Chapter 5 : Blood in the Rain

Malam datang dengan cepat, dan Cameron berdiam seorang diri di dalam ruangan kantornya. Wilson baru saja pergi, dan dia terdiam selama beberapa saat sebelum mengambil jaketnya yang dia letakkan di atas meja kerjanya. Dia merogoh ke saku dalam jaketnya, dan mengeluarkan sebuah buku catatan kecil yang tadi dia pungut di gang dekat tempat persembunyian Maxime.

Bersamaan dengan buku itu, Cameron juga mengambil berkas tentang Maxime yang dia letakkan di atas mejanya. Dia membawa kedua benda itu bersamanya, lalu duduk di sofa sambil memperhatikan kedua benda itu sejenak. Setelah beberapa saat, Cameron mengambil buku catatan yang dia temukan.

Bukunya sederhana saja. Sebuah buku bersampul kulit hijau lumut. Tapi ketika membuka bukunya, akan terlihat beberapa foto yang tertempel di beberapa halaman, dan tulisan tangan yang menuturkan tentang data diri setiap korbannya. Selain itu, ada banyak bekas bercak darah yang tersisa di halaman bukunya.

Cameron meletakkan buku itu dalam pangkuannya. Kemudian dia mengambil map miliknya, dan membukanya. Dia mulai mencocokkan antara dua data yang dia miliki di sana.

Wilson tidak tau tentang penemuannya ini, karena dia tidak menceritakannya. Entah kenapa Cameron tidak ingin membagikan informasi ini pada partnernya. Tapi dia rasa Wilson bisa mengetahuinya besok. Dan mereka juga bisa memastikan kalau rumah terlantar yang mereka kunjungi itu adalah persembunyian Maxime, dari semua petunjuk yang mereka temukan di meja dan lemari yang terdapat di ruangan yang penuh darah itu.

Cameron meneliti semua nama dan foto yang berada di buku tersebut. Dan dia menemukan bahwa semua orang yang ada di dalam catatan itu adalah orang yang sama dengan yang menjadi korban dari Maxime. Jadi sepertinya catatan itu milik Maxime.

Pertanyaannya adalah, kenapa dia menjatuhkannya begitu saja? Tidak mungkin kan kalau Maxime sengaja melakukannya? Bukunya sendiri tidak basah atau rusak sedikitpun, jadi sepertinya buku itu berada di sana setelah hujan selesai, yang menjelaskan kenapa jas hujan dan payung yang ada di rumah itu ditinggalkan begitu saja.

Cameron terdiam sejenak. Dia kembali teringat akan perkataan Wilson tentang kekhawatirannya. Rekannya tidak ingin dia menjadi monster karena sangat ingin untuk menyelesaikan kasus ini. Cameron menyadari kalau kadang dia bisa jadi sangat mengerikan, tapi rasanya dia tidak akan melakukan hal seperti itu.

"Tapi terkadang bukankah sesuatu yang mengerikan itu juga bisa terlihat indah?"

Pikiran Cameron melayang jauh, dan tanpa dia sadari kalau dirinya sudah terlarut ke dalam lamunannya.

~~~~~

Langit di malam hari itu meneteskan air mata. Membuat banyak orang enggan pergi ke luar dan memutuskan untuk segera pergi ke kasur mereka yang hangat untuk mengarungi lautan mimpi yang sudah menunggu mereka setelah hari yang panjang.

Tapi tidak dengannya. Dia berada di pinggir jalan, dengan mengenakan jas hujan berwarna hitam. Wajahnya tertutup sebagian karena penutup kepalanya. Dia melangkah dengan santai, hingga akhirnya dia berada di depan sebuah rumah kosong. Kakinya tidak berhenti di situ saja, kini dia melangkah menuju ke bagian belakangnya. Tangannya yang dibalut sarung tangan karet memutar pegangan pintu lalu membukanya, dan masuk ke dalam.

Dia melepaskan jas hujan yang dia kenakan, lalu mengedarkan pandangannya ke arah dapur yang berdebu. Dia bisa melihat seorang wanita dengan rambut sebahu dan make up tebal berdiri di sana sambil merokok. Si wanita menoleh ke arahnya, lalu membuang rokoknya yang sudah habis.

Mereka berbicara sejenak. Si wanita menyulut sebuah rokok lagi, sementara itu si pria menatap konter dapur sambil menjalankan jarinya di sekitar perabotan yang berdebu itu.

Dan hal itu terjadi begitu saja. Kilatan pisau, cipratan darah, langkah kaki yang terburu - buru, suara teriakan yang memekakkan telinga, suara pisau yang menyentuh permukaan lembut, dan sebuah suara jatuh yang cukup keras.

Semuanya berakhir dengan sebuah tawa maniak yang menggema ke seluruh rumah. Langit bergemuruh dan hujan di luar semakin deras, dengan kilat yang beberapa kali bisa terlihat di jendela.

"Berterima kasihlah karena aku mengakhiri penderitaanmu, kawan."

Tangannya yang berlapis sarung tangan berlumuran darah, tapi dia tidak segan untuk menjilatnya. Bisa dia rasakan kehangatan cairan kental itu, yang membuatnya semakin menggila. Setelahnya, dia menatap ke arah jendela, lalu kembali tertawa.

"Kau tidak akan bisa mendapatkanku. Siapapun tidak akan bisa mendapatkanku."

~~~~~

Cameron kembali ke alam sadarnya. Dia tidak tau apa yang menyebabkan dirinya tiba - tiba bisa berpikiran seperti itu. Dia bisa mengingat bayangan menjijikkan dari fantasinya tadi, dan jelas dia tidak menyukainya.

Tapi kini kembali pikirannya teringat akan Wilson. Kalau Maxime adalah monster seperti apa yang ada dalam imajinasinya, maka sepertinya cara yang paling cocok adalah menangkapnya dengan sesama monster. Tapi akankah itu berhasil?

Wilson tidak akan membiarkan itu terjadi, Cameron tau itu. Tapi dia ingin agar semua kegilaan Maxime diakhiri. Maxime adalah monster yang sesungguhnya, karena itulah dia yang harus disingkirkan.

Cameron kembali terdiam. Dan entah kenapa, dia merasakan kalau apa yang dia imajinasikan itu terasa nyata. Sepertinya, bisa saja hal itulah yang sebenarnya terjadi pada korbannya, dan dia tidak tau kenapa dirinya bisa membayangkan hal seperti itu.

Dan lagi, kenapa Wilson khawatir kalau Cameron berubah jadi monster? Cameron berpikir kalau dirinya tidaklah seseram itu.

Cameron melirik tangannya sendiri, kemudian dia tersentak. Entah kenapa rasanya seperti sebuah generator tua yang dinyalakan, pikiran Cameron kembali bekerja seperti seharusnya.

Kini dia tau apa maksud perkataan Wilson. Dan kini dia juga tau apa yang harus dilakukannya.

~~~~~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top