4

Sore yang hangat di hamparan rumput pendek yang sejuk, musim semi menjadi musim favorit Rosa sejak delapan tahun terakhir. Lagi dan lagi, semuanya berkat jasa seorang Luke pearce yang kini berada berhadapan dengan Rosa.

Anehnya, gadis itu tidak tersenyum hari ini.

Kenapa? Bukankah setiap bersama Luke, gadis itu harusnya tersenyum?

"Kau pembohong." Monolog kala itu menjadi pembuka antara pertemuan kembali dua insan.

Luke tidak merespon, lucunya ia malah tersenyum dengan mengangkat salah satu sudut bibir. Ingin tertawa demi mencairkan suasana, tapi rasanya tidak tega.

Ah, harus bagaimana ini?

"Hei, kau mendengarku?" Rosa kembali bersuara, kepalanya mendongak; manik hijau menatap lurus pada pemilik warna koral lembut.

Luke ingin mengutuk keadaan saat ini, tapi ia tidak bisa apa-apa.

Hembusan angin membelai hening, Rosa duduk bersimpuh di atas rerumputan pendek. Menghela napas, ada gejolak ambigu yang berdentum dalam dadanya. Aneh, kenapa perih?

Kenapa? Rasanya mata ini berkeringat. Ah, kristal bening cair jatuh di pipinya, pundak yang gemetar, dan sebuah lirihan pilu yang lolos.

Luke merasa bersalah melihat pemandangan di depannya.

"Bodoh, kenapa kau mengingkari janji kita?"

Pemuda jingga tak dapat berbuat banyak; selain tersenyum dalam rasa bersalah. Tangannya terulur, menyentuh pucuk kepala dengan jemarinya yang transparan. Mengelusnya perlahan, penuh kasih; masih sama seperti dulu.

"Kenapa pula kau berbohong? Kau sungguh berpikir aku bodoh, ya? Ya, aku bodoh!"

Rosa tidak habis pikir lagi. Susah payah, tangannya yang gemetar mencoba meletakkan tangkai kamelia kuning di depan nama Luke Pearce yang terukir sewarna emas di atas batu marmer. Kakinya lemas, ingatannya tiada henti membawa sang gadis menyusuri kenangan-kenangan lama, jantungnya berdetak lebih lama, pun dengan sungai yang membingkai pipinya dengan pemandangan terlihat begitu menyedihkan.

Luke benar-benar merasa tidak enak.

Dan sekali lagi, ia bisa apa?

"Lihat, Luke! Aku memenuhi takdirmu! Aku menjadi satu-satunya orang yang mendatangi pemakamanmu!"

Luke menggigit bibir bawahnya, bayangan pundak kasat mata yang tipis itu tampak gemetar. Rosa, asal kau tahu, Luke juga tidak tega.

Kelopak kamelia jatuh, sang gadis menunduk dalam; isak serak terdengar begitu menyakitkan, air mata yang tak berhenti jatuh, dan pelukan yang seharusnya jadi penenang; justru tak dapat Rosa rasakan lagi hangatnya.

Rosa kembali mengumpat, merutuk dalam hati seperti pertemuan pertama mereka. Sialan, Luke adalah seorang pembohong yang paling ia benci.

Kini, sosok Luke hanya bisa melakukan apa yang ia bisa. Jemari tembus pandang itu mengelus rambut lembut Rosa yang sudah memanjang sampai bahu, tampak cantik; juga agak buruk dengan wajah cengeng sang pemilik.

Ah, Rosa.

Aku minta maaf.

Satu kecupan di kening; memberikan keajaiban, secercah rasa hangat yang familier, membuat Rosa seketika menghentikan tangisnya. Mendongak dengan penuh rasa terkejutan, juga dengan hati yang semakin terasa remuk. Apa ini? Apakah Luke-nya sedang berada di sini?

"Luke ...?"

"Maaf, Rosa."

Tidak, kalimat itu tak akan pernah terdengar sampai telinga Rosa. Sampai kapanpun, fakta ini telah terjadi; Luke mati delapan tahun lalu, tepat setelah pemuda itu berpamitan, mengatakan bahwa ia harus melanjutkan pendidikan ke instansi yang lebih baik. Nyatanya, pemuda itu merenggang nyawa dengan penyakit sialan.

Dan angka sepuluh di pergelangannya hanyalah sebuah fiktif, dimana angka asli seharusnya itu adalah, satu.

Rosa sendiri, di sini.

"Terima kasih sudah hidup, ya."

Rosa meraung, berteriak kesetanan dengan penampilan yang begitu memprihatinkan. Ia terus mengumpat pada Luke. Tangan mungil terkepal; berulang kali memukul tanah pemakaman sosok Luke Pearce. Sialan, sialan, sialan.

Andai saja, andai saja dulu ia juga memerhatikan Luke. Andai saja dulu ia lebih menaruh atensi pada Luke. Andai saja dulu ia tidak berusaha menampik rasa. Dan sekarang, semua itu hanya sekadar andai.

"LUKE PEARCE!"

Luke harap, Rosa dapat merasakan pelukannya ini. Bagaimana Luke berusaha mendekap Rosa dalam hangat yang kini bukan apa-apa lagi. Sayang, kadang ada beberapa hal yang tak berjalan sesuai harapan. Seperti kini.

"Rosa, tetap terus hidup, ya?"

Sore itu, di senja yang terlukis dengan jingga senyaman rengkuhan Luke Pearce, Rosa berada di sana menyampaikan segala rasa penuh campur aduk. Kesal, sedih, sesal, semua perasaan sia-sia yang ia limpahkan di depan makam Luke Pearce.

Ah, brengsek.

Sekarang, kini ia harus hidup demi siapa?

Luke Pearce, kau sialan.

Jika Rosa bisa memilih mati sekarang, apakah ia dapat bertemu kembali dengan sosok kesayangannya?

My dear, Luke Pearce.

.
.
.
Tamat

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top