Take 5. The Name

Hari ini adalah hari yang aneh.

Setelah menjawab pertanyaannya, Purum dan Reca pergi tanpa berkata apa-apa lagi. Setidaknya, aku lega mereka tidak mempermasalahkan poster yang kubuang.

Aku merebahkan tubuh di kasur, menatap langit-langit kamar. Pikiranku masih terngiang-ngiang dengan kejadian tadi siang. Sudut bibirku sedikit terangkat.

“Apa aku jago bahasa Inggris katanya. Ya iyalah. Orang aku lahir di Amerika."

Aku tersenyum geli mengingat perkataan terakhir Purum. Itu adalah hal terkonyol yang pernah kudengar. Yah, wajar sih. Mereka tidak tahu asal-usulku. Tapi tetap saja kedengaran lucu olehku.

Meski begitu, aku tidak bisa menolak fakta jika aku penasaran mengapa Purum malah menanyakan itu daripada mengetahui namaku. Dia memiliki prioritas aneh. Apa pertanyaannya itu ada hubungannya dengan audisi yang mereka perdebatkan?

Tahu ah, bukan urusanku.

Aku menarik selimut. Bersiap tidur.

***

Besoknya, kondisi Suster Kimi masih sama. Lesu dan kehilangan nafsu makan. Kupikir dengan menggantikannya menyebar brosur dapat meringankan sedikit bebannya.

Jujur saja, aku iri. Si Rae itu sangat disayang. Meski anak-anak asuh baru mendapat perlakuan yang setara, perhatian semua suster padanya berbeda. Ada batas tak terlihat yang membuatnya spesial.

Andai orangtuaku mengkhawatirkanku seperti itu. Tapi tidak mungkin. Alih-alih khawatir, mereka justru bersorak senang aku tidak lagi bersama mereka. Setidaknya mereka tidak takut lagi pikirannya dibaca.

Ini bukan waktunya melankolis.

Ada di mana sebenarnya si Rae ini? Apa benar terjadi sesuatu padanya? Walaupun aku ingin membantu, aku tidak tahu harus mulai dari mana karena tidak ada jejak. Tidak ada petunjuk. Dia lenyap begitu saja.

"Wajahmu kusut sekali."

Aku menoleh, tersenyum. "Suster Viola." Keningku bertaut melihatnya tidak berpakaian habit seperti biasa. "Apa anda mau bepergian ke suatu tempat?"

"Yeah," jawabnya sambil merapikan tas selempangnya. "Aku meminta setumpuk brosur untuk disebarkan di Busan."

"Busan? Itu jauh sekali. Saya bisa—"

"Tidak," potong Suster Viola sebelum aku menyelesaikan kalimatku. "Kamu sudah bolak-balik ke Seoul dua kali. Mau seberapa besar pun keinginanmu untuk membantu, kamu masih anak-anak. Aku tidak ingin kamu sampai jatuh sakit juga. Berjanjilah kamu tidak ke mana-mana."

Aku terdiam, menelan sisa kata-kataku. Suster Viola memandangku dengan sorot mata lembut namun tegas, menunggu jawaban. Aku tidak berani membantah lagi.

"Phoebe, kamu mendengarku?"

Aku menundukkan kepala. "Iya, Suster."

Kalau dia sudah menyebut namaku, itu berarti perintahnya mutlak.

***

Tidak banyak yang kulakukan di panti selain mengawasi anak-anak yang bermain bola di halaman. Semua anak asuh asrama Jupiter sudah berangkat ke sekolah. Hanya aku yang belum masuk sekolah.

Suster Kimi berjanji akan mendaftarkanku ke SMP dalam waktu dekat, tapi dengan kondisi mentalnya saat ini, aku yakin beliau tidak fokus pada apa pun.

Aku juga tidak peduli. Seperti yang kutegaskan, aku tidak tertarik sekolah. Maksudku, sekolah tidak penting terutama dalam situasi sekarang. Lagipula, jika takut tidak punya pengetahuan, aku bisa membaca buku milik teman sekamarku.

Tidak ada yang susah kalau mau berusaha. Yang susah itu mengumpulkan niatnya.

Lamunanku terputus ketika salah satu anak mendekat. Dengan wajah memelas, dia berkata, "Kak Ebe, tolong ambilkan bola kami. Itu keluar dari gerbang. Aku nggak sengaja menendangnya terlalu keras..."

Aku menoleh ke arah yang dia tunjuk dan melihat bola itu sudah menggelinding jauh hingga ke seberang jalan. Pantas saja mereka meminta tolong—mungkin mereka takut untuk menyebrang sendiri.

Aku tersenyum seraya mengusap kepalanya, mengangguk. "Tunggu sebentar, ya."

Melangkah keluar dari panti, aku menyebrang jalan dengan hati-hati dan mendekati bola yang tergeletak di rerumputan. Tapi saat hendak membungkuk untuk mengambilnya, gerakanku terhenti.

Di bawah bayang-bayang kompleks perumahan, seorang pria terlihat sibuk meneliti sekeliling seolah sedang mencari sesuatu. Begitu tatapan kami bertemu, mataku terbelalak. Spontan menunjuknya.

"Pak Reca? Kenapa anda bisa di sini?"

Reca mendekat sambil ngos-ngosan. "Phoebe Sigewille, kita bertemu lagi. Jadi kamu tinggal di bukit, ya? Jalannya nanjak dan jauh. Lumayan bikin napas habis," ujarnya dengan nada bercanda. Berkeringat.

Dia berjalan kaki dari bawah bukit ke sini? Tidak, bukan itu masalahnya. Yang menggangguku adalah kedatangannya setelah pertemuan ganjil kemarin.

"Bagaimana anda tahu nama saya..." Aku menghentikan kalimatku, menatapnya curiga. "Tunggu, bagaimana anda tahu saya tinggal di sini? Anda menguntit saya?"

Reca menyeringai kecil. "Aku tahu kamu punya banyak pertanyaan, tapi untuk sekarang simpan dulu. Saranku, jangan terlalu meremehkan Korea. Kami punya cara sendiri untuk menemukan seseorang."

Dia tersenyum tak jelas. "Satu lagi," tambahkan merapikan jasnya, "jangan kaku begitu. Anggap saja aku pamanmu. Jadi berbicaralah dengan santai, oke?"

Aku hanya diam, memahami maksud di balik sikap dan kata-katanya. Perasaan kemarin dia terlihat enek berurusan dengan anak desa bau pasar sepertiku. Tapi aku yakin, kemunculannya di sini bukanlah kebetulan.

"Oke, kuturuti. Apa maumu, Paman Reca?"

"Apakah kamu sedang bermain bola??"

Tanpa menunggu jawabanku, dia seenaknya mengambil bola yang ingin kuambil barusan. Dengan lincah, Reca berlari ke arah panti dan berteriak pada anak-anak di halaman. Melanjutkan permainan.

Beraninya dia mengacangiku?!

Aku kembali ke panti, hendak menegurnya. Tapi anak-anak yang semua ragu dengan datangnya pemain baru, mulai tertawa. Reca menggiring bola dengan keterampilan tak terduga, membuat tim mereka menang.

"Siapa pemuda itu, Ebe?"

Aku tersentak mendapati Suster Kimi tahu-tahu berdiri di sebelahku. Aku tidak sadar beliau datang saking gemasnya dengan tingkah Reca yang mencurigakan.

Wajahnya penuh selidik, menatap Reca yang sibuk bermain bola dengan anak-anak. Sebagai kepala panti, meski pikirannya sedang kacau, beliau selalu waspada terhadap orang asing. Terutama jika menyangkut keamanan anak-anak di sini.

"Tidak usah khawatir, Suster Kimi. Hanya tamu tak penting. Nanti pergi sendiri kok."

Benar saja. Setengah jam kemudian, anak-anak kelelahan dan terkapar di teras dingin. Bahkan Reca yang semula penuh energi, akhirnya menyerah juga.

Dia duduk di sampingku di bangku panjang, menyeka keringat di dahi dengan lengan bajunya. "Sudah lama aku tidak bermain bola. Anak-anak itu bersemangat sekali."

"Namanya juga anak kecil."

Reca menatapku yang acuh tak acuh. "Apa kamu tak menyediakan minuman atau apa kek gitu? Setelah semua ini, kupikir aku pantas mendapatkan segelas air."

Aku memutar badan agar menghadap dirinya, tersenyum gemas. "Cut to the chase, alright? Bisakah kamu mengatakan apa yang kamu lakukan di sini?"

Tatapan Reca yang awalnya bermain-main, kini berubah serius. Dia menghela napas, mendongak menatap langit sunset.

"Apa yang kamu tahu tentang live action?"

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top