Chapter 4 : Trigger
Beberapa hari berlalu setelah malam yang dipenuhi banyak pikiran itu. Dan hari ini Cameron dan Wilson melakukan pekerjaan mereka seperti biasanya. Hingga akhirnya ketukan terdengar di pintu ruang kerja mereka. Seorang pria datang dengan terburu - buru, dan segera menyampaikan masalah apa yang menghampirinya.
Pria tersebut adalah seorang pengawas bangunan, dan dia baru saja menemukan mayat di sebuah bangunan terlantar. Keberadaan mayat tersebut diketahui setelah dia mengecek bangunan terlantar tersebut, karena tujuan awalnya untuk mencari tau apakah bagunan tersebut masih dalam keadaan baik atau tidak. Saat itulah dia menemukan si mayat, yang sudah dalam keadaan membusuk.
Langsung saja Cameron dan Wilson menuju ke tempat kejadian bersama si pria untuk melihat keadaannya. Wilson terlihat agak tegang, yang menurut Cameron agak tidak biasa. Saat mereka melangkahkan kaki memasuki rumah terlantar tersebut, Cameron memutuskan untuk memastikan apakah partnernya baik - baik saja.
"Wilson? Kau terlihat agak tegang? Kenapa?" tanya Cameron.
Wilson berkedip selama beberapa saat, sebelum akhirnya dia tersenyum dan menoleh ke arah Cameron. Wilson tau kalau temannya bisa merasakan sedikit ketegangan dalam dirinya, tapi dia tidak ingin Cameron merasa kalau hal ini mengganggu.
"Ah, aku tidak apa kok. Hanya saja ... merasakan sedikit firasat buruk. Kuharap tidak ada sesuatu yang aneh terjadi." jawab Wilson.
"Hmmm ... baiklah. Kalau begitu ayo kita langsung lihat bagaimana keadaan mayatnya."
Keduanya menuju ke sebuah ruangan yang terletak di bagian belakang rumah. Ruangannya cukup besar, dan berseberangan dengan toilet. Ketika mereka masuk ke dalamnya, bisa tercium aroma busuk dari mayat seorang wanita yang tergeletak di tengah ruangan. Korban menerima banyak tusukan di tubuhnya, yang menyebabkan beberapa organ dalamnya terlihat dengan sangat jelas, bahkan hampir keluar dari tempat asalnya.
Ruangannya sendiri pengap, walau semua jendela ruangan itu sudah dibuka lebar - lebar. Beberapa lalat menghinggapi tubuh korban. Bercak darah yang mengering tersebar di seluruh ruangan, dan ada sebuah bekas genangan yang mengering di sebelah tubuh korban. Cameron dan Wilson mengenakan perlengkapan mereka, dan mulai memeriksa keadaan korban.
Korban dipastikan sudah tewas selama beberapa hari, dari pembusukan yang sudah terjadi. Di tubuh korban ada setidaknya 28 luka tusukan yang cukup lebar. Di saku korban ditemukan sebuah dompet yang menyatakan identitasnya. Si wanita bernama Stacey Ridgley. Usianya 27 tahun, dan masih lajang. Pekerjaannya sendiri adalah sebagai seorang pegawai.
Dari apa yang bisa diamati, korban tewas karena banyaknya tusukan darah yang ada di tubuhnya. Tapi dari beberapa bercak darah yang terlihat di lantai mengindikasikan adanya perlawanan dari korban, atau mungkin perkelahian sebelum mereka mencapai ruangan tempat korban berada. Bahkan ada bercak darah di pintu ruangan, jadi mereka memutuskan untuk mengikuti jejaknya.
Setelah mengamati pintu selama beberapa saat, Cameron memutuskan untuk mengikuti kemana jejak darahnya berasal. Jejaknya menuntun Cameron menuju ke dapur. Disana terdapat sebuah meja panjang dan beberapa kursi bar, serta lemari - lemari yang menempel di dinding. Cameron memutuskan untuk memeriksa laci - laci yang terdapat di sana.
Setelah membuka beberapa laci, Cameron dapat melihat sebuah laci yang dipenuhi dengan pisau dapur. Keadaannya cukup rapi, kecuali sebuah pisau besar yang berada di paling atas tumpukan, yang terlihat memiliki noda darah. Cameron mengambilnya, dan mengamati pisau itu dengan seksama.
Darah, darah dan darah. Hanya darah yang bisa terlihat sepanjang mata memandang. Darah yang mengering, darah segar yang menetes, diikuti dengan tawa maniak yang menggema di kejauhan. Sebuah euforia yang bisa terasa ketika cairan kental itu mulai menghiasi ruangan.
"Jadi dia mengambil senjatanya dari laci yang ada di sini?" tanya Wilson.
Cameron hampir saja mengarahkan pisaunya ke Wilson ketika mendengar rekannya tiba - tiba berbicara di sebelahnya. Setelah mengetahui kalau itu hanyalah Wilson, Cameron menghela napasnya.
"Kamu ini, bikin kaget saja ...." kata Cameron.
Wilson terkekeh. "Maaf, sepertinya kamu konsentrasi sekali mengamati senjata pembunuhnya." ujar Wilson.
"Karena tidak biasanya dia meletakkan senjatanya di tempat lain yang agak jauh dari korban. Aneh, karena biasanya senjata akan berada bersama korban. Tidak biasanya, apakah ini pembunuh lain atau masih terkait dengan Maxime? Dan sepertinya dia berada di sini untuk beberapa saat sebelum akhirnya pergi."
"Ya, memang agak aneh sih, tadi aku juga sempat bertanya dimana senjatanya berada. Tadi aku mengamati pintu belakang, dan aku menemukan sebuah jas hujan yang tergantung di bagian belakang pintu. Bisa jadi itu milik pelaku, atau korban."
Cameron mengangguk. Dia meletakkan pisau yang ada di tangannya di atas konter, lalu melangkah menuju ke pintu belakang. Seperti yang Wilson katakan, ada sebuah jas hujan berwarna hitam yang menggantung di gantungan yang terdapat di belakang pintu. Cameron mengamatinya, tidak ada yang aneh dari jas hujan itu. Keadaannya sudah kering, dan sebuah payung bersandar di sebelah pintu. Tapi bisa dipastikan kalau ini digunakan entah oleh korban atau pelaku ketika kemari.
"Jadi, peristiwa ini terjadi saat hari hujan ... beberapa malam lalu?" ujar Cameron.
"Bisa jadi. Aku akan memeriksa lantai atas, kamu mau ikut?" tanya Wilson.
" ... aku akan memeriksa gang di sekitar rumah ini. Nanti aku akan menyusulmu."
"Oh, baiklah."
Cameron keluar melalui pintu belakang, dan menyusuri gang kecil yang ada di sekitar rumah. Jalanannya dilapisi aspal, jadi tidak ada jejak yang bisa ditemukan di tanah. Cameron melangkah ke arah sebuah tong sampah besar yang berada di sisi rumah. Awalnya dia ingin mengabaikannya ketika melihat bahwa tong sampah itu kosong, hingga akhirnya dia melihat sebuah buku tergeletak di sebelah tong sampah. Cameron langsung saja memungutnya.
Di dalam buku itu, dia bisa melihat beberapa foto dan nama yang dikenalinya sebagai beberapa korban dari Maxime. Ada beberapa cipratan darah di dalamnya. Cameron memutuskan untuk menyimpan bukunya di saku dalam jaketnya. Ukuran bukunya tidak terlalu besar, jadi dia bisa menyimpannya.
Setelah menelusuri gang tersebut, Cameron kembali ke dalam rumah. Dia menuju ke lantai atas dan melihat rekannya tengah berdiri di depan sebuah ruangan. Dari samping dia bisa melihat ekspresi terkejut dari Wilson, lalu dia mengalihkan pandangannya ke dalam ruangan.
Ruangannya dipenuhi dengan cipratan darah. Bahkan hampir seluruh dindingnya dipenuhi dengan cairan merah yang sudah mengering itu, yang menyisakan bau anyir di seluruh ruangan. Cameron melangkah ke dalam, kemudian mengamati sekelilingnya.
Perhatiannya kini tertuju pada sebuah lemari kaca yang berada di sana. Lemarinya berdebu, tapi di dalamnya ada beberapa botol kaca yang belumuran darah. Cameron membuka lemarinya, dan memerhatikan bahwa setiap botol kecil di sana berisi darah. Di sebelah lemari, terdapat sebuah meja yang dipenuhi kertas, foto dan bercak darah. Dia bisa menemukan beberapa korban Maxime di sana.
"Sepertinya kita sudah menemukan ruang persembunyian Maxime the Malicious." ujar Cameron.
"Ya Tuhan, psikopat macam apa dia, sampai - sampai seluruh ruangannya dihiasi oleh darah begini?" tanya Wilson.
"Mungkin salah satu yang paling buruk, karena aku rasa bisa jadi dia mendapatkan semua darah itu dari korbannya."
Setelah menelusuri ruangan lainnya, dan tidak menemukan apapun, Cameron dan Wilson memtuskan untuk mengakhiri penyelidikan mereka dan kembali ke kantor mereka. Ketika mereka tengah duduk di sofa, Cameron tiba - tiba teringat sesuatu.
"Stacey Ridgley ... kenapa namamya tidak asing bagiku?" tanya Cameron.
Wilson melirik ke arah Cameron. "Entahlah ... nama keluarganya memang terdengar tidak asing."
Keduanya berpikir sejenak, yang membuat ruangan hening. Hingga akhirnya Cameron teringat sesuatu.
"Kurasa ... aku pernah dengar nama Ridgley dari salah satu rekan kita di Shaun Private Eye ... ketika aku membantu mereka untuk menangkap Ascot Myers." kata Cameron.
"Mungkin kau bisa tanyakan pada mereka, siapa tau mereka bisa membantu?"
Cameron mengangguk. Dia langsung mengambil ponselnya, dan menuju kontaknya. Dia menekan sebuah nomor, yang terhubung ke David, ahli IT di Shaun Private Eye.
"Halo, David?" tanya Cameron.
"Hey Cam! Ada apa? Kamu butuh bantuan?" sahut David.
"Uh ... ya. Aku baru saja mendapatkan kasus yang behubungan dengan Maxime the Malicious, dan korbannya kali ini bernama Stacey Ridgley. Kurasa aku pernah mendengar salah satu rekan kalian yang bernama Ridgley, kalau tidak salah? Aku hanya ingin mengajukan beberapa pertanyaan."
"Kalau maksudmu Anthony, ya kurasa memang dia. Anthony Ridgley, yang juga tergabung dalam tim IT. Kau mau bicara dengannya?"
"Ah iya, Anthony! Aku baru saja ingat! Tentu saja aku ingin bicara dengannya."
"Baiklah, tunggu sebentar, dia akan kemari."
Setelah beberapa saat menunggu, Cameron dapat mendengarkan sebuah suara lainnya di sambungan telepon.
"Halo? Ada apa Cameron?" ujar Anthony.
"Nama belakangmu Ridgley kan? Apakah kamu kenal dengan Stacey Ridgley?" tanya Cameron.
"Ya, tentu saja. Dia sepupuku. Ada apa dengannya?"
"Kau sudah dengar tentang pembunuh bernama Maxime the Malicious yang berkeliaran di pinggir kota? Aku hari ini menemukan Stacey telah tewas di sebuah rumah terlantar, dan sepertinya Maxime yang telah membunuhnya."
"Ya Tuhan! Bagaimana bisa dia ... ya ampun!"
"Yah, sayangnya itu terjadi. Mungkin kamu tau kira - kira alasan apa yang membuatnya bisa menjadi target pembunuhan?"
"Stacey orang baik, sejauh yang aku tau. Dia memang baru saja membatalkan pernikahannya beberapa bulan lalu karena tunangannya tidak terima kalau dia telah menggugurkan anak mereka berdua ... jadi kurasa tidak ada yang ingin dia tewas, kecuali kalau mantan tunangannya memang sejahat itu. Tapi pria itu sudah pindah dari Inkuria. Stacey terlihat agak stres setelah kepergiannya ... jadi tidak banyak yang tau apa yang dilakukannya karena dia memutuskan untuk menyendiri lebih banyak."
"Ah, baiklah Anthony. Terima kasih atas penuturanmu. Sepertinya itu bisa membantuku nanti."
"Sama - sama, senang bisa membantu! Masih ada pertanyaan lain?"
"Kurasa tidak, tapi nanti aku akan minta David untuk mengirimkan kontakmu padaku, kalau - kalau aku terpikirkan pertanyaan lainnya."
"Baiklah. Kalau begitu aku akan kembalikan ke David!"
"Jadi, bagaimana?" tanya David.
"Setidaknya aku sudah tau sedikit tentang Stacey. Tolong kirimkan kontak Anthony padaku, kalau - kalau nanti aku memerlukannya."
"Baiklah, akan kukirmkan padamu."
"Terima kasih, David. Kurasa cukup itu saja keperluanku."
"Sama - sama, kawan. Senang bisa membantumu. Semoga sukses dengan kasus Maxime!"
"Thanks David. Kalau begitu, sampai nanti!"
"Sampai nanti!"
Cameron memutuskan sambungan telponnya, kemudian dia melirik Wilson. Sang partner yang sejak tadi menyimak balik menatap Cameron, lalu tersenyum.
"Setidaknya kita tau sedikit tentang Stacey, sebelum kita bisa menanyai keluarganya lebih lanjut lagi." kata Wilson.
"Ya, kau benar." jawab Cameron, lalu menatap langit - langit.
Tangannya dipenuhi darah. Tapi hal itu tidak membuatnya jijik. Dia menyukai betapa hangatnya cairan kental itu di tangannya. Dia menggigit bibir bawahnya karena bersemangat, dan melihat seseorang yang terduduk pasrah di hadapannya.
"Aku akan mengakhiri semua penderitaanmu untukmu, kawan."
"Cameron?" tanya Wilson, sambil mengguncang bahu Cameron.
"Huh? Maaf, aku melamun." sahut Cameron.
Kini Cameron menatap ke arah pintu. Dia teringat akan buku yang dia pungut. Akankah itu bisa membantu, pikir Cameron ....
~~~~~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top