknya keluar dari zona amannya yang selalu memerankan karakter serupa; pendiam dan anak konglomerat.

Aku menatap Reca yang berbinar-binar. Apa sih yang dia pikirkan? Kulepaskan kacamataku.

Gila! Gila! Eden berhasil merekrut Hangrim?! Sial, kalau benar dia yang memainkan Ib, itu akan jadi casting sempurna! Perfecto!

Benar, sudah seharusnya yang terpilih adalah aktor asli. Bukan anak kubangan sepertiku. Aku tidak berharap apa pun, tapi kenapa rasanya sedih juga saat seseorang kehilangan minat padamu hanya dalam hitungan detik?

"Na Hangrim?" ulang Purum.

Eden mengangguk mantap. Telunjuknya menari-nari, bangga dengan informasi tersebut. "Tepat sekali. Kamu takkan tahu betapa sulitnya perjuanganku memohon-mohon ke agensinya. Gila namanya kamu menolak seorang Hangrim," lanjutnya berkacak pinggang, bergaya selangit.

Purum tersenyum. "Tapi gimana nih? Aku tidak tertarik dengan Hangrim. Harus kuakui, teknik aktingnya tidak normal untuk seukuran aktor cilik. Minusnya, dia tidak bahasa Inggris, kan? Kalau begitu aku tetap akan memilih Ebe."

Aku menatap Purum lamat-lamat.

Serius, dia segitunya memilihku? Menolak aktor penting hanya demiku? Aku tidak punya bakat apa pun selain kemampuan membaca pikiran. Apa yang membuatnya yakin sekali aku mampu?

Rasanya seperti tersanjung, tapi juga... malu. Aku tahu aku tidak layak berada di sini, tapi dia bicara seolah aku adalah pilihan terbaik. Tanganku tanpa sadar meremas ujung bajuku, berharap tidak ada yang memperhatikan wajahku yang mungkin memerah sekarang.

"Apa? Tapi agensi Hangrim-"

"Kawan, kamu yang melakukan kesepakatan itu di luar sepengetahuanku. Jadi itu tanggung jawabmu. Lagipula sah-sah saja, kan? Aku menuruti semua persyaratan audisi. Ingatlah, aku masih punya hak untuk memilih aktorku."

Ada jeda hening yang menyusul. Eden tampak kehilangan kata-kata. Sedangkan Purum tersenyum santai, sudah menyiapkan argumen pamungkas jika diskusi ini berlanjut.

"Apa yang membuatmu begitu menyukainya?! Dia hanya..." Eden menatapku dari ujung kepala sampai kaki. Ekspresinya berubah enek campur bingung. "Anak pasar bau ikan."

Aku menghindari tatapannya yang seperti memprotes eksistensiku. Tidak salah memang kalau aku kelihatan kumal-kaosku ada bercak yang tidak jelas asalnya, dan sepatu ini sudah melewati masa pensiunnya. Tapi tetap saja, rasanya seperti dilempar batu hanya karena bernafas di ruangan yang sama dengannya.

"Banyak. Pertama, dia ganteng. Hanya ketutupan debu doang," jawab Purum serius, mengangkat satu jari untuk tiap alasan yang disebutnya. "Kedua, cara berjalannya ganteng. Postur pinggangnya saat melangkah, itulah yang membuatnya ikonik. Ketiga, matanya indah. Keempat, rahangnya tajam dan terlihat sangat jantan. Kelima, dia punya lesung pipi..."

Reca menatapnya horor. Begitupun aku.

"Dia masih anak-anak, tapi tubuhnya agak berisi. Menandakan dia sering olahraga. Kulitnya putih. Ah! Aku menyukai lutut pucatnya."

Aku dan Reca saling tatap. Entahlah, apa aku harus malu dipuji atau memukulnya dengan sesuatu karena penjabarannya sangat ambigu.

"Kalau begitu buktikan. Suruh dia berakting di depanku sekarang juga. Aku mau melihatnya," katanya lantang sambil menunjukku.

Purum menggeleng. Dua kali lipat lebih serius saat debat mereka dimulai. "Tidak sekarang."

"Jangan mengujiku, Purum. Aku punya otoritas penuh dalam hal casting. Bagaimana aku tahu bocah ini dapat memerankan Ib jika kamu tidak mengizinkanku melihat aktingnya?"

Aku menatap Purum. Membaca pikirannya. Aku juga ingin tahu mengapa dia mencegahku. Jika sekadar beraksi seperti di kafe waktu itu, aku tidak keberatan mempraktekkannya lagi.

Tidak boleh. Tidak ada script saat ini.

Alisku terangkat. Apa maksudnya?

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top