Take 1. The Esper Boy
Aku tidak berniat menjadi aktor. Bahkan, memikirkan masa depan saja tidak sempat karena aku terlalu sibuk berpindah ke sana-sini mencari tempat tinggal.
Jadi bagaimana bisa aku berakhir di sini?
Di lokasi syuting yang dipenuhi dengan puluhan kru film, para artis cantik dan tampan, sutradara yang memberi arahan, dan segala perlengkapan produksi lainnya. Mereka bersiap untuk syuting pertama.
Hanya aku yang masih diam di tengah hiruk-pikuk itu, merenungi segalanya. Semua ini terjadi begitu tiba-tiba, tidak memberiku waktu untuk memahaminya.
Tidak ada elemen transmigrasi sedikitpun. Seperti layar sistem yang ada di webtoon, muncul dan menyuruhmu jadi aktor. Atau kau mati terus bereinkarnasi, berharap kehidupan keduamu lebih baik. Tidak. Ini benar-benar hanya terjadi begitu saja.
Mari kita mundur ke sebulan lalu.
***
Banyak yang mengira memiliki kemampuan spesial itu keren. Membuatmu luar biasa. Tapi bagiku, itu bukan keistimewaan. Alih-alih menyebutnya kekuatan super, aku lebih suka menganggapnya penyakit.
Lihatlah, keluargaku menganggapku gila dan meninggalkanku di panti. Para suster juga tidak tahan lama-lama mengasuhku. Mungkin sebentar lagi aku akan gila betulan jika hal ini masih menghantuiku.
Aku tidak tahu apa yang memicunya atau mengapa ini terjadi padaku. Sampai sekarang, masih sulit kupercaya aku dapat membaca pikiran seseorang hanya dengan berkontak mata dengannya.
Aku tidak senang sama sekali. Kalau boleh request, aku ingin kemampuan menjelajahi waktu agar aku bisa mengubah nasibku. Agar aku bisa kembali ke keluargaku.
Hidupku tidak tenang, tidak bisa sekolah dengan normal. Pindah-pindah dari satu panti asuhan ke yang lain, dari satu yayasan penitipan ke tempat berikutnya. Selalu waspada kapan rumor diriku tersebar dan aku akan dioper lagi.
Hal itu sudah berlangsung tujuh tahun.
Sekarang, di usiaku yang ke-13, aku baru sadar bahwa semua perpindahan itu telah membawaku semakin jauh dari rumah. Aku tidak lagi berada di Amerika. Aku kini tinggal di Korea, tepatnya Korsel, tempat asing dengan bahasa asing pula. Meski sulit, aku beradaptasi dengan cepat. Di mana bumi dipijak, di sana langit dijunjung.
Selama setahun terakhir, aku berusaha menekan kemampuan sialan itu. Karena menghindari tatapan orang lain terkesan tidak sopan dan entah sudah berapa kali aku kena ceramah tentang adab, aku mencari alternatif lain yaitu memakai kacamata. Dengan begitu, aku takkan menatap mata seseorang secara langsung.
Omong-omong hari ini adalah giliranku membantu Suster Kimi, kepala panti, membeli bahan makanan di pasar. Tadinya dia menyuruh seseorang menemaniku, namun aku menolaknya halus. Aku hanya perlu membeli daun seledri, bawang bombai, wortel, dan beberapa kentang. Bukan hal sulit, untuk apa repot-repot ditemani?
Pasar pagi selalu ramai. Orang-orang berjalan cepat dengan tas belanjaan besar, sementara para pedagang sibuk berteriak menawarkan dagangan mereka yang segar-segar. Lapak tempat aku biasa membeli bahan makanan sudah tidak jauh.
"Tahun ini benar-benar gila."
Aku menoleh ke arah dua gadis sekolahan yang berdiri di depan food truck. Mereka sedang menunggu eomuk pesanannya matang sambil memandangi layar ponsel.
Bukan obrolan mereka yang membuatku menoleh, namun makanan yang mereka rebus. Itu tampak lezat. Kalau ada sisa kembalian, apa boleh kubelikan setusuk? Aroma kuah wangi dari panci besar yang terbawa angin menggugah selera.
Aku menggelengkan kepala. Apa yang kupikirkan? Aku tidak boleh korupsi. Meski kembaliannya berupa recehan, aku harus mengembalikannya dengan jujur. Hanya dengan kejujuran lah aku bisa diterima sekaligus meredam rumor buruk diriku.
"Star Peak 2024 akan dimulai. Sial, aku harus siap-siap memilih bias baru nih."
Dua remaja itu tertawa riang, larut dalam obrolan tentang audisi idol yang akan datang. Ini Korea, tak heran banyak acara begituan. Lain cerita dengan Amerika yang lebih terkenal oleh industri perfilman.
Bibi stan sayuran akhirnya memberikan uang kembalianku, tersenyum kikuk. "Maaf membuatmu menunggu lama, Nak."
Aku tersenyum tanggung. "It's fine."
Bibi itu mengerjap. "Maaf?"
"Ah, maksud saya tidak apa-apa."
Tiga bulan pindah negara masih belum cukup untukku membiasakan diri dengan bahasa setempat. Aku masih sering keceplosan berbicara dalam bahasa Inggris, terutama saat kesal atau panik. Atau bisa juga saat menjawab lurus seperti barusan.
Aku menghela napas panjang, menjejalkan kembalian itu ke dalam saku. Transaksi sudah selesai, waktunya pulang.
Saat aku berbalik dan melewati dua kakak tadi, mereka sudah pindah topik obrolan. Aku tidak terlalu memedulikannya. Paling hanya sesuatu yang viral di kaumnya.
"Maaf nih ya, aku lebih antusias nungguin INSIDE YEARS. Katanya tuh webtoon booming bakal diadaptasi jadi serial, gila!"
***
Di mana pun tempatnya, selalu ada yang namanya kawasan kumuh. Permukiman superpadat, bangunan bertingkat dua hingga empat lantai berdempetan seperti berebut tempat berdiri. Sesak.
Pemerkosaan, penculikan, pembegalan, semua berbau kriminal bukan hal baru di sini. Jalan sempit penuh tikungan dan lorong gelap menjadi tempat ideal bagi penjahat. Belum lagi kantor polisi jauh.
Makanya aku biasa-biasa saja merasakan ada yang mengikutiku sejak keluar dari zona keramaian. Aku sudah kenyang dengan pengalaman seperti ini selama masih tinggal di Amerika. Di sana, jauh lebih ekstrim lingkungannya. Dibuntuti hanya sepotong kue dari perlakuan buruk dan pengalaman yang pernah kudapatkan.
Lingkungan membentuk fisik dan mentalmu.
Aku menoleh. Mereka bersembunyi dalam kegelapan. Apa yang mereka inginkan dari anak-anak sih? Aku tidak terlihat seperti anak keluarga kaya. Mana mungkin orang kaya tinggal di daerah seperti got.
Setelah menunggu sekitar lima menit, tidak ada pergerakan. Aku mengedikkan bahu dan melanjutkan perjalanan ke panti. Mungkin mereka dalam tahap pengintaian, belum diperintah untuk menangkap target.
Sesampainya di panti, aku langsung menuju dapur. Tas belanja plastik itu berbunyi pelan saat kuturunkan ke atas meja. Tidak ada Suster Kimi menunggu di sana. Mungkin beliau masih berada di kantornya.
Aku meluncur menuju kantor kepala panti, berniat melaporkan kepulanganku. Tapi langkahku terhenti di depan pintu yang sedikit terbuka. Terdengar suara panik Suster Kimi sedang berbicara di telepon.
Eh? Kenapa dengan beliau?
Penasaran, aku mendekat untuk mendengar lebih jelas, namun sebelum aku sempat mencerna, sebuah sentuhan di bahuku membuatku tersentak. Aku berbalik cepat dan mendapati Suster Viola berdiri di belakangku. Wajahnya penuh kekhawatiran.
"Kemari," bisiknya, menggenggam lenganku dan menarikku menjauh dari sana.
Aku mengikuti tanpa bertanya. Suasananya tidak beres. Di lorong, Suster Viola berhenti sejenak, memastikan tidak ada orang lain di sekitar. Aku tidak tahan lagi karena gemas dan bertanya, "Ada apa?"
"Maaf, bisakah kamu jangan mengganggu Nona Kimi dulu untuk beberapa hari?"
Aku mengernyit. "Kenapa, Suster?"
"Beliau sangat gelisah karena salah satu alumni Mujigae tidak dapat dihubungi. Padahal dia tidak pernah begitu, selalu rutin menelepon. Tampaknya perselisihan terakhir mereka sangat berdampak."
"Siapa alumninya?" tanyaku serius.
Suster Viola berpikir sejenak. Tersentak.
"Kalau tidak salah namanya Im Rae."
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top