Take 17. The Film Director

Sutradara Roeve.

Dialah yang akan mengarahkan adaptasi INYERS. Aku tidak tahu banyak tentangnya. Reca hanya memberitahuku dua hal: nama dan umurnya yang baru saja menginjak 26 tahun. Tapi dari secuil informasi itu saja, aku tahu dia bukan pria biasa.

Menjadi sutradara di usia semuda itu? Terlebih INYERS bukan proyek pertamanya. Bukankah itu mengesankan? Bakat, kerja keras, atau mungkin keberuntungan—aku tidak tahu kombinasi mana yang membawanya ke posisi ini. Aku berani bertaruh dia seumuran dengan asistennya.

"H-halo, Pak Sutradara..."

Roeve tertawa renyah, menepuk-nepuk bahuku membuatku sedikit terlonjak. "Jangan kaku begitu, Ebe sayang. Paman nggak menggigit kok."

Aku menegakkan punggung. Walau dia bilang begitu, rasanya tetap canggung. Apalagi nada suaranya terdengar bercanda. Atau aku kelewat paranoid? Bisa saja kan Roeve orangnya freak.

"Kita akan sering bertemu mulai sekarang," lanjutnya tersenyum santai. "Biasakan dirimu, oke? Nanti Paman kasih apa pun yang Ebe mau."

Roeve kelihatan friendly. Dia seperti karakter anime yang sering tersenyum neko. Tapi kenapa dia memperlakukanku seperti bocah 7 tahun sih. Dipikir aku akan menurut kala disuap sebatang permen?

"Hmm-mmm, ternyata kamu jauh lebih cakap dilihat dari dekat. Waktu itu aku hanya melihatmu dari balik kaca, jadi detailnya kurang jelas."

Pria itu berjalan mengitariku dengan ekspresi penuh analisis, seperti seniman yang mengamati kanvas kosong. "Punggungmu tegap dan kulitmu putih. Wow! Kamu punya tahilalat di leher? Kamu benar, Cia. Tubuhnya sangat mendukung."

Oh Rocia adalah nama ketua divisi kostum dan make up. Hidung wanita itu kembang. "Kubilang juga apa. Tubuhnya cocok untuk peran Ib."

Purum berdeham. "Cukup acara kagum-kagumannya. Bisakah kita masuk ke topik pembicaraan?"

"Ah, benar!" Roeve menyerahkan buku skedul berwarna kuning kepadaku. "Ebe, kamu belum dapat jadwalnya, kan? Syuting perdana dilakukan tanggal 5 februari, jadi waktu yang tersisa untuk latihan persiapan kurang lebih dua belas hari lagi. Maaf ya kesannya terburu-buru. Karena sikap keras kepala SESEORANG, proyek ini jadi tertunda lama."

"Kenapa kau melihat ke arahku?" dengus Purum.

Aku mengabaikan mereka yang saling melotot dan mulai membaca isi jadwal itu. Lokasi syuting pertama akan dilaksanakan di Hutan Gotjawal, Pulau Jeju. Kenapa harus di hutan dulu sih...

Tapi, kalau dipikir-pikir, di episode satu komiknya para tokoh utama memang pergi ke suatu hutan. Mereka mengikuti sesuai yang ada di komik.

Bukan berarti aku takut dengan tempat angker atau hal-hal semacam mistis, orang aku punya kemampuan supernatural. Aku hanya cemas karena berada di alam terbuka. Jika aku benar-benar dilarang menggunakan kacamata, aku tidak bisa membayangkan akan 'seberisik' apa hariku.

Aku menggeleng, mengabaikan kekhawatiran yang belum tentu terjadi. Fokusku kembali ke jadwal di tanganku, lanjut membaca hingga aku menemukan istilah baru yang belum kucari tahu.

"Pembacaan naskah itu apa?"

***

Malamnya, aku tidak bisa tidur.

Penjelasan Roeve terngiang-ngiang di benakku.

Pembacaan naskah adalah langkah pertama sebelum syuting resmi dimulai. Semua aktor akan duduk bersama, membaca dialog masing-masing sesuai skenario. Tujuannya agar para aktor memahami alur cerita dan karakter yang diperankan sekaligus mengakrabkan diri satu sama lain.

Mana pelaksanaannya hari Rabu, tinggal empat hari lagi. Apa aku bisa melewatinya?

Selain peranku sebagai Ib, empat pemeran karakter utama lainnya sudah ditentukan. Itu berarti aku akan bertemu dengan aktor-aktor senior. Mereka pasti akan menilai setiap gelagatku: apakah aku cocok menyesuaikan diri dengan kelas mereka.

"Haah, bisa gila aku."

Andai saja aku punya kemampuan sistem ajaib seperti di webtoon-webtoon itu, pasti semuanya akan terasa lebih mudah. Tinggal klik, dapat skill, selesai sudah masalahku. Tapi memikirkan itu terasa seperti curang. Para seniorku berlatih keras untuk merealisasikan karakter mereka.

Aku tidak boleh takabur. Bukankah aku sudah punya sesuatu? Mind reader, meski bukan kekuatan keren, aku yakin itu akan membantuku di saat-saat krisis.  Jangan pikirkan hasil aktingku bagus atau jelek. Yang penting adalah membiarkan semua mengalir.

Aku bangkit dari kasur, melangkah ke cermin, menatap pantulan diriku yang tampak lelah. Tapi sesaat, rasanya ada dua bayangan di dalam cermin. Yang satu milikku, satu lagi kabut gelap dengan seringaian tengah berdiri di belakangku.

Ib. Aku hanya perlu menjadi dia.

***

Tiga hari terakhir aku habiskan untuk mempelajari teknik vokalisasi dan poker face. Menirukan watak Ib yang sinis dan lancang ternyata jauh lebih sulit daripada yang aku bayangkan. Aku bukan tipe anak kasar yang suka mengumpat, jadi meresapi karakter seperti itu terasa menantang.

Satu latihan yang paling membuatku frustrasi adalah belajar cara menangis dalam hitungan detik. Sampai sekarang aku gagal mempraktikkannya. Tutor memberi saran untuk mengingat memori menyedihkan, tapi tidak ada yang membuatku sedih.

Saat Mama membuangku ke panti? Alih-alih sedih, aku justru marah dengan perbuatannya.

Jadilah aku diizinkan pergi sebentar untuk refleksi diri. Mungkin dengan berjalan-jalan sendirian menghirup udara segera, menikmati pemandangan Kota Seoul, bisa mengembalikan mood-ku.

Sayangnya, aku tidak bisa menikmati waktu sendiriku karena kembali teringat dengan tugas yang diminta Reca: jangan pakai kacamata. Dan besok adalah hari pembacaan naskah.

Aku duduk di taman, melepaskan kacamata. Sesuai dugaan, aku langsung mendengar suara-suara pikiran makhluk hidup yang ada di sekitarku.

Kenapa tuh babu lama banget? Aku lapar, guk. Seharusnya dia membawaku, bukan ditinggalkan di tepi jalan. Dasar babu menyebalkan!

Kau seharusnya bersyukur punya babu, guk.

Kenapa? Iri ya, anjing gendut? Jauh-jauh dariku.

Kalian boleh saja berantem. Aku nggak peduli. Tapi jangan kencing atau boker di akarku. 

Oke, cukup sampai di sana. Dengan cepat, aku memasang kembali benda itu, ingin menangis mendengar percakapan ganjil mereka. Kenapa aku tidak bisa mengendalikan kemampuan ini? Apakah karena kemampuanku tergolong pasif?

Tidak, pertanyaan sebenarnya adalah kenapa aku bisa memiliki kekuatan terkutuk ini? I'm stress!

Tapi aku tidak tahu, tepatnya tidak sadar. Tak jauh dari bangku yang kududuki, ada seseorang bersembunyi di balik pohon rindang sedang mengintip ke arahku yang mendesah frustasi. Sosok itu tersenyum senang sambil meneteskan air mata.

"Phoebe, syukurlah... kamu masih hidup."

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top