Chapter 3 : Maxime the Malicious

Pagi itu, tepatnya pada 17 Mei 2022. Seperti rutinitasnya pada pagi hari, Cameron akan menyiapkan dirinya untuk bekerja. Pakaiannya terlihat rapi seperti biasanya, dan dia baru saja memungut surat kabar langganannya dari depan kantornya yang dilemparkan loper koran tepat ke karpet yang ada di depan pintu.

Setelah memungut koran, Cameron pergi ke dapur untuk membuat kopi pagi harinya. Secangkir larutan pekat kini berada di tangannya, menguarkan uap panas ketika dia berjalan menuju ke ruang duduk di kantornya. Baru saja dia hendak meletakkan pantatnya di sofa, dia mendengar ada suara ketukan di pintunya. Cameron tau kalau suara ketukan itu bukan milik Wilson, karena rekannya akan mengetuk sebanyak dua kali, bukannya tiga kali. Jelas hal ini membuat Cameron bingung, karena dia tidak mengira akan ada orang yang bertamu sepagi itu.

Cameron langsung melangkah menuju ke pintu, dan membukanya. Di hadapannya ada dua seorang pria. Yang pertama mungkin sudah berusia hampir 60 tahun, tapi wajahnya tidak dipenuhi keriput seperti pada umumnya pria berusia sekian, walau rambutnya yang hampir memutih semuanya menjelaskan usianya. Dia mengenakan kemeja kotak - kotak berwarna cokelat dengan sepasang celana kain dan sepatu yang dipoles sampai mengkilat. Pria itu terlihat sangat khawatir, dan dia ditemani oleh seorang pria lainnya, yang ini usianya jauh lebih muda. Dia mengenakan topi dengan cara terbalik, dan pakaiannya sangat sederhana, hanya sebuah kaus polos berwarna hijau tua, celana pendek dengan beberapa kantong yang berwarna abu - abu, dan sepasang sepatu kets.

"Ya, ada yang bisa saya bantu?" tanya Cameron.

"Saya ... kami baru saja melihat hal yang buruk pagi hari ini, dan saya memutuskan kalau anda adalah orang pertama yang harus saya datangi." kata si pria tua.

Cameron mengangguk. "Silahkan masuk kalau begitu."

Mereka masuk ke dalam ruangan kantor. Ketika para tamu baru saja duduk di sofa, terdengar suara ketukan sebanyak dua kali, yang dikenali Cameron sebagai suara ketukan milik Wilson.

"Masuk saja, kawan!" kata Cameron.

Wilson masuk ke dalam ruangan, dan dia terlihat bingung dengan adanya dua orang yang mendahului kedatangannya. Pria dengan rambut perak itu menatap kedua tamu secara bergantian, lalu dia memandang Cameron, berusaha mencari tau apa yang terjadi.

"Ada apa ini, tumben ada tamu pagi - pagi begini?" tanya Wilson.

"Aku juga tidak tau, mereka baru saja duduk ketika kau datang. Jadi mungkin kau bisa buatkan mereka minuman dulu, lalu kita bisa bicarakan apa masalahnya." jawab Cameron.

Wilson mengangguk, lalu menawari kedua tamu mereka minuman, yang diterima keduanya dengan senang hati. Kemudian Cameron duduk di sofa, menyeruput kopi yang tadi dia buat. Matanya menatap kedua tamunya, lalu dia berkata.

"Bagaimana kalau kita perkenalan saja dulu, supaya kita tau satu sama lain?" tanya Cameron.

Si pria tua mengangguk. "Nama saya Ryan Avory, dan yang bersama saya ini Fariz." kata si pria yang rupanya bernama Ryan itu.

"Ah, baiklah Pak Ryan dan Fariz ... mungkin kalian sudah tau siapa saya. Saya Cameron Pacifia, dan yang tadi itu rekan saya, Wilson Wright. Kami akan sangat senang untuk mendengarkan apa masalah kalian dan membantu menyelesaikannya, tapi kalian tidak usah terburu - buru. Santai saja, buatlah diri kalian merasa nyaman terlebih dahulu. Sepertinya apa yang terjadi sangat mendadak dan kalian baru saja mengetahuinya, karena kalian langsung kemari sepagi ini ...."

"Ya, memang. Dan apa yang kami lihat cukup mengejukan. Saya butuh untuk mengatur napas sejenak."

Tak lama kemudian, Wilson kembali dan membawakan minuman untuk tamu mereka dan untuk dirinya sendiri. Kini dia duduk di seberang Cameron, lalu melirik ke arah kedua tamu mereka.

Para tamu menyeruput minuman mereka, dan kini ekspresi mereka terlihat lebih tenang. Setelah meletakkan cangkirnya kembali ke meja, Pak Ryan menatap ke arah Cameron dan Wilson, lalu memulai ceritanya.

Diawali dengan Fariz yang merupakan seorang kurir barang yang ingin memulai pekerjaannya. Fariz melakukan rutinitas paginya seperti biasa, mengantarkan beberapa lusin susu sapi yang berasal dari peternakan yang berada persis di batas kota. Saat itu, Fariz tengah melintasi sebuah taman kecil, ketika dia melihat seorang wanita sedang duduk di salah satu bangku taman yang ada di sana. Penasaran, dia berusaha mendekatinya.

Tak disangka, rupanya wanita yang berada di sana telah tidak bernyawa lagi. Ada sebuah pisau yang menancap di dadanya, dan darah yang mengering di tangannya. Fariz hampir saja memecahkan botol - botol kaca yang dibawanya setelah menyadari siapa wanita malang itu. Rupanya dia adalah Madison Avory, yang merupakan putri dari Pak Ryan. Dia tidak menyangka kalau anak dari salah satu langganannya memiliki akhir hidup yang mengenaskan.

Langsung saja Fariz menuju ke rumah Pak Ryan, karena kebetulan beliau adalah pelanggan terakhir yang harus dia antarkan pesanannya. Setelah menemui Pak Ryan, Fariz menjelaskan kondisinya. Keduanya langsung datang ke taman, dan Pak Ryan mengambil inisiatif untuk meminta beberapa orang untuk berjaga di tempat kejadian perkara, kemudian mereka pergi ke tempat Cameron dan Wilson.

Setelah mendengarkan kisahnya, mereka semua memutuskan untuk menuju ke tempat kejadian. Sesampainya mereka di sana, Cameron dan Wilson bisa melihat beberapa orang berjaga di sana, dan mereka dikerumuni oleh beberapa orang penasaran yang kebetulan melintas di sana. Setelah berusaha untuk membelah kerumunan manusia yang ada, mereka menyelidiki mayat korban.

Cameron dan Wilson berusaha untuk mengumpulkan bukti - bukti dan beberapa jejak yang mungkin tertinggal. Pak Ryan juga sudah memanggil kepolisian, jadi mereka bisa bekerja sama untuk menyelesaikan kasus ini. Sayangnya, tidak banyak jejak yang bisa mereka temukan, sehingga akhirnya mereka memutuskan untuk pergi ke apartemen dimana Madison tinggal.

Apartemen tempatnya tinggal sangatlah rapi, tidak ada benda mencurigakan apapun. Hingga akhirnya mereka menemukan sebuah kertas yang berada di toilet, tepatnya ditempelkan pada cermin yang berada di dekat wastafel. Kertas itu memiliki tulisan yang diketik. Kehadiran surat itu membuat Cameron dan Wilson curiga, terutama setelah melihat apa isinya.

"Aku akan segera membantumu mengakhiri semuanya, Madison." -Maxime-

Cameron mengambil ponselnya dan memotret kertas itu. Setelahnya, dia mengambil dan mengecek kertasnya, kalau - kalau ada yang aneh. Tetapi tidak ada apapun yang bisa dia temukan, sehingga akhirnya dia mengembalikan kertas itu ke tempat asalnya. Kemudian dia memeriksa lemari yang berada di kamar mandinya, dan menemukan sebuah bungkusan yang berisi serbuk yang mencurigakan.

Setelah beberapa hari kemudian, muncul sebuah pernyataan resmi dari kepolisian. Mereka menyimpulkan bahwa Madison melakukan bunuh diri karena sidik jari yang mereka temukan di pisau adalah milik Madison, bersamaan dengan fakta dari hasil autopsi bahwa dia berada di bawah pengaruh obat - obatan terlarang, beserta bukti obat - obatan tersebut yang terdapat di kamar mandinya.

Masyarakat merasa bahwa kematian Madison hanyalah sebuah kejadian yang sangat tidak beruntung. Tapi Cameron dan Wilson tau kalau kepolisian sengaja menyembunyikan fakta tentang surat Maxime pada Madison agar tidak menimbulkan kehebohan publik. Dan Cameron semakin yakin kalau Maxime pasti terlibat sesuatu dengan Madison, terutama karena dia bisa mengirimkan surat secara langsung pada Madison.

~~~~~

Cameron menghela napasnya. Entah berapa gelas wiski yang sudah dia minum, yang pasti kini botolnya hanya berisi separo dari yang sebelumnya penuh. Dia kembali mengingat bahwa surat itu bisa jadi membawa jejaknya ke Maxime, tapi entah kenapa hal itu juga membuatnya semakin bingung akan siapa sebenarnya Maxime.

Kini Cameron terdiam, dan pikirannya melayang kesana dan kemari sambil menatap langit - langit ruangan. Berbagai macam pikiran berkelabat di kepalanya, hingga akhirnya dia melihat sebuah bayangan yang entah kenapa terlihat jelas.

Darah. Darah. Darah.

Cameron tersadar akan lamunannya, lalu dia menggelengkan kepalanya. Dia teringat akan perkataan Wilson yang mengatakan bahwa dia khawatir akan keadaan partnernya.

Sekali lagi, Cameron menghela napas. Dia harap imajinasi liarnya tidaklah benar. Lalu dia berdiri dan meletakkan gelas dan botolnya kembali ke dapur, lalu bergegas ke lantai dua yang merupakan kediamannya dan menutuskan untuk tidur agar esok hari bisa datang lebih cepat.

~~~~~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top