Take 4. The Sudden Request
Aku ini sedang apa sih? Seharusnya aku lanjut menyebarkan brosur, bukan malah mengiyakan ajakan orang asing.
Tadinya aku sempat mengira mereka adalah penguntit yang membuntutiku minggu lalu. Tapi tidak mungkin mereka mengajakku mengobrol terang-terangan begini. Terlebih perawakan mereka jauh dari definisi jahat.
Aku mau pergi, namun si wanita keriting telah membayar makananku. Rasanya tidak sopan main pergi begitu saja.
Katanya ingin berbicara sebentar, tapi dari tadi hanya diam sambil memelototiku. Apa yang mereka tunggu? Aku tidak nyaman. Mukaku rasanya mau bolong. Mereka membuatku jadi perhatian pengunjung lain, tepatnya memperhatikan orang-orang ini.
"Kenapa kamu membuangnya?"
Aku berhenti menggerutu dalam hati, menatap wanita keriting itu. Dia melepas kacamatanya, menatapku dengan mata tajam yang intens membuatku salah fokus.
"Membuang apanya?"
Dia tak langsung menjawab, mencondongkan tubuh sedikit ke depan, mengamati wajahku seolah mencari sesuatu. Aku menelan ludah. Mau apa sih dia sebenarnya?
Pria di sebelahnya menghela napas pendek, tidak tahan lagi oleh kelakuan temannya. "Kami bukan orang jahat, Nak. Namaku Park Reca. Dan nona pedofil ini, namanya Choi Purum. Seorang komikus webtoon."
Kepala Purum tertoleh. Satu alisnya terangkat. "Heh, kamu bilang apa barusan? Beraninya kamu mengataiku pedofil."
"Karena itu yang sedang terjadi."
Aku mengangkat tangan. "Oke, apa yang kalian inginkan dariku? Untuk apa seorang komikus mendatangiku? Apa pun itu, aku tidak tertarik. Aku mau pulang."
"Pertanyaanku sama denganmu, Nak." Reca menatap Purum yang menunda penjelasan. Sok sibuk mengaduk minumannya yang mengeluarkan bau cokelat. "Wanita gila ini tiba-tiba kabur dari audisi yang tengah berlangsung, membuat suasana jadi salah tingkah, demi mengejar bocah tak dikenal."
"Orang awam bilang, intuisi membawa kita ke jalan keluar. Aku hanya mengikuti naluriku," ucapnya menatapku lagi. "Dia memiliki sesuatu yang kudambakan."
"Maaf?" kataku dan Reca serempak.
"Caramu berjalan, vokalisasimu, postur tubuhmu, benar-benar ideal dengan pemeran yang kucari untuk anakku."
Aku punya banyak pertanyaan saat ini. Apa maksudnya anaknya? Dan ada apa dengan caraku berjalan? Apa ada yang aneh? Padahal aku jalan normal-normal saja tuh.
Berbeda denganku yang masih mencerna, Reca sudah menangkap maksud Purum. Maksud dia rela meninggalkan audisi dan mengejar bocah asing sepertiku. Ekspresi wajahnya berubah cepat jadi panik.
Reca menggeser kursinya lebih dekat, mendadak bersikap manis. "Purum? Jangan melakukan hal gila. Kita tidak bisa asal merekrut orang yang bukan artis. Apa kamu mengerti? Aku bisa dibunuh Eden."
"Lho, kenapa? Bukankah dia sendiri yang mengusulkan untuk mengadakan audisi terbuka untuk non-artis?"
Purum mengabaikan Reca yang masih ingin memprotes, kembali fokus padaku yang menyimak. "Apa kamu salah paham dengan tulisan di brosur itu hingga membatalkan niat untuk bergabung bersama kami?"
"Lagi, aku tidak mengerti apa yang kalian berdua bicarakan dari tadi."
Ini menyebalkan. Rasa kesalku naik ke ubun-ubun. Mereka menyita waktuku, namun tidak memberiku penjelasan apa pun. Membiarkanku kebingungan dari tadi, terus menebak-nebak arah percakapan.
"Kamu membuang poster audisinya. Aku melihatnya dari ruanganku. Bukankah karena kamu merasa insecure tidak bisa menjadi aktor?" Purum memperjelasnya.
Shit. Aku mengumpat tertahan.
Ternyata ada yang melihatku mencabut poster itu, meremukkan, dan membuangnya. Tapi Purum salah paham, menyangka aku tertarik dengan audisi yang tertulis.
Bagaimana ini? Aku sudah terlanjur kepergok. Apa aku akan dikenakan denda? Kedengarannya terlalu berlebihan hanya untuk selembar brosur iklan, tapi siapa yang tahu apa yang ada di pikiran mereka?
Ah, dasar bodoh. Aku menepuk dahi. Aku selalu lupa fakta aku bisa baca pikiran.
Niatnya, aku hanya ingin menurunkan kacamata untuk mengetahui isi pikiran mereka apakah mau menghukumku atau tidak. Tapi di pertengahan, Purum mencegat tanganku, menatapku lekat.
Wah, bocah ini tampan juga.
"Benarkah?" ucapku spontan. Di detik berikutnya, aku melotot dan buru-buru memasang kembali kacamata itu. Sialan! Aku lengah karena untuk pertama kalinya ada yang mengomentari wajahku.
Tampan? Aku tidak pernah berpikir begitu. Tepatnya, aku tidak ingat kapan terakhir kali peduli dengan bagaimana rupaku.
"Apa itu asli? Atau itu lensa kontak?"
"Apa yang anda maksud?"
"Warna matamu, apakah itu hijau asli? Barusan terlihat sedikit bersinar."
Haruskah aku menjawabnya?
Reca bangkit dari kursinya, menolongku dari tatapan menusuk wanita itu. "Kamu tahu, kita membuang waktu berharga. Ayo kembali ke kantor dan lanjutkan audisinya. Masih ada dua puluh pendaftar yang harus kita nilai. Bersikap profesional lah."
"Tidak. Aku akan mati kebosanan."
"Mati kebosanan, huh? Mereka datang demi menunjukkan bakat aktingnya. Kamu tidak bisa lepas tanggung jawab seperti ini."
"Mereka tidak memahami anakku dengan baik!" potong Purum tegas. "Anak-anak itu hanya bergaya. Untuk menjadi seorang aktor, mereka harus lebih dari sekadar meniru. Mereka harus menyatu dengan karakter itu sendiri. Aku tidak mau anakku diperankan oleh aktor yang tidak becus."
"Bukankah itu karena kamu sendiri yang keras kepala?! Tidak mau memakai aktor cilik yang disiapkan Eden membuatnya terpaksa mengadakan audisi ini."
Aduh, mereka berdebat lagi. Aku kehilangan timing untuk kabur. Seharusnya aku langsung menyelinap saat Reca berdiri.
Purum mengeluarkan sebuah tumpukan kertas HVS tebal yang dijilid dari tasnya, membuka sembarang halaman secara kasar, menyodorkannya padaku. Aku mengintipnya, terbelalak. Itu sebuah naskah!
"Praktikkan satu adegan saja. Setelah itu aku janji akan melepaskanmu."
Aku ragu-ragu membacanya. Tertulis begini: 'XXX memukul meja dan menggunakan pisau untuk mengancam lawan bicaranya.' Tidak ada dialog. Hanya potongan adegan.
Masalah ini jadi kapiran. Aku ke sini hanya untuk menempelkan brosur orang hilang, bukan ikut serta audisi aktor. Siapa pula yang tertarik di bidang merepotkan itu?
Tapi sepertinya Purum sungguh-sungguh saat bilang akan membiarkanku pergi. Jika aku melakukannya, apa aku takkan dikenai denda tentang poster iklan mereka?
Aku melirik garpu emas di sebelah kue yang belum kusentuh sedikitpun.
"Kita tidak punya waktu untuk ini."
"Diamlah. Aku berbicara dengannya." Purum menatapku yang tengah mencicipi sesendok kue. "Bagaimana? Apa kamu sanggup?"
"Mana mungkin orang kampung mampu—"
Jantung Purum, Reca, dan para pengunjung, nyaris mencelus dari tempatnya demi aku mendadak menggebrak meja, berdiri, dan menarik kerah baju Reca untuk mendekat ke hadapanku. Menatapnya geram.
"Jika kau memanggilku 'orang kampung' sekali lagi..." Kuambil garpu yang tertancap di atas kue lalu mengarahkannya ke matanya. "Aku penasaran, apakah dunia masih indah dilihat dengan satu mata."
"A-apa aku menyinggungmu? Maaf, Nak. Mulut paman ini memang nggak ada rem."
Aku melepaskan tarikanku, menegakkan badan. Ekspresiku kembali polos. "Baik. Apa aku boleh pulang sekarang?"
"Heh! Yang barusan itu pura-pura?"
Aku mengerutkan kening. "Lho? Bukankah kalian memintaku memperagakannya?"
"Tapi kamu terlihat serius tadi! Aku menyangka kamu benar-benar marah!" Reca mengusap lehernya, masih sedikit gemetar. "Astaga, kamu membuatku takut, bocah! Tiba-tiba menodong orang dengan benda tajam itu bukan perbuatan bijak!"
Aku mengedikkan bahu. "Maaf."
Purum yang diam sejak tadi, ikut bangkit dari kursi. Dia memasang kacamata hitam yang dia gantungkan di bajunya. "Ini pertanyaan terakhirku. Pertanyaan serius. Apa kamu fasih berbahasa Inggris?"
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top