Chapter 1 : In A Stormy Night

Juni 2021

Hari itu, cuaca tidak bersahabat. Air hujan jatuh mengetuk jendela ruangan, beserta dengan angin yang cukup kencang bertiup dan menggoyang lampu jalanan yang sudah agak rapuh. Cameron memandang ke luar, matanya tertuju pada beberapa pohon yang melambai mengikuti arah angin, sebelum akhirnya dia mundur dan memandang ke sekeliling ruangan.

Cameron berada di ruangan kantor yang jadi miliknya dan Wilson, rekannya. Ruangannya terdiri atas sebuah ruang tamu dengan sofa yang di seberangnya terdapat sebuah televisi, kemudian ada dua buah meja kerja yang masing - masing diletakkan di sudut ruangan. Di dinding yang berada di belakang meja - meja itu terdapat dua buah rak buku yang dipenuhi dengan koleksi yang berhubungan dengan pekerjaan mereka sebagai penyidik swasta. Atau bisa juga disebut sebagai mata - mata. Lalu ada sebuah pintu diantara kedua meja itu yang akan membawa mereka ke sebuah dapur sederhana yang berseberangan dengan kamar kecil.

Ketika Cameron mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan, dia bisa melihat Wilson tengah berjalan dari pintu dapur menuju ke ruang tamu. Di tangannya ada dua buah mug yang mengepulkan uap hangat, tanda bahwa dia baru saja selesai membuat minuman untuk menghangatkan dia dan rekannya di cuaca yang dingin itu.

Cameron tersenyum, kemudian dia melangkahkan kakinya menuju ke sofa berwarna cokelat kopi tempat Wilson berada. Dia duduk di sebelah Wilson, dan langsung disodori sebuah mug.

"Ini, kopi kesukaanmu." kata Wilson.

"Makasih Wil." sahut Cameron, lalu menyeruput isinya.

Cameron dan Wilson bisa dibilang adalah dua pribadi yang cukup berbeda jauh. Rambut perak alami milik Wilson sangat kontras dengan rambut kemerahan milik Cameron. Cameron adalah pria dengan tubuh yang lebih berisi, sedangkan rekannya berperawakan tinggi jangkung. Cameron lebih suka berpakaian yang agak formal, sedangkan Wilson memiliki gaya yang lebih santai.

Selain penampilan, dari selera mereka juga berbeda. Wilson lebih suka teh yang menenangkan, sedangkan Cameron memilih kopi yang memacu adrenalinnya. Kedua minuman itulah yang mengisi gelas mereka. Keduanya terdiam dalam kesunyian malam, sambil sekekali menyeruput isi mug mereka.

"Kelihatannya ada yang mengganggu pikiranmu, Cameron. Tidak biasanya kamu terdiam begitu saja di hari hujan begini. Biasanya kan kamu menggerutu akan bagaimana cuaca seperti ini membuatmu jadi tidak begitu produktif." tanya Wilson.

"Sepertinya kau sudah bisa tebak apa yang ada di dalam pikiranku. Kau sudah terlalu lama mengenalku, Wil. Kau bahkan tau diriku sebaik kau tau dirimu sendiri." jawab Cameron.

Wilson terkekeh. Memang benar kalau mereka sudah kenal selama delapan belas tahun. Dan itu adalah waktu yang cukup lama. Ketika keduanya sama - sama mendapatkan kesempatan untuk mengenyam pendidikan di Sandford Academy, dan meneruskan pertemanan mereka hingga kembali ke Inkuria, lalu memutuskan untuk bekerja bersama di pinggiran kota Inkuria yang damai.

"Soal Maxime ya? Ya, aku tau kalau kasus itu memang membingungkan. Tapi kamu tidak perlu terlalu terbebani seperti itu." kata Wilson.

"Ya, mungkin kamu benar. Tapi bagaimana bisa ada orang - orang yang terlihat seperti bunuh diri seperti itu? Walau banyak media yang percaya kalau beberapa dari mereka terlihat seperti bunuh diri, aku masih tidak percaya kalau kejadiannya seperti itu."

"Memang agak ganjil. Tapi tentu kau tau kan kalau kadang - kadang ada beberapa penjahat yang punya kemampuan yang tidak terduga dalam mengaburkan jejak mereka?"

"Tentu aku tau tentang hal itu. Tapi Maxime terlihat seperti penjahat yang sempurna. Dia tidak pernah terlihat atau tertangkap basah, tidak ada deskripsi yang jelas tentangnya, dan dia bisa menghilang dalam waktu yang cepat. Seolah dia itu adalah hantu."

"Tidak ada kejahatan yang sempurna, itu kan yang pernah kau katakan padaku? Jadi kenapa kali ini kau kedengaran seperti hendak menyerah?"

"Aku bilang kan seperti penjahat yang sempurna. Dia memang terlihat sempurna dari luar, tapi aku yakin kalau didalamnya ada sebuah titik kelemahan yang bisa dimanfaatkan."

"Mungkin kita hanya butuh sedikit waktu lagi sebelum akhirnya bisa mendapatkan sesuatu yang penting dari Maxime."

"Tapi kapan? Dia sudah berada di pinggiran kota Inkuria selama lebih dari setengah tahun. Kita sudah mulai mencium keberadaannya sejak November tahun lalu, dan sekarang sudah bulan Juni! Kita jelas tidak bisa membiarkan pembunuh berantai seperti dia berkeliaran di sini!"

Wilson memberikan sebuah senyuman penuh simpati. Dia tau rekannya tidak suka kalau sebuah kasus tidak bisa diselesaikan. Cameron tidak suka duduk diam dan menunggu sesuatu terjadi, dia selalu ingin melakukan tindakan dan mengakhiri tindakan penjahat yang ada di hadapannya. Tapi penjahat yang mereka tangani kali ini seperti kegelapan di malam hari, karena kehadirannya kadang tidak disadari. Cameron tidak ingin diam begitu saja dan membiakan sesuatu yang bisa dicegah terjadi.

"Hei, tenanglah kawan. Dia pasti akan tertangkap, cepat atau lambat. Kita kan tidak bisa membuat satu hal terjadi sesuai dengan keinginan kita. Mungkin kau ingin semua ini agar cepat selesai, tapi mungkin sekarang kita harus menikmati prosesnya sebelum bisa menyelesaikan kasus ini."

Cameron menghela napasnya, berusaha untik jadi lebih tenang. Dia tau kalau kadang dirinya bisa jadi tidak sabaran. Wilson selalu bisa menenangkannya kalau keadaannya sudah jadi seperti ini.

"Kau benar. Tapi kau tau bagaiamana sifatku, Wil. Aku ingin dia segera ditangkap. Dan entah kenapa setiap kali Maxime muncul, kita selalu mendapatkan kasusnya untuk diselidiki atas permintaan keluarga korban. Aku rasa itu bukan kebetulan. Sepertinya kita yang memang ditakdirkan untuk menyelesaikan kasus ini."

"Kalau begitu, pasti kita akan bisa menemukan jalan keluarnya segera."

"Kau tau Wil? Aku hampir saja berpikir untuk menyerah dan memberikan kasus ini untuk ditangani oleh Pak Jameson dan rekan - rekan lainnya di Shaun Private Eye. Penjahat selicin Maxime mungkin akan lebih baik jika disandingkan dengan penyidik seahli Pak James."

Wilson mengerutkan alisnya. Dia tidak menyangka kalau Cameron akan mengatakan hal seperti itu. Temannya bukanlah orang yang bisa menyerah dengan mudah, dan pernyataannya tadi membuatnya mengetahui kalau penjahat yang mereka tangani kali ini benar - benar mengganggu pikirannya. Tidak heran, karena sudah tujuh bulan semenjak Maxime mulai menggegerkan masyarakat di pinggiran Inkuria. Bahkan masyarakat di kota juga sudah banyak yang mendengarkannya. Fakta kalau butuh waktu lama untuk menangkapnya jelas membuat Cameron sedikit frustasi, karena dia tidak biasanya membutuhkan waktu selama itu untuk menyelesaikan sebuah kasus di pinggiran kota.

Cameron sendiri sudah agak buntu. Penjahat yang mereka hadapi selicin belut. Tidak terlihat dan terlacak, tanpa ada informasi penting yang bisa didapatkan. Beberapa benda di lokasi kejadian mungkin bisa jadi petunjuk akan keberadaannya, tapi sering kali kehadiran benda itu kelihatan normal - normal saja.

"Kau hampir menyerah?" tanya Wilson.

"Ya. Aku akan benar - benar menyerah kalau sampai bulan depan aku tidak bisa menemukan sesuatu yang berarti tentang Maxime. Tapi kuharap itu tidak akan pernah terjadi."

"Aku harap juga begitu. Menyerah bukanlah gayamu. Aku yakin kita bisa menyelesaikannya, segera."

Cameron menghela napasnya, dan Wilson mengelus bahunya sekali lagi, sebelum menghabiskan isi gelasnya. Pandangan mata Cameron kini menuju ke meja kopi yang ada di hadapan mereka. Ada sebuah map terletak di sana, yang berisi tentang rangkuman penyelidikan terhadap Maxime. Dia baru saja membacanya sebelum memandangi jendela tadi. Wilson meletakkan mugnya yang sudah kosong di atas meja, sementara itu Cameron memandangi sekeliling ruangan, kemudian matanya tertuju pada meja kerja Wilson.

"Ngomong - ngomong, kok di meja kerjamu ada banyak sekali CD?" tanya Cameron.

Wilson terkekeh. "Oh itu. Kau tau kan kalau aku kadang suka membuat video yang berisi bagaimana aku menceritakan tentang kasus - kasus yang kita selesaikan? Nah, aku memutuskan untuk membuatnya dalam bentuk CD." jawab Wilson.

"Lalu, ingin kau apakan? Dijadikan koleksi, lalu ketika kau punya anak akan kau wariskan padanya?" sahut Cameron, lalu tertawa.

"Itu ide yang bagus sebenarnya. Mungkin akan aku lakukan nanti? Yang aku tau sekarang ini adalah, aku ingin punya bentuk fisik dari petualangan yang telah kita lakukan."

"Baiklah, baiklah. Aku tidak akan komentar lagi tentang kebiasaanmu yang agak tidak biasa itu. Tapi aku tau kau memang suka hal yang berhubungan dengan kamera dan cerita. Jadi kurasa tidak ada salahnya kau menyalurkannya dalam bentuk yang seperti itu."

"Ya, karena itulah aku melakukannya."

Mereka terdiam sejenak, lalu Wilson merogoh saku celananya. Dia mengambil ponselnya yang bergetar, dan membuka kuncinya. Setelah membaca pesan yang diterimanya, dia langsung memandang Cameron.

"Sepertinya aku harus kembali ke rumah sekarang. Istriku mencariku, katanya dia ingin aku agar bisa segera ke rumah." kata Wilson.

Cameron tersenyum. Temannya memang baru saja menikah beberapa bulan lalu, dengan seorang wanita yang menjadi keluarga korban dalam sebuah kasus yang mereka tangani. Sementara itu Cameron masih saja betah sendirian, mungkin karena pikirannya lebih didedikasikan untuk pekerjaan dengan porsi yang lebih besar daripada memikirkan masalah percintaan.

"Ah baiklah. Sana, temani dia. Kan lebih enak kalau kamu berduaan dengan istri di hari yang dingin begini. Dia butuh untuk kamu hangatkan." sahut Cameron, lalu terkekeh.

Wilson menyenggol lengan Cameron. "Ah kau ini, bikin aku kepengen cepat pulang aja!"

"Kalau begitu sebaiknya kau segera kembali! Dan hati - hati, jalannya pasti licin di luar sana."

"Iya, aku akan pergi sekarang. Kau sendiri, tidak pulang?"

"Rumahku ada di atas kantor ini, jadi aku bisa pulang kapan saja. Tapi aku akan bersantai dulu, sambil sedikit berpikir tentang kasus Maxime."

Wilson mengangguk. "Kalau begitu, sampai besok, Cameron."

"Sampai besok, Wilson."

Wilson berdiri dari duduknya, lalu meletakkan mugnya yang sudah kosong ke dapur. Setelahnya, dia mengambil jaketnya dan pergi meninggalkan kantor. Sementara itu Cameron tetap pada posisi duduknya, dan mengambil map yang ada di meja kopi.

Cameron masih tidak mengerti akan kasus yang dihadapinya, dan bagaimana kekuatan yang dimiliki lawannya. Dia sudah bergulat melewati kebingungan itu sekian lama, dan sekarang dia berharap kalau akan segera menemukan jawabannya. Walau entah kenapa, dia mulai merasa kalau jawabannya akan lebih mengejutkan daripada yang dia kira.

~~~~~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top