2

Namanya Luke Pearce dengan angka sepuluh di pergelangan tangan. Bila kamu tidak tahu, maksud dari angka di pergelangan itu adalah jumlah orang yang nantinya akan hadir di pemakamanmu. Sedikit banyak, Rosa merasa iri dengan angka sepuluh milik Luke. Namun, setelah pertemuan itu, rasanya Luke seperti telah mengulur waktunya lebih lama untuk tetap bertahan di dunia ini.

Rosa, untuk pertama kalinya mengizinkan seseorang masuk ke dalam hidupnya yang gelap.

"Kulitmu ini bukan kertas, lho." Helaan napas meluncur, satu ikat perban terakhir selesai menempel di pergelangan gadis pemilik iris hijau.

Rosa hanya tersenyum kecil, Luke hanya bisa memaklumi dalam hati.

"Bukankah sudah kubilang? Kamu boleh mati, tapi jangan sekarang."

Tetesan hujan turun, mengetuk-ngetuk jendela kamar Rosa. Beberapa waktu telah berlalu setelah pertemuan pertama mereka, Luke mengetahui banyak hal dalam kurun waktu sekian itu. Mulai dari Rosa yang suka menggores kulitnya dengan cutter, atau kuku panjangnya yang tanpa sadar sering menggaruk bagian tertentu hingga memerah bahkan berdarah.

Kebiasaan yang cukup buruk, Luke mengakui bahwa ia agak kewalahan. Tapi, ia telah memilih untuk mau mengenal Rosa. Dan inilah yang sekarang ia hadapi.

"Kau berlebihan, Luke." Rosa menggumam, "justru kalau aku mati lebih cepat, berarti kau mampu menepati ucapanmu untuk menjadi satu-satunya orang yang menghadiri pemakamanku, 'kan?"

Hujan di luar sana semakin deras, menemani jeda diantara dua insan. Luke menunduk, memejamkan matanya dalam detik yang tidak sebentar. Ah, Luke tidak bermaksud ingin mengubah Rosa. Tidak bisa. Selama ini, yang ia lakukan hanyalah mengulur waktu.

Apakah itu egois?

Pandangan Rosa beralih pada jendela kaca berembun, dapat ia tebak bahwa dingin di luar sana hampir sama dengan pertemuan mereka beberapa waktu lalu. Nostalgia, salah satu sudut bibir itu justru turun.

"Luke," Panggilnya. "Aku masih ingin mati."

Luke tidak menjawab.

"Aku harap, kamu mau menepati janji untuk---"

Dialog Rosa terputus di akhir kalimat, bertepatan dengan sebuah hangat yang menariknya dalam dekap. Ah, degup jantung yang menenangkan, sandaran yang begitu aman. Sejak kapan Rosa telah jatuh dalam kenyamanan seorang Luke Pearce?

"Rosa," Luke menempatkan dagu di pucuk kepala sang gadis. "Kumohon, jangan mati."

Rosa memejamkan matanya, pelan-pelan menghirup aroma parfum petrichor yang memberikan efek kantuk favoritnya. Ia tidak boleh mati? Benar juga, Rosa tidak pernah menanyakannya; mengapa Luke menginginkannya untuk tetap hidup?

"Luke,"

"Hmm?"

"Kenapa kau memintaku untuk tidak mati?"

Sore itu, dekapan yang semakin erat dan hening berkepanjangan menjadi jawaban bisu dari Luke yang tak dapat Rosa simpulkan apa maksudnya.

.
.
.
To be continued ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top