Take 12. The Hobby

Aku memang cukup terampil dalam berantem, namun aku hanya menggunakannya untuk situasi darurat. Tidak semena-mena seperti melampiaskan dendam, mencari perkara, bergabung ke geng, atau semacam itulah.

Kalau bukan aku yang melindungi diri sendiri, maka siapa lagi? Hidupku tidak seindah drama di televisi. Orangtuaku meninggalkanku saat aku baru berusia empat tahun. Aku tidak berharap mendapat perlindungan dari panti, jadi aku harus bertahan seorang diri. Apalagi lingkungan tempatku tumbuh tidak ramah. Orang-orang liar, kasar, dan tidak peduli mau aku anak kecil tak berdaya. Jika aku tidak melawan balik, aku sudah lama jadi korban.

Tidak ada yang mengajariku cara bertarung. Aku belajar sendiri. Awalnya, kupikir aku tidak punya kesempatan melawan mereka yang lebih besar. Tapi aku salah. Mereka semua punya celah. Aku hanya perlu lebih cepat, lebih cerdas, lebih taktis, dan lebih tangguh. Apalagi aku bisa membaca pikiran. Itu plusnya.

Oke, cukup tentangku. Kembali ke saat ini. 

Aku dibimbing Eden ke studio latihan. Udara di sini sedikit dingin karena AC yang terus menyala. Cermin mengelilingi sepanjang ruangan kecuali area pintu, menciptakan pantulan tanpa akhir dari diriku dan Eden. Ruangan ini tersambung dengan ruangan sebelah, tempat Reca dan Purum masuk setelah aku menyakinkan mereka aku baik-baik saja.

Aku menoleh ke kaca besar yang bersifat satu arah. Aku tahu mereka sedang memperhatikan gerak-gerikku. Direktur, sutradara, dan entah siapa lagi yang bertugas menilai.

Dasar. Sudah kayak investigasi polisi saja. Bedanya, kalau di kantor polisi, kaca beserta ruangannya gelap. Di sini terang, membuatku  sekilas mirip subjek penelitian di laboratorium.

"Phoebe, kemarilah."

Aku mendekati Eden. Di sampingnya berdiri seorang pria memakai kaus hitam, celana olahraga, dan masker. Siapa lagi dia?

"Dia Yoon Suby," kata Eden tanpa basa-basi. "Orang yang akan menjadi stuntman-mu nantinya jika kamu berhasil lolos. Bukankah bagus kalian sparring bersama? Kamu sudah menghafal adegan dan dialognya, kan?"

Aku masih belum tahu apa itu stuntman, namun aku mengangguk singkat. Tidak banyak tanya. "Iya, Pak. Ib bertarung sengit dan diakhiri dengan seringaian karena menang."

Eden mengernyit. "Tidak ada pertanyaan?"

"Haruskah saya bertanya?"

Eden mendesah panjang. "Dengar, Phoebe. Ada kamera terletak di langit-langit ruangan. Kamu takkan bisa melihatnya. Kami sengaja melakukan itu supaya kamu tidak merasa tertekan. Kamar juri juga sengaja dipisahkan atas permintaan Purum, membuat suasana lebih rileks. Jadi kamu tidak perlu gugup, oke?"

Aku terdiam. Purum benar-benar perhatian padaku. Dia telah memastikan panggung ini terasa nyaman, seperti dia tahu apa yang kubutuhkan tanpa aku harus mengatakannya.

"Ingat, Suby, jangan terlalu keras."

Suby hanya berdeham pelan, matanya tetap fokus ke arahku. Sulit menebak apa yang dipikirkannya di balik masker itu. Haruskah kubaca pikirannya? Tidak, waktunya tipis.

Eden menatap kami bergantian yang sudah mantap di posisi masing-masing, lalu mengangguk ke kaca besar. Setelah itu, dia melangkah keluar, meninggalkan kami yang menunggu sinyal audisi dimulai.

Ini adalah penilaian. Jangan mengacau—

Belum selesai aku menyugesti diriku untuk tenang, belum ada peluit, alarm, atau bel apa pun yang menandakan audisi dimulai, Suby tiba-tiba sudah bergerak. Sebuah tinju meluncur ke arahku. Aku refleks menghindar ke kiri. "What the hell?" ucapku kesal, nyaris terpeleset karena gerakan mendadak itu.

Namun Suby tidak peduli. Dia langsung maju dengan serangan yang lebih agresif. Kakinya menyapu rendah, mencoba menjatuhkanku. Aku melompat mundur, sekali lagi hampir terpeleset karena lantai yang licin.

Apa-apaan orang ini? Dia tidak memberiku waktu untuk berpikir. Serangannya terlalu rapat, seolah ini adalah pertarungan sungguhan, bukan sekadar audisi. Lebih parahnya lagi, dia terus menjaga jaraknya cukup dekat denganku hingga kamera—di mana pun benda-benda itu berada—mungkin tidak bisa menangkap agresivitasnya.

Pikiranku terputus kala Suby berhasil menarik bajuku dan melemparku ke belakang sebelum aku sempat bereaksi. BRAK! Punggungku menghantam dinding cermin. Getaran suara benturan memenuhi ruangan, tapi diredam oleh gabus. Pria itu tidak punya toleransi!

"Getting tired yet?" Suby masuk ke naskah, tapi intonasi suaranya lebih seperti pribadi.

Kacamataku terlepas akibat tarikan barusan, jatuh dengan bunyi pelan ke lantai. Tanpa sengaja, aku membaca pikirannya.

Apa bagusnya dia dari Hangrim? Padahal aku sudah berharap Hangrim bergabung ke proyek. Yang datang malah bocah kampungan.

Oh, begitu rupanya. Penyepong Hangrim toh. Aku memasang kembali kacamataku, perlahan bangkit. Aku tidak butuh kemampuan mind reader terkutuk itu untuk mengalahkannya.

Aku menjentik tangkai kacamataku. "When did the rabid dog get loose in here?"

Suby tersenyum dingin. "You little brat."

Dalam sekejap, atmosfer berubah. Kami berdua benar-benar melupakan bahwa ini adalah audisi. Aku tidak lagi mengikuti naskah. Suby menjengkelkan, kuputuskan untuk melawan.

Tinjunya meluncur cepat. Aku menangkisnya dengan lengan kiri. BRUK! Pukulanku telak mengenai perutnya. Suby melenguh sesaat dan tanpa berlama-lama menyiapkan serangan counter. Dia melepaskan tangannya yang kutahan, mencengkeram pergelanganku, dan menarikku ke dekapannya. Lengan kekarnya melingkari leherku, menekan dengan kuat.

Sial. Aku masuk kunciannya.

"Kamu tidak sebanding dengan Hangrim."

"Do i look like i give a shit about that?"

Aku mengangkat tangan kiri dan menusukkan sikuKu ke perut Suby. Dia melenguh kesakitan. Kunciannya melonggar membuatku bebas. Tanpa memberi waktu baginya pulih, aku memutar tangannya ke belakang, menekan sendi bahunya. Keadaannya berbalik sekarang.

Tadinya aku mau mengakhiri dengan menendang mukanya menggunakan lututku. Tapi aku lengah. Suby cekatan menahan lututku menggunakan tangan kanannya yang bebas lantas mendorongku sekuat tenaga.

Aku terhuyung mundur, hampir jatuh. Suby tidak memberi jeda. Dia bangkit dengan cepat, kakinya terangkat ingin menendang kepalaku. Mengatupkan rahang, aku sigap menggunakan kedua lengan untuk menangkis tendangannya. BUGH! Kaki dan lengan saling berbenturan.

Aku membungkuk rendah, berputar, dan mengail kakinya yang menjadi tumpuan. BRAK! Suby kehilangan keseimbangan. Tubuhnya terjatuh keras ke lantai. Sebelum dia bangkit lagi, aku segera menginjak dadanya.

"Kamu lebih baik dari dugaanku, Bocah."

Aku menjawabnya dengan seringaian.

"Sudah cukup."

Aku terkesiap, menoleh panik. Entah sejak kapan para juri sudah keluar dari ruangan sebelah dan berdiri di ambang pintu studio, menyaksikan semuanya. Termasuk Purum dan Reca yang menatapku khawatir.

Cepat-cepat aku menyingkirkan kakiku dari dada Suby, mundur dengan langkah canggung. Sial, aku terlalu menikmatinya dan lupa ini bukan perkelahian asli. Ini tuh audisi. Apa aku akan didiskualifikasi? Aku mengacaukannya!

"Namamu Phoebe Sigewille, kan?" tanya pria tua yang tampaknya direktur casting. Kelihatan dari Eden berdiri di belakangnya. Semua orang tampak segan terhadapnya.

"B-benar, Tuan..."

Direktur tersenyum. "Mohon kerja samanya untuk tiga tahun ke depan, Phoebe."

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top