Take 10. The One Who Carries
Aku mematikan komputer dan merenung.
Sejam terakhir, aku menghabiskan waktu membaca komik INSIDE YEARS musim pertama. Satu kata: alurnya amat gila dan unik. Pantas banyak yang menantikan live action-nya.
Selain itu, aku paham mengapa Ib menjadi tokoh penting dan menjadi kesukaan pembaca. Dia benar-benar ngecarry dari awal, tulang punggung cerita, dan genius. Purum membangun karakternya dengan bagus.
Ib adalah seorang pembunuh. Terdapat tiga adegan membunuh di musim pertama dan ketiganya mendapat reaksi heboh oleh penggemar. Histeris, tidak sabaran menunggu gambar itu diwujudkan dalam aksi betulan.
Takut? Tentu saja! Tadinya aku berpikir Ib hanya pembunuh biasa, seseorang yang membunuh karena tidak sengaja atau karena terpaksa. Tapi ternyata dia begitu untuk bertahan hidup yang lama-kelamaan membunuh jadi semacam hobi. Tidak ada lagi kode etik, tidak ada lagi penyesalan.
Aku tidak bisa membayangkan bagaimana aku akan memerankan Ib. Sulit. Di mana aku harus mulai? Dari sisi agresifnya? Atau dari sisi rapuhnya yang tersembunyi?
Tidak, tunggu. Ib ini emosian kan orangnya? Pengumpat, semua orang ditatap tajam olehnya kecuali sahabat-sahabatnya. Tiap kali Ib muncul di panel, fans selalu menunggu aksi brutalnya. Misal, benda apa akan yang dia gunakan untuk membunuh atau kata-kata umpatan apa yang akan dia lontarkan.
Bukankah ini kesempatan untuk melampiaskan semua perasaan yang kutumpuk selama ini? Perasaan kesal dan ingin mengutuki orang-orang yang mengatakan aku anak penyihir karena kemampuan sialan itu.
Aku tersenyum tanpa kusadari.
***
"Wah-wah! Melihat ekspresimu, sepertinya kamu sudah membulatkan tekad."
Pukul tujuh lagi, Reca muncul lagi di panti dengan seringaian puas melihatku sudah siap pergi bersamanya. Tidak ada lagi penolakan. Kali ini aku ikut dengan kemauanku sendiri.
Aku sudah membicarakannya ke Suster Viola dan dia mengizinkanku. Dia juga yang akan menceritakan kronologinya ke Suster Kimi nanti. Urusan Rae, polisi yang akan mengambil alih. Biarkan orang dewasa mengurusnya. Suster Viola senang jika aku menemukan sebuah hobi agar aku tidak suntuk lagi di sini.
"Well..." Aku mendekat ke arahnya, tersenyum. "Nothing ventured, nothing gained."
Reca tampak tidak sepenuhnya memahami ucapanku, tapi dia ikut tersenyum, memasang kacamata. "Itu artinya kamu siap berubah."
"Pardon? Berubah apanya?"
"Eden bersikeras ingin melihat aktingmu. Purum menyetujuinya. Bagaimanapun pihak produksi butuh bukti konkret agar tidak mengambil aktor yang salah," jelas Reca selagi kami menuju mobil yang terparkir di luar panti. "Dia mengatur audisimu di akademi akting. Semua kru INYERS akan berkumpul di sana. Sekalian, memperkenalkan kandidat pemeran Ib."
Tanganku yang baru saja memasang seatbelt sontak terhenti, menoleh ke Reca yang tengah menyalakan mesin mobil. Dua menit, mobil hitam itu bergerak mulus ke jalan.
Dadaku berdesir aneh. Semua kru katanya? Itu berarti akan ada banyak orang di tempat bernama akademi akting melihatku tampil?
Sial, aku terlalu menganggap remeh. Aku bukan aktor betulan. Bukan siapa-siapa. Ini awalnya cuma iseng, coba-coba, eksperimen kecil untuk mengusir kebosanan karena belum sekolah. Sekarang, aku harus tampil di hadapan semua orang yang jelas profesional?
Jantungku berdebar makin cepat. Apa mereka akan menertawakanku? Menilai aktingku yang seadanya? Mungkin ini keputusan bodoh. Mungkin aku terlalu nekat. Tapi tetap saja, aku tidak bisa memutar balik waktu.
Perjalanan waktu itu rumit. Bahkan jika aku bisa memutar balikkan waktu, tidak ada yang tahu paradoks macam apa yang akan muncul.
Ck, kenapa aku malah teringat perkataan Ib? Itu kan hanya panel dialog komik.
***
Mobil berhenti di depan toko satu lantai dengan spanduk 'Recap Boutique' bercat pink cerah. Sepintas, tempat ini seperti salon atau studio fashion. Aku menoleh ke Reca yang sudah melengos menuju pintu masuknya padahal ada papan sedang tutup hari ini.
Aku mengejar langkahnya. "Ini bukan akademi akting? Bukankah seharusnya lebih besar?"
"Kita punya banyak waktu."
"Jangan bicara setengah-setengah!"
Sepertinya sudah jadi kebiasaan Reca berbicara sepotong-sepotong. Aku tidak suka terjebak di situasi membingungkan tanpa diberi penjelasan. Itu menyebalkan. Dan lebih menyebalkan jika aku harus membaca pikiran.
Aku tidak mau mengandalkan kemampuan ini. Nanti aku ketergantungan. Kecuali kalau memang mendesak banget. Urgen.
Reca hanya menoleh, menyunggingkan senyum tak berdosa. Dia membuka pintu toko dan melambai supaya aku mengikutinya. "Seperti yang kukatakan tadi: berubahmu menjadi bersinar. Kamu takkan pergi ke akademi dengan penampilan gembel seperti itu, kan? Aku bisa diamuk Purum kalau membiarkanmu jadi bahan ejekan semua orang penting."
"Kenapa kamu main masuk saja? Itu tidak terkunci? Betapa teledornya."
Reca tertawa. "Tentu saja. Studio ini milikku. Kamu tidak pernah menanyakan pekerjaanku sih. Aku ini seorang stylish, hanya mendandani orang yang kusukai. Purum meski rada-rada sinting, begitu-begitu dia tetap menawan."
Andai aku punya ponsel, aku akan merekam perkataannya dan memutarnya di depan Purum. Pasti seru melihat mereka gelut.
Begitu masuk, ruangan itu menyambutku dengan wangi manis hairspray dan wangi harum parfum. Ruangannya terang, dihiasi dengan lampu halogen. Rak-rak penuh dengan busana yang tertata rapi. Meja-meja penuh dengan alat make-up dan kebutuhan stylish lainnya, siap digunakan mengubah penampilan.
"Reca! Aku sudah menunggumu!"
Sebuah suara ceria menyapa kami. Dari balik tirai, seorang wanita muncul dengan rambut pendek ikal dan senyuman. Dia menatapku tajam seperti mesin pemindai yang sedang menilai, lalu mengangguk pelan. "Jadi dia subjek tranformasi khusus kita hari ini? Sampai bela-belain menutup toko. Menarik!"
Aku mengernyit. "Subjek?"
Reca menepuk pundakku. "Kamu turuti saja perkataannya ya, Ebe. Dia ahli kok. Ini langkah pertamamu untuk menjadi Ib yang semua orang inginkan. Jadi pergilah."
Reca mendorongku ke teman atau partnernya itu. Dia langsung menarikku ke kamar.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top